Kisah Warga Resettlemen Tanah Merah Kupang, Belasan Tahun Tak Pernah Dapat Bantuan
Kisah Warga Resettlemen Tanah Merah Kupang, Belasan Tahun Tak Pernah Dapat Bantuan
Penulis: Ryan Nong | Editor: Kanis Jehola
"Kami sehari hari tidur di dapur, takut kalau-kalau rumah itu rubuh. Apalagi pas (saat) ada angin kencang, pasti rumah itu goyang," lelaki brewok beruban itu berkisah.
Tak hanya makan seadanya, ia juga berkeluh tentang sulitnya memperoleh air di tempat itu. Bagi keluarga yang tak memiliki pendapatan pasti bulanan dalam bentuk uang cash seperti mereka, membeli air dari tangki adalah sesuatu yang sangat mewah. Apalagi mereka tak mampu membuat ataupun menyediakan bak.
Maka, mau tidak mau, saban hari ia dan istrinya harus berjalan sejauh 2 km untuk mengambil air di sungai untuk keperluan minum dan memasak.
Ia mengatakan, pernah sekali pada saat musim kampanye, ada seorang calon legislatif yang datang ke tempat mereka dan menjanjikan untuk mengusahakan sumur bor di lokasi mereka. Saat itu menjanjikan untuk membangun sumur bor di tiga titik resetlemen, yakni titik 22, 48 dan 28.
Namun, itikad baik itu dimentahkan oleh kepala desa. Kepala desa berkeras bahwa tanah yang ditentukan menjadi lokasi sumur bor tersebut tak memiliki izin, serta untuk pembangunan sumur bor, ia menggaransikan akan ditanggung oleh desa. Hasilnya, setelah berselang beberapa waktu pasca janji sang caleg, satu lokasi yang ditentukan oleh caleg saat ini telah menikmati air, sedang lokasi yang digaransi kepala desa tidak tahu timbanya.
Ketika disinggung tentang banyaknya bantuan dan program yang disediakan negara untuk keluarga tidak mampu, ia hanya tersenyum.
Dengan getir ia hanya berucap "kita malu, kita perasaan kalau mau minta-minta. Kalau pemerintah tidak mau lihat ya sudah."
Sejak tinggal di tempat itu, pasangan itu tidak mendapatkan bantuan apapun dari sekian banyaknya program-program pemberdayaan dan program kesejahteraan yang disediakan negara.
Meski mereka terdaftar sebagai warga RT.15/RW.08 Desa Tanah Merah Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang dengan identitas KTP yang masih berlaku, mereka tidak pernah mengakses berbagai macam bantuan.
Jangankan untuk Program Keluarga Harapan (PKH), untuk program dasar seperti beras sejahtera (rastra) saja mereka tidak diikutkan. Apalagi dengan akses Kartu Indonesia Sehat atau BPJS Kesehatan.
Padahal, kasat mata saja orang awam dapat menilai bagaimana tingkat kehidupan ekonomi pasangan tersebut.
"Selama ini kita tidak terima (bantuan), sejak 2007 sampai sekarang tidak pernah. Kalau pemerintah mau kasih ya kasih, kalau tidak ya kita bilang apa?" timpalnya pasrah.
Alexander Mau Kali (51), warga lainnya juga menyayangkan "kebutaan" pemerintah setempat melihat kondisi riil warganya. Ia mengatakan, keluarga seperti Pinto sudah seharusnya memperoleh bantuan pemerintah. Apalagi dengan kondisi kehidupan ekonomi yang sangat sulit dan saat ini hanya hidup berdua dengan pasangannya yang sama sama baya.
"Harusnya mereka ini dapat bantuan, tapi rupanya sampai sekarang tidak ada," katanya.
Ia bahkan mengatakan, dari ratusan kepala keluarga di tempat itu, hanya 74 kepala keluarga yang mendapat aneka bantuan. Anehnya, ia berkisah, bahkan ada warga yang memiliki kartu tetapi tidak mendapatkan bantuan fisik, sedangkan ada yang tidak memiliki kartu tapi mendapat bantuan.
"Di sini, yang mulut hidup dan dekat dengan orang tertentu pasti dapat, kalau kita yang lain yang tidak tau omong pasti tidak dapat," ujarnya. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Ryan Nong)