FORMAPP Mabar Tolak Kehadiran BOP Di Labuan Bajo Flores
Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata (FORMAPP) Manggarai Barat (Mabar), menolak dengan tegas kehadiran Badan Otoritas Pariwisata (BOP)di Labuan Bajo
Penulis: Servan Mammilianus | Editor: Adiana Ahmad
FORMAPP Mabar Tolak Kehadiran BOP Di Labuan Bajo Flores
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Servatinus Mammilianus
POS-KUPANG.COM | LABUAN BAJO- Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata (FORMAPP) Manggarai Barat (Mabar), menolak dengan tegas kehadiran Badan Otoritas Pariwisata (BOP) di Labuan Bajo Flores.
Penolakan itu dilakukan lewat aksi demonstrasi yang berlangsung Hari Rabu (8/5/2019).
Peserta aksi saat itu mendatangi Kantor Bupati Mabar dan Kantor DPRD Mabar. Di halaman kedua kantor itu mereka berorasi terkait penolakan BOP.
• Ini Desakan BP Komnas Pengawas BOP Labuan Bajo-Flores
Salah satu poin yang disoroti FORMAPP yaitu tentang penguasaan lahan seluas 400 hektar oleh BOP.
"Dari segi penguasaan tanah terhadap 400 hektar di Labuan Bajo tanpa konsultasi publik, tanpa prosedur demokratis yang melibatkan Pemda, DPR dan masyarakat. Penguasaan lahan yang sedemikian besar ini juga berpotensi mimicu ekskalasi konflik agraria di Labuan Bajo," bunyi salah satu poin dalam pernyataan alasan penolakan BOP yang ditandatangani oleh Ketua FORMAPP Aloysius Suhartim Karya.
FORMAPP menilai BOP memperlihatkan ciri pembangunan yang sangat sentralistik, dengan dibentuk langsung berdasarkan Perpres nomor 32 tahun 2018.
• Istana Ingatkan Seseorang yang Diperiksa KPK Belum Tentu Terlibat Korupsi
Pasalnya, kekuasaan BOP yang lintas wilayah administratif dengan jelas mencaplok wilayah kedaulatan pembangunan Kabupaten Manggarai Barat.
Formapp juga menyampaikan beberapa hal penting.
Pertama, dari segi pembentukan dan kedudukan, BOP bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Itu berarti BOP dengan jelas mengabaikan prinsip demokratis dalam mengurus pembangunan, karena mengesampingkan peran Pemda dalam hal ini Pemerintah Kabupaten dan DPRD Mabar dalam mengurus pembangunan pariwisata di Mabar.
Kedua, BOP juga dengan jelas melawan prinsip otonomi daerah dengan mengusai kawasan secara otonomi di daerah yang nota bene sudah memiliki otonomi atau kedaulatan sendiri.
Ketiga, dari segi penguasaan tanah terhadap 400 hektar di Labuan Bajo tanpa konsultasi publik tanpa prosedur demokratis yang melibatkan Pemda, DPR dan masyarakat.
• Komnas HAM Telusuri Dugaan Pelanggaran HAM di Aceh Saat Periksa Irwandi Yusuf di KPK
Penguasaan lahan yang sedemikian besar ini juga berpotensi mimicu ekskalasi konflik agraria di Labuan Bajo.
Keempat, tidak adanya unsur Pemda dan DPRD dalam susunan organisasi BOP Labuan Bajo, makin memperjelas watak sentralistik BOP dalam mengurus pembangunan pariwisata.
Menurut FORMAPP, dewan kepengurusan yang seluruhnya berasal dari lingkaran kementrian juga dengan jelas menunjukkan watak teknokratik BOP dalam mengurus pembangunan.
Kelima, watak sentralistik BOP juga terlihat jelas dari point rencana induk dan rencana detail pengembangan dan pembangunan, seperti terbuka ruang yang luas bagi BOP untuk mengatur zonasi pembangunan di Manggarai
Barat melalui kewenangannya untuk merancang RTRW dan RJWP 3-3.
Keenam, dari segi peruntukan lahan BOP dengan jelas berpihak pada pembangunan yang berwatak kapitalis. Karena itu sudah pasti tidak meransang tumbuhnya pembangunan ekonomi yang berwajah kewirausahaan lokal.
• Ini Alasan Politisi Nasdem Tolak Pansus Pemilu Sebelum Hasil Resmi KPU
Ketujuh, adapun ruang partisipasi masyarakat dirumuskan dalam kalimat yang begitu eksklusif dengan kalimat yang begitu lemah. Masyarakat "dapat" berpartisipasi dalam bentuk penyertaan modal, penyewaan.
"Atas dasar ini, FORMAPP menuntut dalam tuntutan Tritura," bunyi bagian lain dalam pernyataan FORMAPP hari itu.
Tuntutan itu yakni pertama, mendesak Presiden Jokowi untuk mencabut pemberlakuan Perpres nomor 32 tahun
2018 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Labuan Bajo-Flores.
Kedua, beri ruang yang luas bagi otonomi daerah Pemerintahan Kabupaten Manggarai Barat untuk mengurus rumah tangga pembangunannya sendiri.
Ketiga, menolak segala bentuk pembangunan yang berwatak sentralistik dari bumi pariwisata Labuan Bajo.(*)