Melalui Memoar 'Nyawa Terancam di Jalan Lurus, Maxi Wolor Ingin Tinggalkan Jejak

menjadi pewarta bagi jurnalis senior Maxi Wolor adalah jalan yang lurus. Akan tetapi, justru di jalan itu pula, nyawa pekerja media dipertaruhkan. Bek

Penulis: Ricardus Wawo | Editor: Ferry Ndoen
 Foto/Ricko Wawo/
Acara Bedah buku jurnalis Maxi Wolor berjudul 'Nyawa Terancam di Jalan Lurus' di Hotel Palm, Lewoleba, Selasa (27/8/2019). 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Ricko Wawo

POS-KUPANG.COM-LEWOLEBA-Jalan menjadi pewarta bagi jurnalis senior Maxi Wolor adalah jalan yang lurus. Akan tetapi, justru di jalan itu pula, nyawa pekerja media dipertaruhkan. Bekerja mengikuti naluri jurnalistik ataukah menyerah pada tameng kekuasaan.

Inilah sepenggal kalimat yang melukiskan kisah perjalanan seorang jurnalis senior berusia 62 tahun, Maxi Wolor. Membaktikan hampir separo usianya sebagai wartawan tentu tak mudah bagi putra asli Lembata ini. Namun, ia sendiri tak mau apa yang sudah ia baktikan itu lenyap begitu saja dimakan rayap.

"Saya ingin meninggalkan jejak, kalau bukan untuk semua orang ya paling tidak bagi orang orang yang saya kenal, keluarga dan sahabat," kata Maxi dalam Acara Bedah buku terbarunya yang berjudul 'Nyawa Terancam di Jalan Lurus' di Hotel Palm, Lewoleba, Selasa (27/8/2019).

Buku mantan wartawan Pedoman Rakyat ini berbentuk memoar. Bagi dia, memoar adalah sarana mengekspresikan diri. Memoar adalah karya non fiksi dan berdasarkan fakta.

WNI Kelahiran Timor Timur di Kabupaten Kupang Titip Penyelesaian Tanah HGU Lewat Wakapolda NTT

Pada acara yang dipandu oleh Fredy Wahon itu, kisah yang banyak dibahas adalah soal pengalamannya saat meliput kerusuhan di Poso, Sulawesi Tengah. Melalui sudut pandang seorang jurnalis, peristiwa konflik antar agama itu dilukiskan secara runtut dan berdasarkan fakta.

Wakil Ketua DPRD Lembata, Paulus Makarius Dolu menilai kisah di Poso yang ditulis Maxi punya sudut pandang yang berbeda dan bisa dipertanggungjawabkan. Ada kisah menegangkan, menghibur sekaligus sarat makna di dalamnya.

Max Wolor sendiri malang melintang di dunia jurnalistik. Selain di Pedoman Rakyat, dia pernah bekerja di Harian Surya, Harian Umum Pos Kupang, Harian Bisnis Indonesia, Harian Sulbar Raya, Pedoman Makassar, Kaltara Post dan Majalah Bisnis.

Pater Steph Tupeng Witin sebagai pembedah mengatakan memoar itu merekam ziarah jurnalistik seorang Max Wolor. Ia mengapresiasi penulis karena sudah merekam dengan teliti setiap jengkal kisah di mana saja ia bekerja.
Bagi mantan Pemred Flores Pos itu, buku itu mengukuhkan kembali adagium klasik jurnalisme bahwa Fakta adalah suci.

"Kebahagiaan terbesar seorang penulis yang tidak bisa diukur dengan apapaun adalah ketika orang memahami apa yang disampaikan dan hal itu menginspirasi hidupnya," kata Pater Steph.

"Saya baca buku sebagai seorang pecinta buku, saya melihat buku ini sebagai titik pijak menulis sesuatu yang benar dan sesuatu yang baik," lanjutnya. Biarawan SVD ini memberi judul kecil untuk analisisnya itu yakni
'Menulis: Membela yang Kecil, Mengingatkan yang Berkuasa'

Bedah Buku Jadi Program Rutin Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Lembata

Acara Bedah Buku ini diselenggarakan oleh Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Lembata. Menurut Longginus Lega selaku kepala dinas, bedah buku merupakan program terobosan demi peningkatan sumber daya manusia di Kabupaten Lembata.

Melalui ini, Longginus mau membuktikan kalau perpustakaan bukan tempat membaca buku saja. Ada banyak aktivitas intelektual di sana.

Dia sendiri mau menghapus anggapan kalau dinas perpustakaan bukan dinas buangan.
"Saya anggap perpustakaan itu gudang ilmu. Selama ini dianggap sebagai dinas buangan. Pertama kali saya datang, saya lihat semuanya itu lesu, tak bersemangat. Tapi saya mau buktikan
Tidak ada lahan kering atau lahan basah di pemerintahan," tegasnya.

Halaman
12
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved