Opini Pos Kupang
Mengenang 9 Tahun Kepergian Sang Guru Bangsa, Gus Dur
Tak tahulah. Yang pasti jujur aku harus bilang, seperti saudaraku semua, kami ini pelan tapi pasti mulai melupakanmu.
Oleh Theodorus Widodo
Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) NTT
POS-KUPANG.COM - Takzim Gus. Sudah lama sekali aku tidak pernah lagi kirim berita buat panjenengan. Entah sibuk atau sok sibuk atau apa.
Tak tahulah. Yang pasti jujur aku harus bilang, seperti saudaraku semua, kami ini pelan tapi pasti mulai melupakanmu. Lupa pada nasehat bijak tanpa pandang bulu itu. Lupa pada gaya omongmu yang keras, ceplas-ceplos dan nyeleneh.
Lupa pada humor dan gelak tawa mengentengkan segala hal. Lupa pada kemampuanmu melihat sesuatu sebelum terjadi pakai indera keenammu. Lupa juga pada "gitu aja kok repot". Lupa pada ketokohan paradoksalmu.
• Artis Ini Berderai Air Mata, Saat Ruben Onzu Membawa Sekotak Hamburger Begini Kisahnya
• Intip Cara Move On dari Patah Hati Berdasarkan Zodiak, Gemini Potong Rambut, yuk! Zodiak Lain?
• ARMY Wajib Nonton! BTS Run Season 3 Bakal Tayang Hari ini di Channel V, Catat Waktunya!
Pokoknya lupa panjenengan. Kami semua terlalu sibuk urus diri sendiri yang akhirnya sekarang jadinya membuat kami mulai tidak tahu diri.
Tapi jangan sedih ya Gus. Panjenengan tidak usah terlalu kecewa begitu. Paling tidak hari ini masih ada orang seperti aku (dan tentu masih banyak yang lain) yang tetap mengingatmu. Kangen gaya bicaramu.
Kangen pada pembelaanmu kepada siapa saja yang tertindas tanpa reserve. Kangen pada keberpihakanmu kepada kaum terpinggirkan, tidak peduli apapun etnis, golongan atau agamanya. Dan tentu juga kangen pada nasehat-nasehatmu.
Aku masih ingat kejadian sembilan tahun lalu. Tepatnya hari Rabu 30 Desember 2009 sore. Jarum jam menunjukkan angka 06.45. Ketika itu sedang enak-enaknya nonton acara dialog interaktif di televisi yang aku lupa temanya. Acaranya asyik benar. Seru.
Tiba-tiba acara itu terpotong oleh breaking news yang mengagetkan kami semua. Gus Dur Sang Guru bangsa wafat. Duh Gus, kagetnya kami semua waktu itu sulit terbayangkan. Kaget dan sedih atas orbituari itu.
Kami semua tahu, waktu seperti itu memang pasti segera akan tiba karena panjenengan sakit-sakitan terus. Terutama komplikasi stroke, jantung dan ginjal. Tapi tetap saja waktunya terasa terlalu cepat dan mengagetkan. Gusti Allah terlalu cepat memanggilmu pulang saat kami belum siap Gus.
Kami masih sangat membutuhkanmu sebagai benteng terakhir banyak masalah kebangsaan. Benteng terakhir keadilan yang kadang bahkan terkesan panjenengan beyond the law. Panjenengan bapak yang selalu siap bela anaknya tidak peduli salah atau benar. Dan, umumnya orang tidak berani melawan.
Dialog interaktif di televisi pun terhenti cukup lama, diganti liputan langsung dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Sedih sekali rasanya menyaksikan panjenengan dibawa dalam keranda diiringi gema bacaan tahlil pertanda keesaan Allah dan pengakuan atas kerasulan Muhammad SAW itu.
Padahal dua jam sebelumnya masih ada tayangan televisi panjenengan ngobrol dengan seorang sahabat di ranjang rumah sakit. Tentang keprihatinan panjenengan atas masalah kebangsaan.
Lorong-lorong RSCM tempat keranda lewat jadi seperti lorong kematian buat kami semua juga. Bukan panjenengan saja. Semua orang yang berdesakan disampingmu seperti malaikat pencabut nyawa yang sekarang sedang melakukan selebrasi menjemput dan membawamu dalam keranda ke tempat yang gelap pekat yang amat menakutkan.
Dada ini terasa terlalu sesak Gus. Peristiwa pilu itu mestinya belum perlu terjadi. Rasanya kami tidak percaya. Kok bisa begitu cepat sampeyan dipanggil pulang.
Tapi apa boleh buat. Gusti Allah menetapkan waktumu sudah cukup. Sampai di sini saja ziarah hidupmu di bumi yang fana ini.
Mau bagaimana lagi. Sekarang. Sembilan tahun sudah waktu itu berlalu. Ini waktu yang sebenarnya sudah cukup panjang untuk tidak lagi bersedih. Karena itu baiklah. Sekarang ini aku butuh nasehatmu saja. Sory lho Gus. Ganggu waktu istirahat panjenengan di atas sana.
