Payung Hias dan Upaya Galeri Mariosca Perkenalkan Kerajinan Lokal Khas Lembata

Festival 3 Gunung Lembata, 26-31 Agustus 2019 mendatang, Kor Sakeng kembali disibukkan dengan pembuatan payung hias dari daun pandan. Payung hias ini

Penulis: Ricardus Wawo | Editor: Ferry Ndoen
zoom-inlihat foto Payung Hias dan Upaya Galeri Mariosca Perkenalkan Kerajinan Lokal Khas Lembata
foto Ricko Wawo
/Payung hias dari Galeri Mariosca digunakan dalam lomba melukis dan mewarnai di arena Pelabuhan Lewoleba, Rabu (7/8/2019). Lomba yang diikuti para pelajar ini merupakan rangkaian dari Festival 3 Gunung. Payung tersebut dijadikan wadah atau 'kanvas' mereka mewarnai dan menggambar

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Ricko Wawo

POS-KUPANG.COM-LEWOLEBA-Menjelang Festival 3 Gunung Lembata, 26-31 Agustus 2019 mendatang, Kor Sakeng kembali disibukkan dengan pembuatan payung hias dari daun pandan. Payung hias ini akan digunakan dalam lomba melukis dan mewarnai di arena Pelabuhan Lewoleba, Rabu (7/8/2019). Lomba yang diikuti para pelajar ini merupakan rangkaian dari Festival 3 Gunung. Payung tersebut akan dijadikan wadah atau 'kanvas' mereka mewarnai dan menggambar.

Kor Sakeng adalah seorang seniman kerajinan lokal. Di beranda rumahnya, ada galeri yang memamerkan hasil kerajinan tangannya. Nama galeri itu adalah Mariosca, akronim dari nama dua orang anaknya, Mario Sakeng dan Muscati Sakeng.

Saat dijumpai di kediamannya di Jalan Polo Ama, Kelurahan Selandoro, Kota Lewoleba, Rabu (7/8/2019), Kor dibantu istrinya Ermelinda Kelen sedang sibuk menyelesaikan pesanan payung hias.

Untuk keperluan lomba dimaksud, kata Kor, mereka menyiapkan 50 payung hias dan 50 doko. Doko adalah sejenis payung tradisional dari daun pandan berukuran besar yang acapkali digunakan warga setempat melindungi diri dari hujan saat bekerja di kebun.

Kor menjelaskan payung hias yang ia gunakan juga bahan dasarnya dari daun pandan air. Bahannya agak keras, maka dari itu daun tersebut direbus dulu dan dipilin dengan kayu sehingga lebih lentur. Jika tak ada daun pandan, kulit pisang dan daun gewang juga bisa digunakan. Rangka payung dari bambu dan kayu.

Payung hias dengan konsep tropical art ini, lanjut Kor, bisa jadi pilihan asesoris penghias di rumah dan ruangan kantor.

Dalam alam konteks ekonomi kreatif, bahan daun pandan itu bisa dibuat menjadi tas, dompet dan rupa-rupa kerajinan lainnya.

Galeri Mariosca sudah ada di Lewoleba dua tahun lalu dan memajang semua hasil kerajinan tangan (handycraft) berupa kalung, aksesoris dari tenun, anyaman tas, gelang, anting, dan hiasan lampu.
Dari galeri seni ini pula, puluhan bahkan ratusan hasil karya dipamerkan di Jakarta, Jogja, Jember dan Kupang.
Pada saat Festival Flores dan Lembata di Labuan Bajo, Kor didapuk untuk menyediakan aksesoris penari dan penampil bagi kontingen Lembata.

Ermelinda menambahkan Festival 3 Gunung tahun lalu mereka juga mendapatkan kesempatan untuk pameran hasil kerajinan tangan lokal. Namun tahun ini, panitia meminta mereka membuat payung hias untuk kebutuhan perlombaan saja.

Menurut keduanya, pengunjung paling banyak di galeri adalah wisatawan mancanegara dan wisatawan dari luar NTT. Kata Kor, para wisatawan lebih tertarik pada kerajinan tangan yang natural, bercita rasa lokal dan tidak eksklusif. Istri Gubernur NTT, Julie Sutrisno Laiskodat juga pernah datang langsung ke galerinya dan memborong sejumlah barang hasil kreasinya.

"Pernah ada yang pesan kalung dan tas dari kain tenun. Tas selalu kami modifikasi dengan anyaman karena anyaman itu salah satu kearifan lokal. Kita usaha untuk kembangkan supaya kearifan itu tetap berjalan.
Kita mulai kembangkan dengan potensi lokal, pelepah pisang, daun pandan, dan anyaman koli," tambah Kor.
Kiprah Kor di dunia kesenian bukan baru kemarin sore. Sejak tahun 1999 menetap di Kota Kupang dan bekerja sebagai relawan Tim Relawan Untuk Kemanusiaan Flores (TRUK-F) di Timor Timur, keduanya sudah menyewa sebuah rumah di bilangan Boni M, Kelurahan Fatululi sebagai galeri kesenian.

Awalnya mereka membuat buat notes dan buku agenda yang laku diborong para wartawan. Inovasi pun terus berlanjut dengan menciptakan

Undangan nikah dan cenderamata dari pelepah pisang.
Cinderemata buatan mereka pun dipakai Wakil Ketua DPRD NTT saat ini Alex Ofong saat menikah.
Menurut Ermelinda, keduanya masih kesulitan modal.

"Masalahnya kita tidak punya modal. Selama ini kerja tanpa modal pokok. Tapi lumayan tahun kemarin pemasukan semua bisa sampai 10 juta rupiah," kata Ermelinda.
Mereka juga masih kekurangan mesin jahit dan mesin produksi lainnya sehingga semua pekerjaan masih manual dan membutuhkan waktu yang lama.

Walau belum pernah ada bantuan modal dan peralatan dari pemerintah dan swasta, Kor dan Ermelinda selalu bersemangat menciptakan karya karena pesanan selalu ada.

"Kita selalu berpikir kalau pasarnya ada baru kita mulai kerja. Tapi sebenarnya produknya ada dulu, pasar itu dengan sendirinya ada. Jadi kadang-kadang perajin jenuh karena pikir pasarnya tidak ada."
Di Kabupaten Lembata ada pekerja kreatif lain seperti perajin tulang-belulang, peranin batok kelapa, perajin pledang, dan perajin lokal lainnya. Sayangnya, belum ada perkumpulan khusus bagi mereka. Maka Kor berencana mau membentuk satu asosiasi khusus para perajin.

Hal ini menunjukkan banyak sekali pekerja seni di Lembata tapi pemerintah belum didukung dan diorganisir untuk peningkatan kapasitas produk. Momen Festival 3 Gunung ini jadi ajang para perajin lokal mengkampanyekan produk lokal berbasis potensi masyarakat.

"Festival itu jadi peluang bagi para perajin makanya harus disuport penuh," pungkasnya.
Kor berharap galeri miliknya ini tidak hanya memamerkan hasil karya dia dan istrinya, tetapi juga kerajinan tangan khas Lembata lainnya. (*)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved