Viktus Imbau Pemerintah Pusat Jangan Gegabah Terapkan Wisata Halal di NTT
Tokoh Kristiani Tahun 2018 Pilihan Majalah Narwastu, Viktus Murin, Mengimbau Pemerintah Pusat Jangan Gegabah Terapkan Wisata Halal di Provinsi NTT
Dengan demikian, lanjut Viktus, masyarakat NTT tidak akan menodai kecintaan kepada Republik ini hanya gara-gara wacana sensitif wisata halal.
Viktus mendesak pemerintah pusat, khususnya Kementerian Pariwisata untuk menggunakan pendekatan yang lebih inklusif dalam pembangunan pariwisata di NTT, dengan memperhatikan karakteristik kearifan lokal yang hidup dan tumbuh berakar di NTT.
"Hentikan sosialisiasi wisata halal di NTT sebab hal itu pasti merusak bangunan dan budaya toleransi di NTT. Masyarakat NTT tidak memerlukan formalisme dalam hal praktek toleransi, sebab toleransi sudah menjadi budaya hidup, ibaratnya sudah mendarah daging," tegas Viktus, pria berdarah Lembata dan Flores Timur, dua wilayah kabupaten yang juga sangat kental budaya toleransinya.
Pertalian Darah, Akar Toleransi di NTT
Secara khusus Viktus mengimbau warga bangsa di luar komunitas NTT untuk dapat memahami penolakan wacana wisata halal dari warga masyarakat NTT. Hal tersebut beralasan, sebab masyarakat NTT tidak mau bangunan dan budaya toleransi justru rusak oleh formalisme regulasi yang tendensius dan berpotensi memicu intoleransi.
Menurut Viktus, umat beragama di NTT, khususnya umat Kristiani dan umat Islam sudah hidup berdampingan dengan penuh kedamaian secara turun-temurun. Tradisi toleransi itu, pada mulanya berawal dari adanya ikatan kekerabatan atau pertalian darah sebagai akibat relasi kawin-mawin.
"Tradisi toleransi berbasis pertalian darah inilah yang kemudian berkembang menjadi budaya hidup masyarakat NTT. Bahkan warga Muslim yang datang dari luar NTT pun diperlakukan seperti saudara-saudari sendiri selama bisa menghargai toleransi yang telah hidup, berakar, bertumbuh secara alamiah," papar Viktus, Sarjana Pendidikan jebolan FKIP Undana Kupang tahun 1995 ini.
Dari perspektif yang lebih ideologis, Viktus menegaskan penolakan warga masyarakat NTT terhadap wacana sensitif seperti wisata halal, sangat terang dan jelas yakni menjaga kearifan lokal demi tetap kokohnya kemajemukan keindonesiaan.
"Sikap ini justru untuk menjaga agar negara-bangsa Indonesia ini tetap berdiri kokoh di tengah kemajemukan, dan tidak tersekat-sekat akibat regulasi formal pemerintah yang bernuansa sektarian dan atau pengkotakan-kotakan," tegas Viktus yang juga Direktur Lembaga Kajian dan Aksi Kebangsaan (LKAK).
Masyarakat NTT khususnya Flores, lanjut Viktus, meyakini bahwa nilai-nilai Pancasila digali oleh mendiang Bung Karno saat diasingkan oleh penjajah Belanda ke Ende-Flores. Jadi, apapun regulasi negara yang bertendensi merusak kerukunan dan toleransi masyarakat NTT, pasti akan ditolak secara tegas oleh masyarakat dan pemerintah di NTT.
"Pancasila bagi warga NTT bukan hanya sekedar dilihat sebagai dasar negara secara formal, tetapi sudah merupakan genetika sosiologis, bagian dari budaya hidup masyarakat NTT," pungkas Viktus yang pernah menjadi Tim Ahli Menpora/Tim Asistensi Kemenpora pada era kepemimpinan tiga Menpora yakni Adhyaksa Dault, Andi Malarangeng, hingga Roy Suryo. (*)