Opini Pos Kupang

Opini Pos Kupang 10 April 2019:Pemilu dan Persoalan Kepercayaan

PEMILU yang sedang berproses hingga saat ini menampakkan suatu hal yang menguatirkan yaitu hilang atau memudarnya kepercayaan antar pihak

Editor: Ferry Jahang
POS-KUPANG.COM/Gecio Viana
Pengamat Politik dan Kebijakan Politik dari FISIP Undana Kupang, Dr. Laurensius P. Sayrani, S.Sos., MPA saat ditemui di di ruang dosen Administrasi Negara, FISIP Undana pada Jumat (18/1/2019) siang. 

Pemilu dan Persoalan Kepercayaan
Oleh :Laurensius Sayrani
Dosen Fisipol Undana; Aktif di Bengkel APPeK

PEMILU yang sedang berproses hingga saat ini menampakkan suatu hal yang menguatirkan yaitu hilang atau memudarnya kepercayaan antar pihak terutama antara peserta pemilu dengan pemilih (publik).

Ada banyak situasi yang mengindikasikan hal ini, dan salah satunya adalah dugaan praktek politik uang dalam berbagai bentuk yang kian marak.

Politik uang itu semacam relasi transaksional yang basisnya berakar pada hilangnya saling percaya antar pihak dalam ruang pemilu.

Pemilih menduga bahwa para caleg misalnya setelah terpilih menjadi anggota legislatif akan melupakan pemilihnya dan sebaliknya caleg juga mungkin tidak memercayai bahwa konstituennya adalah pemilih yang loyal terhadap ide-ide politiknya.

Politik uang itu semacam harga ketidakpercayaan antar keduanya. Semakin besar biaya transaksional, semakin besar ketidakpercayaan antara keduanya.

Pemilu dan Produksi Ketidakpercayaan

Kepercayaan dalam politik (pemilu) adalah kondisi dimana seseorang maupun publik menaruh keyakinan terhadap kinerja semua aktor, institusi dan proses politik yang dihadapinya.

Keyakinan itu dibentuk oleh penilaian masa lalu maupun penilaian akan masa depan dari semua komponen politik tersebut.

Keyakinan semacam inilah yang membentuk berbagai tindakan politik baik secara personal maupun kolektif misalnya partisipasi hingga kesukarelaan politik.

Dalam pandangan semacam ini, suatu moment politik (pemilu) semestinya diarahkan untuk menghasilkan dan bahkan surplus kepercayaan yang dengan itu sistem politik akan didinamiskan secara produktif,

dimana pemimpin politik berkualitas dihasilkan, kebijakan publik cerdas juga dihasilkan dan semua institusi bekerja secara maksimal.

Namun demikian, dalam skema kontestasi politik yang ketat saat ini, pemilu justru tidak cukup berhasil memproduksi kepercayaan politik secara memadai.

Padahal pada sisi yang lain, terpaan informasi terkait pemilu dan politik pada umumnya begitu terasa.

Melalui media massa konvensional dan media sosial yang merambat pada perbincangan keseharian, maka saat ini nyaris semua orang bersentuhan dengan informasi tentang pemilu dan politik.

Idealnya, kondisi ini memicu dan menguatkan kecerdasan politik yang menjadi basis relasi politik antar berbagai pihak.

Namun bersamaan dengan itu, saling percaya di antara kita justru memudar yang ditandai oleh mudahnya berita bohong tersebar, dikonsumsi

dan bahkan menjadi pijakan bagi sebagian orang serta mudahnya orang marah atas nama kelompok politiknya, menjadi indikasi memudarnya kepercayaan tersebut.

Lalu darimana akar ketidakpercayaan tersebut dalam pemilu?

Mungkin ada banyak penjelasan terhadap pertanyaan ini, namun bagi saya, hal ini semua berakar pada sikap melihat kekuasaan (politik) sebagai milik yang daripadanya lahir keuntungan-keuntungan personal misalnya keuntungan ekonomi, penghormatan sosial dan sebagainya.

Sebagai milik, kekuasaan (menjadi kepala daerah, anggota legislatif) tercabut dari dimensi publik (urusan publik).

Dalam kerangka pikir milik publik, kekuasaan diperoleh karena relasional yang berbasis kepercayaan.

Sebaliknya, dalam kerangka pikir milik, kekuasaan adalah sesuatu yang dikapling dengan berbagai cara termasuk melalui transaksional--politik uang.

Sebagai kapling, boleh jadi jumlah kursi di legislatif (DPR/D) atau jabatan
di eksekutif adalah simbol besaran kapling kekuasaan yang didapat dari besaran
transaksional tersebut.

Itu yang menjelaskan bagaimana saat ini "kapling kursi" di legislatif/eksekutif dikapitalisasi semaksimal mungkin secara ekonomis yang bermuara pada pratek korupsi kebijakan di berbagai level dan tempat di Indonesia.

Hilangnya Isu Publik

Dalam proses pemilu yang saat ini sedang berjalan, implikasi dari praktek politik tanpa landasan kepercayaan yang kuat adalah terbentuknya pemilu yang minus diskusi isu dan agenda publik terutama di tingkat lokal.

Dalam relasi yang cenderung transaksional, pemilu justru kehilangan dimensi politiknya yaitu upaya artikulasi kebaikan bersama (publik).

Isu-isu khas NTT seperti perdagangan manusia, stunting, kemiskinan dan sebagainya tidak muncul secara kuat dalam arena pemilu.

Isu publik disingkirkan karena pertukaran ide politik dianggap sebagai sesuatu yang tidak berguna. Oleh caleg, mempersuasi pemilih dengan gagasan atau ide politik dianggap sebagai suatu strategi yang tidak efektif.

Pemilih juga tidak didorong untuk terbiasa menaruh pilihan berbasiskan preferensi ide-ide politik para caleg dan cenderung mengangapnya sebagai "omong kosong".

Dalam situasi ini, caleg yang mempromosikan ide politiknya dan pemilih yang kritis justru dianggap sebagai tidak normal.

Padahal pemilu sebagai salah satu elemen demokrasi sejatinya adalah arena pembentukan gagasan politik yaitu arena dimana para aktor politik menawarkan alternatif solusi atas berbagai persoalan publik dalam mekanisme politik.

Tawaran alternatif bermakna adanya kontestasi ide politik yang melahirkan perbedaan dan militansi atasnya dari semua aktor politik yang terlibat di dalamnya.

Situasi ini sungguh berbahaya karena pemilu gagal menjadi arena dan fasilitas yang memproduksi bayangan politik secara personal dan kolektif tentang Indonesia dan NTT khususnya.

Pada titik ini, pemilu jatuh sekedar prosedural kepemiluan yang tidak menghasilkan apa-apa secara subtansial.

Meskipun demikian, di tengah himpitan kondisi semacam ini, kita tetap masih menemukan politisi yang tetap tegak lurus melangkah dalam aliran politik etis yang mengedepankan gagasan politik sebagai amunisi relasi politik dengan warga dan pemilih khususnya.

Kita berharap itu tumbuh dan berkembang pada politisi-politisi muda kita yang berkompetisi saat ini.

Di sisi pemilih, kita juga berharap pada pemilih muda yang dengan karakter bebasnya mampu menolak semua bentuk politik transaksional.

Kita berharap politisi muda dan pemilih muda menjadi basis yang memproduksi kepercayaan sebagai elemen politik kita saat ini dan masa yang akan datang. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved