Berita Puisi

Ini Loh, Puisi-Puisi Pos Kupang Minggu Ini, Kepoin Yuk

Puisi Melki Deni : Kau telah merampok puing-puing fatamorgana siang itu. Kau biarkan aku merana bersama kunang-kunang malam.

ilustrasi/hypwe
Lelaki pemungut fatamogana senja 

Puisi-Puisi Melki Deni
Lelaki Pemungut Fatamorgana Senja

Kau telah merampok puing-puing fatamorgana siang itu.
Kau biarkan aku merana bersama kunang-kunang malam.
Menari kematian kecil di tepi pantai janda ini.
Aku takkan bosan.
Abadi di sini.
Telah kudirikan kemah bagi setiap pecandu senja yang duka lara dan riak ria.
Menunggu tamparan hangat senja,
yang telah mengawinkan Adam dan Hawa.
Aku dan senja kita.
Aku berlitani khusyuk, mengidungkan elegi merdu di ujung secarik kertas.
Semoga kau hadir, memeluk, dan menjemput aku bersama kemah pecandu senja.
Di sana kita merayakan nikmatnya kematian kecil,
dan sakitnya penghidupan lama.
Semoga waktu tidak mengkhianati semburat impresi-impresi naluri senja.

Link Live Streaming Resepsi Pernikahan Syahrini-Reino Barack, Luna Maya Unggah Foto Bawa Bunga Mawar

Romantika di Ujung Nestapa

Masih ingatkah kemarin?
Saat kau bilang janganlah terlalu lama bermain dengan rindu.
Rindu perlu dirawat dan dihiasi dengan seni berpengertian.
Suatu saat nanti kita akan merayakan bersama rindu kita.

Saat kau larang janganlah terlalu betah melirik senyumannya.
Senyumannya memburuh dan meracuni jiwa-jiwa suci.
Suatu saat nanti kita mendeklarasikan tahbisan kita.

Saat kau tulis janganlah terlalu tega berdusta dengan sumpah.
Sumpah menyejarahkan rindu-rindu dan merindukan sejarah segar.
Suatu saat nanti kita akan memanen padi-padi kita di padang yang gersang.

Saat kau biarkan air mata ini bergantung di ujung dengan terlara-lara.
Air mata takut dan segan membunuh diri di tengah nestapa dahsyat.
Suatu saat nanti kita akan memeluk hadiah teristimewa itu di Israel.
(Melki Deni, Mahasiswa semester II STFK Ledalero Maumere).

Puisi-Puisi Bruno Rey Pantola
Tongkang

Pada bibir segar yang biru
Kulepas buntutmu dari relung mataku
Burung-burung di udara menyeruak cumulus
Dengan kelepak sayapnya.

Hujan bernomaden pada tubuhku
Kini bertengger di mataku dan entah kemana nanti
sedang bibir merdu melafalkan doa
menuntun "selamat tinggal" dengan yakin ke dalam tongkang

hiba tanahku beranak pinak
tak ada yang membendungnya
namun perih bagaikan ngengat
mengikis sukma dari lubuk yang tersembunyi

Kasus Bowo Sidik Pangarso, KPK Geledah Ruangan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita

di bibir segara, kini tinggal bakau-bakau
berleret pasrah pada angin laut
melihat daratan dijungkir balik
lenguh tak berdaya, sepayah mungkin

sedang di seberang pulau
insan-insan dari tanah ini
beraut muram, dipaksa
sigap di bibir pelabuhan

menuai hasil di dalam tongkang
dari tanahnya sendiri
seperti samun baru selesai dibebaskan
dan akan terus seperti itu tak terhingga.
(Yogyakarta, 2019)

Ayah dan Saudara Dalang Teror Bom Ledakkan Diri, Dekrit Presiden NJT dan JMI jadi Organisa Terlarang

Latah

Ke dalam bibirmu
Kusimpan raut wajahku yang lisut.
Kau bahasakan tubuhku yang kusut
Di antara sumpah-sumpah latah dedaunan
Yang meninggalkan pelepah pohon
Menjadi yatim di antara pasang-pasang
Serbuk sari dan putik yang bermesraan lewat angin.
(Yogyakarta, 2019)
(Bruno Rey Pantola, lahir di Lospalos, 23 Maret 1997. Alumni Seminari St. Rafael Oepoi, Kupang).

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved