Opini Pos Kupang
Opini Pos Kupang 17 Juli 2019: UU Jakon vs UU Tipikor
Hal mendasar dari UU No 2/2017 yang terdiri dari 14 bab dan 106 pasal itu, tidak satupun pasal yang memuat sanksi pidana secara eksplisit.
Dalam UU Jakon sebelumnya ( UU No 18/1999) pasal 1 ayat 6, pengertian kegagalan bangunan adalah "sebagai keadaan bangunan yang setelah diserahterimakan oleh penyedia jasa kepada pengguna jasa,
menjadi tidak berfungsi dengan baik secara keseluruhan maupun sebagian, dan/atau tidak sesuai ketentuan yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi atau pemanfaatannya yang menyimpang sebagai akibat kesalahan penyedia dan /atau pengguna jasa."
Pengertian kegagalan bangunan seperti tersebut di atas ini menimbulkan banyak ekses di dunia jasa konstruksi.
Bahkan cenderung multi tafsir dan bias dalam penerapannya sehingga kadang menimbulkan kesan kriminalisasi.
Pasal 43 ayat 1, 2 dan 3 berbunyi, "barang siapa yang melakukan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan
dikenakan pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10 persen dari nilai kontrak."
Sementara pengertian "kegagalan konstruksi" sesuai Peraturan Pemerintah No, 29 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, sebagai turunan dari UU Jasa Konstruksi 18/1999 pada pasal 31
menyatakan bahwa "yang dimaksud dengan kegagalan konstruksi adalah keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak konstruksi baik sebagian maupun seluruhnya sebagai akibat dari kesalahan pengguna jasa atau penyedia jasa."
Definisi kegagalan konstruksi seperti PP 29 tahun 2000 ini, banyak memakan korban akibat kekeliruan tafsir pasal ini dan sangat meresahkan masyarakat jasa konstruksi,
karena dengan terjadinya kegagalan konstruksi, seolah telah terjadi perbuatan melawan hukum. Padahal pekerjaan belum selesai dan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan dan kekurangan pekerjaan masih dimungkinkan.
Akibatnya seringkali penyidik bisa melakukan pemeriksaan pada masa pelaksanaan. Inilah salah satu penyebab lahirnya UU Jakon yang baru sebagai revisi terhadap UU jakon sebelumnya.
Dalam UU Jakon yang baru No 2/2017, kegagalan konstruksi tidak lagi dikenal, atau sudah dihapuskan. Sedangkan kegagalan bangunan sesuai pasal 1 ayat 10 UU tersebut diberikan arti sebagai berikut,
"suatu keadaan keruntuhan bangunan dan atau tidak berfungsinya bangunan setelah penyerahan akhir hasil jasa konstruksi."
Dengan demikian, kondisi kegagalan bangunan yang termasuk dalam lingkup UU Jakon adalah bangunan yang TELAH DISERAHKAN kepada pengguna jasa, BUKAN PADA SAAT BANGUNAN TERSEBUT DIKERJAKAN PADA PERIODE PELAKSANAAN (constraction period)
dan keadaan keruntuhan bangunan sebelum penyerahan akhir pekerjaan tidak termasuk katagori kegagalan bangunan.