Nasib Guru Honorer, Dari Jual Kue, Nyambi Jadi Badut, Hingga Terpaksa Tinggal di Toilet Sekolah
Nasib Guru Honorer, Dari Jual Kue, Nyambi Jadi Badut, Hingga Terpaksa Tinggal di Toilet Sekolah
Nasib Guru Honorer, Dari Jual Kue, Nyambi Jadi Badut, Hingga Terpaksa Tinggal di Toilet Sekolah
POS-KUPANG.COM - Guru Honorer di SMP Negeri Fatukopa, Timor Tengah Selatan (TTS), NTT, Titin Hayong, terpaksa nyambi jualan kue untuk mendapat penghasilan tambahan.
Setiap bulan Guru Honorer Titin digaji Rp 350 ribu, itupun dibayar setiap tiga bulan sesuai mekanisme pencairan dana BOS.
"Saya jualan kue di sekolah untuk mendapat penghasilan tambahan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kalau harap gaji tidak cukup, apalagi saya wanita. Mau tidak mau harus putar otak agar bisa mendapat penghasilan tambahan," ujar Guru Honorer Titin kepada POS-KUPANG.COM, Selasa (26/11/2019) pagi.
Titin mengajar sebagai guru honor sejak tahun 2016 mengasuh mata pelajaran agama Kristen merangkap wali kelas. Namun namanya baru masuk Dapodik tiga bulan lalu. "Karena keterbatasan guru, saya mengajar agama dari kelas 1-3 merangkap wali kelas 3," ujarnya.
Titin mengaku walau gajinya sebagai Guru Honorer kecil namun tetap menikmati profesi sebagai seorang guru. Titin tinggal di rumah darurat dekat sekolah untuk menghemat biaya transportasi.

"Rumah saya di SoE, di Kampung Sabu. Jarak SoE-Fatukopa sekitar 70 kilometer. Makanya saya memilih tinggal di dekat sekolah. Dua minggu sekali baru balik SoE," ujarnya.
• Ashanty Terjangkit Autoimun, Ambruk saat Sholat Maghrib, Minta Anang Tinggalkan Dia, Aku Mau Mati
• Miyabi Usai Pensiun dari Film Dewasa, Begini Kehidupan Maria Ozawa Sekarang, Pakai Hijab?
Tinggal di Toilet Sekolah
Sementara itu, Guru Honorer Nining Suryani (44), seorang Guru Honorer sebuah sekolah dasar, menjadi salah satu contoh kurangnya kesejahteraan untuk Guru Honorer.
Nining Suryani sebagai Guru Honorer di SDN Karyabuana 3 Cibaliung, Kabupaten Pandeglang, Banten, ini terpaksa harus tinggal di dalam toilet sekolah lantaran tidak punya rumah.
Nining mengaku, gajinya sebesar Rp 350.000 tidak cukup untuk menyewa rumah. Jadilah ia sebagai Guru Honorer yang tinggal di toilet.
Walaupun dia sudah mengajar di sekolah tersebut selama 15 tahun.
Ibu dua anak ini punya alasan khusus mengapa tetap bertahan sebagai Guru Honorer kendati gajinya kecil.
Yakni harapan untuk diangkat menjadi PNS dan mendapat penghasilan yang sesuai dengan pengabdiannya.
"Kalau nggak diangkat juga enggak apa-apa, setidaknya ada kebijakan dari pemerintah berapa kenaikan per bulan. Mau kecil mau besar, saya ikhlas terima," kata Nining saat ditemui di SDN Karyabuana 3, Kecamatan Cigeulis, Senin (15/7/2019).
Guru Honorer di Banten tinggal di toilet sekolah, gaji tiap bulan kecil tak sanggup sewa rumah (Acep Nazmudin/Kompas.com)
Namun tahun demi tahun mengajar, status Nining belum naik juga.
Berbagai upaya sudah dia lakukan, termasuk kuliah lagi untuk mendapatkan gelar sarjana.
Nining sempat merasa putus asa dan menyerah.
Apalagi usianya saat ini sudah melebihi batas ambang persyaratan menjadi PNS.
"Anak saya yang kedua sekarang masih sekolah di pesantren, tiap bulan butuh biaya," kata dia.
Sebelum tinggal di toilet sekolah, Nining tadinya tinggal di sebuah rumah petak di dekat sekolah.
Namun dua tahun lalu, rumah tersebut roboh lantaran sudah lapuk.
Tidak ada pilihan lain, bersama suaminya, Ebi Suhaebi (46), dia mengisi ruangan toilet di SDN Karyabuana 3 yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa.
Tempat tersebut dia jadikan tempat tinggal sejak dua tahun lalu.
Nining mengaku tidak bisa menyewa rumah dengan kondisi keuangan yang minim.
Sementara suaminya hanya berkerja serabutan dengan penghasilan tidak menentu.
Pihak sekolah tadinya sempat melarang, namun akhirnya mengizinkan lantaran tidak ada lagi tempat tinggal untuk Nining dan keluarganya.
"Kepala sekolah bantu beliin kayu, saya dan suami yang bangun, alhamdulillah bisa nyaman tinggal di sini," ujar dia.
Malam Nyari Uang Tambahan Jadi Badut Hantu
Guru Honorer di Sumut, Musri (46) mengaku hanya dibayar Rp 700 ribu sebulan.
Musri (46), merupakan guru kelas VI di SD Negeri 105364 di Desa Lubuk Rotan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdangbedagai.
Meski sudah 20 tahun mengabdi sebagai Guru Honorer, ia masih bergaji Rp 700 ribu per bulan.
Gaji yang sangat sedikit itupun diterima setiap tiga bulan sekali.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari banyak hal yang ia lakoni.
Musri, Guru Honorer SDN 105364 Desa Lubuk Rotan, Kecamatan Perbaungan, Serdangbedagai mendapat penghargaan pada Hari Guru, Senin, (25/11/2019). (Kiri) Musri saat beraksi menjadi hantu. Sosoknya ketika jadi hantu. (Tribun Medan/Indra Gunawan)
Salah satunya adalah dengan menjadi "hantu" sejak sepuluh tahun belakangan.
Ia berperan sebagai hantu penghibur dalam rombongan keyboard (organ tunggal) yang sering diundang pada pesta khitanan atau pernikahan di kampung-kampung.
Di Kabupaten Serdangbedagai, hiburan ini sering dikenal sebagai Keyboard Mak Lampir.
"Gaji cuma Rp 700 ribu per bulan, ya harus pintar-pintarlah cari tambahan. Job-nya itulah, jadi sundel bolong atau pocong.
Nge-job-nya sama kawan-kawan dan sebulan minimal bisa tampil empat sampai enam kali."
"Sekali tampil bisa bergaji Rp100 ribu sampai Rp 125 ribu per orang tergantung jauh dekatnya lokasi acara," kata Musri Senin, (25/11/2019).
Musri yang mengaku merias diri sendiri untuk keperluan manggung ini telah menghibur bersama kelompoknya sampai ke Balam Pekanbaru.
Ia mengaku tidak malu melakoni pekerjaan itu.
Meski terkadang merasa profesinya sebagai guru sangat jauh dari pekerjaan sebagai penghibur Keyboard Mak Lampir, namun demi sesuap nasi ia siap untuk melakukannya.
Musri yang tinggal di Desa Kesatuan, Kecamatan Perbaungan, ini juga merasa pekerjaan sampingannya ini berguna karena dapat menghibur orang lain.
"Terkadang saya pun ikut nyanyi di keyboard.
Tapi jaranglah karena lebih banyak job jadi hantu.
Walaupun pulang jadi hantu malam tapi saya usahakan jangan sampai mengganggu kerjaan jadi guru.
Job jadi hantu itu biasanya Sabtu dan Minggu."
"Kadang kalau tidak ada job jadi hantu ya jadi badut.
Lumayan juga bisa dapat Rp150 ribu sekali manggung.
Aku enggak mencuri jadi enggak perlu malu karena aku menganggap apa yang kulakukan ini hanya sebatas menghibur dan membuat orang ketawa saja," kata Musri.
Musri mengaku belum tahu sampai kapan pekerjaan sebagai penghibur akan ia jalani.
Bapak satu orang anak ini menyebut selama ini atasan ataupun rekan-rekannya sesama guru di sekolah tidak pernah mempermasalahkan pekerjaannya sebagai penghibur.
Atasan dan rekan sesama guru memaklumi karena sama-sama tahu gaji yang didapat sebagai guru sangat kecil.
Meski pekerjaan ini masih terasa asing bagi sebagian orang, namun ia menyebut anak muridnya ataupun walimurid sudah menerima.
Bahkan mereka sering bertanya apakah ada pekerjaan manggung untuknya atau tidak.
Keluarga juga tidak pernah mempersoalkan.
"Saya dan istri sudah lama pisah.
Kalau anak saya ada satu, tapi dia ikut dengan mamaknya di Medan," katanya.
Pada Hari Guru ini Musri berharap agar pemerintah bisa lebih memperhatikan kesejahteraan Guru Honorer.
Ia menyebut sempat mencoba seleksi K II dan Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (P3K,) namun pada saat itu ia belum beruntung. (*)