Begini Gus. Sampeyan tahu kan? Kita ini sebentar lagi mau Pemilu. Pemilu kali ini beda daripada sebelumnya. Bahasa gaulnya Pemilu kali ini campursari. Campur pilih legislatif dan eksekutif sekaligus. Banyaknya pilihan ini tentu bikin kita semua pusing. Termasuk penyelenggara tentunya
Lha bagaimana tidak pusing Gus. Pertama, pemilu ini serentak. Satu orang harus nyoblos di lima surat suara. Pilih satu orang saja selama ini sudah susah. Sekarang harus pilih 5 orang sekaligus ditiap tingkatan wilayah yang beda beda pula. Pasti mumet.
Salah salah bisa pilihannya lain nyoblosnya di lain. Apalagi calegnya audzubillah, banyaknya minta ampun. Mesti dipelototi baik-baik di nomor urut berapa partainya dan di nomor urut berapa jagoannya.
Kedua, ujaran kebencian, isu SARA, hoax, kampanye hitam, narasi pesimis dan lain lain. Sekarang semua ini semakin banyak saja berseliweran gak karuan. Gentayangan kayak gendruwo atau dunia maya tanpa wujud nyata.
Maunya sih orang-orang ini ditangkap semua. Tapi mana bisa. Kalau satu dua orang yang ngaco masih gampang nangkepnya. Tapi kalau ribuan orang begitu ya pasti tidak bisa. Bui mana yang punya cukup daya tampung untuk dijadikan asrama pordeo para kampret itu.
Yang paling parah isu agama Gus. Isu agama ini paling seksi untuk dimainkan. Supaya menang mudah. Dari dulu kalau bicara agama orang pasti jadi sangat sensi. Gampang tersinggung. Gampang pula diajak jadi bolo. Salahnya siapa? Ya kita semua. Agama bagi kita sudah jadi segala-galanya. Hidup selalu disangkutpautkan dengan agama. Mati hidup hanya demi agama.
Coba perhatikan Gus. Sekarang ini salam pembuka pidato saja selalu pakai salam keagamaan. Teman aku pernah pulang sebelum acara dimulai gara-gara si pejabat lupa menyebut salam menurut agamanya. Ada juga teman aku yang pejabat terpaksa mesti siap kertas kecil berisi catatan salam pembuka yang lengkap menurut semua agama.
Persiapan setiap kali sebelum pidato. Takut salah ucap karena dia memang sering salah ucap atau kelupaan. Terutama salam menurut agama Khonghucu yang diucapkan sebagai salam kebajikan. Padahal seharusnya "Wei De Dong Tien".
Tambah rumit kan? Lho, kok mesti ada salam pembuka menurut agama Khonghucu? Iyalah Gus, negara ini kan mengakui ada 6 agama termasuk Khonghucu kan?
Salam pembuka semacam itu menurut aku malah semakin mengingatkan bahwa kita semua memang beda. Kenapa tidak dicarikan saja salam nasional yang gampang dan membuat kita semua ini merasa satu. Indonesia.
Untuk itu aku ingat ada jalan keluarnya Gus. Momennya di Pekan Kerja Nyata Revolusi Mental tanggal 26-28 Oktober 2018 baru-baru ini di Manado. Pesertanya 15.000 orang dari seluruh Indonesia. Waktu itu Mendagri menganjurkan kita pakai salam Pancasila saja sambil angkat lima jari. Bagus lho Gus.
Kalau dipraktikkan kelihatan seperti toast Pancasila. Salam Pancasila ini mengingatkan kita semua walaupun kita beda agama tapi tetap satu. Dipersatukan oleh Pancasila. Dengan salam Pancasila ini menurut Mendagri kita selalu diingatkan bahwa bangsa kita punya way of life yang luar biasa bagus yang tidak dipunyai bangsa lain di manapun di dunia.
Hayati dan lakukan saja semua sila dan butir butirnya, niscaya semua urusan kelar. Bukan hanya urusan dunia saja. Dunia dan akhirat. Karena itu Pancasila perlu selalu diucapkan untuk dihayati pada setiap kesempatan.
Contoh lainnya Gus. Libur hari besar keagamaan. Liburnya lama bukan main. Sementara libur 17 Agustus berapa hari? Sehari doang sesuai tanggalan merah yang ada di kalender. Tidak ada ekstra. Tidak ada fakultatif. Tidak ada cuti bersama. Kita bisa bikin apa dengan libur sehari itu?
Sungguh miris lho. Dari 23 tanggal merah 2018 hanya ada dua hari libur kebangsaan. Tanggal 17 Agustus dan 1 Juni. Sementara itu berapa hari libur keagamaan? Ada 18. Bayangkan 2 banding 18. Belum lagi ditambah libur fakultatif seperti sekarang ini. Jadi bagi kita agama ini nomor satu. Nasionalisme urutan kesekian.
Barangkali saja di urutan buntut. Coba bandingkan dengan negara maju semacam China. Libur hari nasional atau kemerdekaannya yang jatuh pada tanggal 1 Oktober satu minggu penuh.
Untuk itu sebagai guru bangsa dan presiden yang sudah purna bakti, tolong beri kami
petunjuk Gus. Kita ini harus bagaimana. Sebentar lagi ada Pemilu yang bisa membuat bangsa ini semakin terbelah.
Hidup dalam kotak-kotak agama yang sekatnya terasa semakin keras dan tebal ini sungguh tidak nyaman. Tolong mintakan petunjuk Gusti Allah yang bisa panjenengan ajak diskusi di atas sana. Tapi jangan tidur lagi seperti dulu waktu sedang diskusi ya. Apalagi ini diskusi bersama beliau. *