Opini Pos Kupang
Belajar dari Para Gembala
Bukankah justru para gembala yang harus belajar? Ini mungkin saja benar kalau konteksnya adalah kurikulum pendidikan
Oleh Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Staf Pengajar UKSW Salatiga
POS-KUPANG.COM - Dalam kebanyakan masyarakat dunia, termasuk masyarakat Yahudi gembala merupakan kaum tidak terpelajar. Lalu, apa yang bisa kita pelajari dari para Gembala?
Bukankah justru para gembala yang harus belajar? Ini mungkin saja benar kalau konteksnya adalah kurikulum pendidikan untuk mata kuliah di lembaga pendidikan tinggi untuk meraih gelar akademik. Tetapi dalam univeritas kehidupan, yang kurikulumnya pendidikan karakter dan mata kuliahnya iman, tidak peduli apa pun gelar seseorang. Belajar dari para gembala di Efrata adalah sebuah imperatif.
Belajar dari para gembala, ini juga yang diasumsikan dalam Kidung Jemaat No. 101. Penulis lagu ini mengasumsikan perlunya belajar dari para gembala ketika meng-compose ayat 2: Hai Gembala, karna apa sambutan ini menggegar. Bagi Maharaja siapa sorak sorgawi terdengar. Apakah ada yang bisa dipelajari dari kaum tak terpelajar dan bergelar, seperti gembala-gembala di Efrata? Akh baiknya saya berikan contoh untuk saudara dan saudari renungkan sendiri.
• Pelaku Penjambretan Di Kupang NTT Sudah Terdeteksi Bersiaplah Ini Hukuman Berat Yang Akan Diterima
• Hari ini Senin 14 Januari 2019, Nasib Dosen Bergelar Doktor yang Selingkuhi Mahasiswinya Ditentukan
• Ramalan Cinta Zodiak Senin 14 Januari 2019, Capricorn Bermasalah, Gemini Romantis
Seorang bapak, tua renta tak tamat SD dan bekerja serabutan, membawa beberapa butir telus ayam ke pasar untuk beli beras. Seorang nyonya menghampirinya. "Satu butir telur harganya Rp 2.500 nyonya." Begitu si bapak menjelaskan. Dengan setengah memaksa nyonya itu berkata: "Saya mau membeli 6 butir tetapi kalau harga per butir Rp 2.000. Kan telurnya kecil dan bisa saja ada yang sudah busuk. Kalau harganya tidak turun, saya ngak jadi beli." Kata si nyonya dengan ketus.
Penjual telur mengangguk perlahan sambil menjawab: "Baiklah nyonya, mungkin ini awal yang baik sebagai pelaris karena dari pagi belum ada satu pun telur saya yang terjual." Penjual telur beberapa kali ucapkan terima kasih kepada si nyonya.
Setelah membayar nyonya itu pergi, berjalan dengan wajah puas karena berhasil menawar. Si Nyonya masuk ke dalam mobil mewah miliknya, menuju sebuah restoran luks untuk bertemu dua teman sesama nyonya gaul untuk sarapan pagi sambil ngerumpi tentang si B. tentu saja menu berkelaslah yang dipesan untuk menjaga gengsi. Jumlahnya pun melampaui kapasitas perut supaya nampak dermawan.
Ternyata makanan yang dipesan banyak sisa karena nyonya-nyonya takut bobot badan naik.
Nyonya ini lalu pergi ke kasir untuk membayar. Pesanan sarapan pagi mereka seharga Rp 250.000. Tiga lembar uang merah dia keluarkan dari tas bermerek. Ketika pemilik restoran di balik meja kasir hendak mengembalikan Rp 50.000 si nyonya berkata:
"Uang kembalinya simpan saja. Hitung-hitung sebagai tips untuk pelayananmu." Pemilik restoran menerima tips itu tanpa sedikitpun melirik apa lagi mengucapkan terima kasih kepada si nyonya.
Kejadian seperti ini adalah hal sehari-hari di dunia nyata. Si nyonya merampok uang Rp 500 yang seharusnya menjadi keuntungan bagi si penjual telur, tetapi bermurah hati beri tips Rp 50.000 bagi si pemilik restoran yang sudah untung berlipat ganda untuk sarapan pagi yang harganya meroket. Sudahkah ibu dan bapak melihat pelajaran iman dari cerita tadi?
Sikap kedermawan kita sering kali muncul terbalik, yakni sangat dermawan kepada si kaya dan merasa puas ketika berhasil menekan pedagang kecil. Tetapi lihatlah, pedagang kecil menerima penindasan dengan mengucap syukur, sementara si kaya tidak melirik sedikitpun karena tips yang dia terima.
Di universitas kehidupan pelajaran tentang iman, kehidupan yang penuh syukur, penyerahan diri yang total kepada pemeliharaan Allah lebih banyak kita temukan dalam profil orang-orang yang terbiasa hidup dalam tekanan dan alami perampokan terselubung, seperti dalam sikap penjual telur tadi.
Lukas menampilkan para gembala dalam pentas cerita kelahiran Yesus Natal untuk menonjolkan dimensi ini. Para gembala adalah orang beriman apa adanya, polos, total mengerjakan apa yang diserukan.
Malaikat hanya berkata: "Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan." Ini sebuah kalimat berita (indicative), bukan kalimat perintah (imperative). Tetapi para gembala menanggapinya sebagai perintah.
Disebutkan dalam ayat 15 setelah bala tentara sorga meinggalkan angkasa raya, berkatalah gembala itu satu kepada yang lain: "Marilah kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana, seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita." mereka ke Betlehem. Tak ada pikiran mengenai nasib domba gembalaan mereka, tidak juga takut kehilangan pekerjaan karena dipecat jika saat pergi melihat tanda yang disebutkan malaikat ada domba mereka yang hilang. Iman yang total.