Renungan Harian Kristen Protestan Jumat 8 Maret 2019, Tenda duka jadi tenda sukacita? Mengapa tidak!
Renungan Harian Kristen Protestan Jumat 8 Maret 2019, Tenda duka jadi tenda sukacita? Mengapa tidak!
Ada teman saya masih terus berkisah tentang papanya yang sudah setahun meninggal. Meskipun ia bahkan seorang Pendeta, tetapi air matanya terus mengalir, terutama ketika menyanyikan lagu tertentu yang paling disukai almarhum papanya.
Banyak orang masih terus mengenang dan bersedih, meskipun peristiwa duka itu telah berlalu bertahun-tahun.
Itu semua membuktikan bahwa kematian meninggalkan duka dan kesedihan yang sangat mendalam.
Lalu mengapa mesti ada ibadah pengucapan syukur kematian, padahal keluarga masih berduka? Bukankah sesudah ibadah syukur, masih terlihat dukacita dan kesedihan dari keluarga yang ditinggalkan?
Bukankah setelah pengucapan syukur, orang masih berceritera tentang orang yang sudah meninggal dan masih terus mengenangnya?
Bukankah setelah semua keluarga pulang dan orang yang berduka akan tetap merasa kehilangan suami atau istrinya ketika memasuki kamarnya atau duduk di meja makan dimana mereka selalu makan bersama?
Pembaca yang budiman, bagi orang-orang beriman, Ibadah syukur entah mau dilaksanakan pada hari pemakaman atau hari lainnya esensinya secara alkitabiah tetap sama.
Karena ibadah syukur merupakan sebuah pengakuan di hadapan Tuhan bahwa memang keluarga masih berduka, namun keluarga bukan milik kedukaan itu, melainkan milik Tuhan.
Bila kedukaan dilebih-lebihkan, maka kita sedang melantiknya menjadi tuan atas hidup kita dan bukan lagi Tuhan yang menjadi tuan atas orang yang hidup.
Orang yang telah mati mungkin punya banyak kenangan indah, tetapi itu tidak boleh menguasai keluarga duka dan tenggelam di dalamnya dan mengabaikan kasih Tuhan yang mesti diteruskan oleh keluarga-keluarga yang masih hidup.
Selain itu Ibadah Syukur yang dilakukan oleh orang-orang percaya sekaligus merupakan ibadah penguatan iman bahwa kita adalah milik Tuhan.
Ibadah syukur juga merupakan pengakuan bahwa sebagai manusia biasa, kita tidak menyangkali bahwa kita masih berduka, tetapi kita berduka sebagai milik Tuhan, kita berduka sebagai anak-anak TUhan.
Mazmur 90:1-12 yang menjadi renungan kita saat ini bisa menjadi reverensi mengapa alasan-alasan yang dikemukan di atas dapat kita pertanggungjawabkan.
Mazmur 90:1-12 ini ditulis oleh Musa, dan melalui mazmur ini kita diajak untuk menyadari hubungan kita dengan Tuhan. Tuhan adalah pencipta dan kita adalah umat ciptaanNya.
Mazmur ini mengingatkan kita, bahwa kita terbatas atau fana, tetapi Allah yang kita percayai tidak terbatas.