TRIBUN WIKI: Kisah di Balik Teduhnya Taman Daun di Lewoleba Lembata
TRIBUN WIKI: kisah di balik teduhnya Taman Daun di Kota Lewoleba Kabupaten Lembata
Penulis: Ricardus Wawo | Editor: Kanis Jehola
TRIBUN WIKI: kisah di balik teduhnya Taman Daun di Kota Lewoleba Kabupaten Lembata
POS-KUPANG.COM | LEWOLEBA - Bagi Warga Kota Lewoleba, Kabupaten Lembata Taman Daun lebih dari sekadar taman baca dan taman bermain bagi anak-anak. Taman Daun yang terletak di Bluwa, Kelurahan Lewoleba Barat ini menjadi tempat anak-anak belajar, bermain, berkesenian dan mencari keteduhan yang tidak mereka temukan di rumah dan sekolah.
Keteduhan. Itulah kesan pertama ketika menginjakkan kaki di tempat ini. Pohon-pohon rindang, lopo-lopo kecil, buku-buku dan beraneka kerajinan tangan ada di sana.
• Kosmas Lana Titip Pesan Buat 40 Anggota DPRD Kabupaten Kupang
Namun siapa sangka di balik teduhnya Taman Daun yang sudah berusia 32 tahun itu, tersimpan kisah seorang mantan pelaut yang inspiratif. Dia adalah Goris Batafor.
Sebelum mendirikan Taman Daun pada 21 April 1987 silam, Goris bekerja di kapal ikan tuna Samudera Besar yang berbasis di Bali.
"Selama satu tahun itu, sembilan bulan saya ada di Laut Sawu dan tiga bulan ada di Laut Banda. Di darat hanya 1 minggu," ungkap Goris di Taman Daun, Lewoleba, Selasa (15/10/2019).
• Kebakaran Lahan Milik Yan Lobo, Danramil Kota SoE Turun Langsung Padamkan Api
Bapak yang terkenal ramah dan santun ini memang jebolan Sekolah Perikanan di Tegal, Provinsi Jawa Tengah.
Selama tujuh tahun bekerja di kapal, Bapak Goris pun kembali ke kampung halaman karena tidak bisa meninggalkan orangtuanya sendiri.
"Saya pulang temani orangtua karena bapak saya yang bernama Yosep Markus Sidhu semakin tua dan tidak ada orang di rumah."
Oleh karena tidak bisa keluar jauh dari rumah dan tinggalkan orangtua, kenang Bapak Goris, dia pun mulai mencari kesibukan dan aktivitas supaya banyak orang yang datang ke tempatnya.
Di atas tanah seluas 1 hektare warisan orangtuanya itu Taman Daun berdiri sampai sekarang.
"Saya harus buat ini supaya orang datang kunjung saya di sini, dari anak-anak dan sekarang ada komunitas yang datang."
Dia menuturkan awalnya dia mulai mendirikan Kelompok tenun yang dinamai Bintang Kejora bagi para ibu. Saat datang tenun para ibu biasa membawa serta anak-anak mereka yang masih kecil.
Dari situ terbersitlah ide untuk mengumpulkan anak-anak dalam satu wadah kreatif. Salah satu anak yang dia bimbing pada generasi awal Taman Daun adalah John Batafor yang kini juga giat mengembangkan Taman Daun.
Dia ingin menanamkan jiwa sosial kepada anak-anak sejak dini. Beberapa anak muda yang sekarang membantu di Taman Daun itu merupakan jebolan generasi awal di sana.
"Saya lebih banyak membiarkan apa yang mereka lakukan. Taman Daun lebih banyak mau mengimbangi otak kiri dan otak kanan. Apabila jenuh belajar mereka bisa bermain dan berkesenian juga. Jadi mereka tidak melulu membaca buku. Kita siapkan buku dan permainan. Sehingga anak anak membaca buku di sini tidak dengan tekanan."
Saat ini Taman Daun sudah sangat berkembang. Lokasi yang dulu hanyalah hamparan alang-alang itu kini sudah menjadi tempat ratusan anak setiap hari belajar dan bermain.
Bukan itu saja, dari rahim Taman Daun lahir pula kelompok-kelompok taman baca lainnya sampai ke pelosok desa.
Di Lembata ada 45 taman baca, 2 di Adonara, 2 di Solor, 2 di Larantuka, 1 di Labuan Bajo dan ada 10 taman baca lagi di daerah perbatasan Timor Leste yang didirikan oleh John Batafor sewaktu masih berkuliah di Kupang.
Menurutnya semua taman baca itu bekerja secara mandiri, tak ada ikatan khusus dengan Taman Daun dan punya program masing-masing.
Terima Relawan dari Luar Negeri
Berkat jejaring komunitas yang baik dan pemanfaatan media sosial, sejak tahun 2018, sejumlah relawan dari luar negeri datang ke Taman Daun untuk menjalankan program edukasi bersama anak-anak.
"John yang perkenalkan dan tawarkan untuk mereka bisa membagi ilmu. Jadi yang datang itu sarjana ekonomi, pengacara, desainer," imbuhnya.
Para relawan itu berasal dari Brazil, Rusia, Serbia, Jerman dan Kuala Lumpur serta ada juga dari Jakarta. Minimal selama sebulan para relawan asing itu belajar dan bermain bersama anak-anak.
Anak-anak juga wajib berbicara bahasa Inggris dengan anak-anak sehari-hari.
Kata Goris, program Taman Daun yang terakhir itu adalah wisata edukasi dengan konsep para relawan itu mendatangi taman baca yang sulit dijangkau. Menurutnya, konsep wisata edukasi ini sangat efektif karena para relawan dari Eropa itu datang dan tinggal selama beberapa bulan.
Padahal wisatawan biasanya hanya datang sebagai turis biasa hanya tinggal paling lama empat hari. Untuk mendukung upaya pengembangan wisata edukasi, pihak Taman Daun menyiapkan lima homestay.
Pada prinspinya para relawan dan donatur juga turut membantu anggaran pembangunan homestay serta program selama di Taman Daun.
"Kalau percaya kamu bantu. Jadi kita tidak perlu lembaga hukum. Saya mau ajarkan kalau kepercayaan itu penting. Orang yang membantu itu karena mereka percaya. Kita harus jaga kepercayaan itu," tegas Goris.
"Dengan daun daun berguguran di sini. Saya harap dari daun yang berguguran itu bisa tumbuh tunas baru," ungkapnya menjelaskan alasan pemberian nama Taman Daun.
Mimpinya ke depan adalah menjadikan Bluwa sebagai kampung turis. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, RICKO WAWO)