Opini Pos Kupang
Opini Pos Kupang 12 April 2019: Oleh-Oleh ke Senayan
Oleh-oleh ini hanyalah tampilan sebuah fakta dan menjadi bahan aspiratif terutama untuk para caleg yang lolos ke Senayan.
"Oleh-oleh" ke Senayan
Oleh: Dr. Acry Deo Datus, MA ( Dosen Undana )
& Jose Acry (Australian Global Alumni )
Oleh-oleh ini hanyalah tampilan sebuah fakta dan menjadi bahan aspiratif terutama untuk para caleg yang lolos ke Senayan. Fakta yang menarik tentang hasil pemilu lima tahun lalu.
Hasil pemilu tersebut (DPR+DPD) menunjukan bahwa Wilayah Indonesia Barat (WIB) memiliki 469 kursi, sedangkan wilayah Indonesia tengah dan wilayah Indonesia Timur peroleh 202 kursi, tak sampai separuhnya (Sadikin, 2016).
Fakta ini dapat ditafsirkan bahwa kita belum mampu mewujutkan cita-cita pemerataan sebagaimana pada bidang ekonomi/infrastruktur dll.
Alokasi anggota parlemen (DPR+DPD) yang berat sebelah antara Jawa-Sumatera dan wilayah lain selebihnya masih perlu didiskusikan.
Bagaimana kita harapkan agar mereka bisa maksimal menyuarakan untuk kepentingan wilayah tengah dan timur tersebut?
Mungkin pada awalnya terdengar nyaring suaranya, tetapi pada akhirnya sayup-sayup hampir tak kedengaran karena a.l. dilanda kebiasaan voting.
Alasan awal menentukan anggota DPR berdasarkan jumlah penduduk/pemilih mungkin terasa masuk akal. Namun konsep pemikiran itu perlu dipertimbangkan lagi karena tidak memasukkan filosofi dasar bagaimana mendirikan Negara Indonesia.
Ada 2 syarat awal dan utama sebagai warisan peradaban politik dunia jalah PENDUDUK dan WILAYAH. Konstruksi apapun pembangunan politik di negeri ini harus mempertimbangkan kedua faktor ini.
Jika dibandingkan dengan masa lalu (Orba) dapat dikatakan kita mundur (setback). Masa lalu dipastikan tiap kabupaten mempunyai seorang wakil di DPR RI.
Sekarang didapil-dapilkan. Caleg disuruh "berkelahi" untuk merebut 1 atau 2 kursi di beberapa kabupaten/kota.
Konfigurasi parlemen hasil Pemilu 2014 yang lalu tidak menunjukkan upaya pemerataan di bidang politik sebagaimana ditunjukan di bidang ekonomi.
Kemajuan bidang ekonomi dan yang lainnya yang dirasakan saat ini adalah konsep pemerataan pembangunan oleh Jokowi.
Konsep ini tidak lagi berkonsentrasi pada kepadatan penduduk saja sebagaimana bidang politik/pemilu saat ini tetapi juga pada bentangan wilayah Indonesia yang luas ini diperhitungkan.
Harga BBM dan pembangunan infrastruktur serta sektor ekonomi lainnya mulai digalakkan dan telah menyentuh wilayah Indonesia bagian tengah dan timur.
Untuk mencapai pemerataan di bidang politik, perlu ditinjau kembali peraturan perundang-undangan yang menetapkan sistem pemilu di tanah air.
Umpamanya, menentukan quota jumlah kursi untuk WIB, WITENG dan WIT. Cara lain misalnya, setiap kabupaten/kota mendapatkan jatah awal 1 kursi untuk DPR RI, tak peduli berapapun jumlah penduduknya.
Sedangkan bagi kabupaten kota dengan jumlah penduduk tertentu bisa memperoleh tambahan kursi. Cara ini untuk memberi perhatian pada daerah-daerah otonom di kabupaten/kota seluruh Indonesia yang berjumlah tidak kurang dari 508.
Jadi setiap kabupaten/kota agar minimal mempunyai seorang wakil di DPR RI seperti di zaman Orde Baru. Hal ini sebagai pengejawantahan sila-sila Pancasila (personal communication, F. J. Pullu, SH, 11 Maret 2019).
Mengapa daerah-otonom ini perlu mendapai perhatian? Sebelum penjajahan, wilayah NTT terdiri dari kerajaan-kerajaan mandiri.
Peperangan dan ekspansi selalu mewarnai dalam perjalanannya. Kerajaan-kerajaan tersebut tersebar dari Komodo di barat sampai Kolana di timur dan dari Palue di utara sampai Rote-Sabu di selatan.
Sisa-sisa kerajaan masih ditemukan dan yang masih terpelihara adalah adat istiadat dan budaya daerah yang bisa disaksikan hingga saat ini. Adat dan budaya merupakan identitas dan kebanggaan masing-masing komunitas/daerah.
Kemandirian dan harga diri kita hari ini berakar dari bawaan adat istiadat dan budaya tersebut sebagai falsafah masyarakat NTT.
Pemahaman post modern, bahwa keyakinan dan pandangan kita akan kebenaran, berakar dari komunitas tempat kita berada. Orang-orang post modern tidak merasa perlu membuktikan diri mereka benar dan orang lain salah.
Bagi mereka masalah pemahaman atau pandangan hidup adalah masalah konteks sosial. Apa yang benar untuk kami, mungkin saja salah bagi Anda. Apa yang salah bagi kami, mungkin saja benar atau cocok dalam konteks Anda (Grenz.1996, p.29).
Umpamanya kita tidak mengenal kebiasaan minta-minta tetapi kita juga tidak menolaknya kalau itu merupakan kebiasaan di tempat lain. Ternyata kebiasaan kita itu mempunyai kotribusi terhadap kemandirian.
Dengan kalimat lain, kemandirian bukanlah hal baru bagi orang NTT.
Mari, kita lestarikan adat istiadat dan budaya serta mengembangkan kearifan lokal. Adat istiadat dan budaya terbukti mampu menuntun masyarakat NTT sejak ribuan tahun silam hingga hari ini dan akan sanggup pula membimbing kita jauh kedepan.
Alasan-alasan inilah mengapa harga kursi untuk berbagai wilyah itu harus bervariasi.
Konsep ini akan menghasilkan harga kursi yang berbeda-beda antara wilayah yang satu dengan yang lainnya sebagai kompensasi terhadap luasnya wilayah yang dihuni dan identitas yang berbeda.
Dengan kata lain sistem mana saja yang digunakan atau melalui perhitungan apapun juga agar mendapatkan kursi yang seimbang antara wilayah WIB dengan wilayah WITENG dan WIT.
Dengan posisi seperti ini posisi tawar antar wilayah tersebut lebih kuat dari pada selama ini dimana kekuatan sepenuhnya ada di barat.
Pembagian seperti ini tak ada maksud tertentu kecuali untuk menciptakan rasa keadilan antara sesama.
Setelah memperhatikan para caleg yang bersaing pada pemilu yang akan datang ini terdiri dari figur-figur berkualitas dan berpengalaman luas maka aspirasi ini bukan saja untuk diperjuangkan tetapi dapat diwujudkan.
Khusus untuk NTT diharapkan paling kurang 22 orang wakil menuju Senayan pada Pemilu 2024 yang akan datang. (*)