Ardhanary Insitute Ajak Media Edukasi Masyarakat Soal Isu HKSR Remaja Ragam Identitas
Ardhanary Insitute Ajak Media Edukasi Masyarakat Soal Isu HKSR Remaja Ragam Identitas
Penulis: Maria Enotoda | Editor: maria anitoda
Menurut Hesthi berdasarkan survey tersebut menunjukan tidak ada perhatian khusus media pada isu HKSR. ''Sumber berita rata-rata berasal dari peristiwa baik yang cetak maupun online.
• Istana Bereaksi Keras, Tanggapi Aksi Bom Bunuh Diri di Medan, Begini Pernyataan Tegas Jokowi
• Cewek Cantik Ini Bikin Geram ISIS, Usai Bunuh 100 Anggota ISIS, Kepalanya Dihargai Rp 14 Miliar
• FAKTA TERBARU Bom Bunuh Diri Polrestabes Medan, Begini Pengakuan Saksi dan Reaksi GoJek
Kemudian dalam pemberitaan domain itu remaja menjadi korban terutama korban pencabuland an pemerkosaan.
Selain itu dari data ini kita bisa lihat bahwa remaja mendapat perhatian penting dalam pemberitaan hanya saja ketika dilihat lebih dalam tidak ada ruang yang luas bagi remaja untuk menyampaikan pendapatnya,'' ujar Hesthi.
Selain itu Hesthi juga menekankan masih banyak tulisan yang melanggar kode etik yang masih bersifat penghakiman pada remaja ragam identitas. ''Di berita itu kita bisa lihat identitas remaja itu dibuka dan akhirnya berpotensi untuk memperkuat stigma negatif tentang remaja,'' lanjutnya.
HKSR Remaja Ragam Identitas dan Pentingnya Peran Media
Tak cukup sampai di data hasil survey pemberitaan, para editor dan jurnalis dari berbagai media antara lain Pos Kupang, Tribun Jateng, Tribun Bali, Kumparan, Tirto, Tempo, Tribun Lampung, Suaramerdeka, Detik.com, Lampungpost, dan Timor Express dan beberapa media lokal disuguhi materi mengenai pentingnya peran media dalam pemberitaan isu HKSR remaja ragam identitas.
Komang Sutrisna dari PKBI Bali dan merupakan mantan jurnalis ini mengatakan seorang jurnalis perlu rasa empati saat menuliskan sebuah berita tentang isu HKSR remaja ragam identitas.
Menurutnya Jurnalisme empati mengacu pada sensivitas dalam melihat posisi korban hasil interaksi sosial serta mmemberikan ruang kepada rasa kepedulian terhadap oranglain.
Ia juga membeberkan kecendrungan jurnalis dalam menulis yaitu jurnalis merasa berada di luar pagar, jurnalis merasa ia hanya melaporkan fakta dan data, jurnalis merasa ia bisa mengambil kesimpulan dan persepsi sendiri atas fakta dan data yang dilihat.
''Seringkali itu jurnalis menganggap dirinya menjadi seorang hakim yang bisa menghakimi dengan menggunakan standar moral tertentu. Kadang juga melalui pemilihan angle berfikir pilihan narasumber dan narasinya yang diyakini sebagai pembenaran yang absolut. Lihat aja saat ini banyak sekali berita-berita yang judulnya fantastis dan wow misalnya gadis cantik 16 tahun disetubuhi berkali-kali di bawah pohon pisang, judul macam apa itu sebenarnya bisa dibuat lebih ramah tetapi kembali lagi untuk kebutuhan klik bait akhirnya kita jurnalis bikin yang kayak gitu,'' tuturnya dan langsung disambut gelak tawa para jurnalis.
Komang banyak memberikan solusi dalam menulis berita isu HKSR remaja ragam identitas. Menurutnya penulisan judul yang bombastis dan juga isi berita yang tidak sensitis idu HKSR bisa dibuat menajdi lebih ramah.
Ia menyarankan agar penggunaan istilah vulgar diganti dengan kata yang lebih halus. '' Misalnya kata pelacur diganti menjadi penjaja seks atau kata tewas diganti dengan kata berpulang. Selain itu istilah - istilah juga yang baisa dipakai misalnya gadis bau kencur, habis manis sepah dibuang itu diganti ya atau bila perlu jangan digunakan,'' lanjutnya.
Komang berharap agar para jurnalis dan juga editor tidak melihat sesorang dari sudut pandang pribadi, memperhatikan pendapat dari sumber berita dan juga tidak mengambil kesimpulan sendiri.
Sebelum mengakiri materinya Komang juga membeberkan data soal kekerasan.
Menurut data komnas perempuan tahun 2013 ada sekitar 400.939 kasus kekerasan terhadap perempuan ini sudah tercatat sejak tahun 2000.