Berita Nasional
Sastrawan NH Dini Meninggal Dunia karena Kecelakaan, Begini Kronologi Kecelakaannya
Direncanakan Rabu (5/12/2018) pukul 12.00 WIB akan dikremasi di pemakaman Kedungmundu Semarang.
Novel Pada Sebuah Kapal terdiri atas dua bagian yang satu sama lainnya tidak merupakan satu kesatuan, tetapi saling mendukung dan memperjelas alasan peristiwa atau sifat-sifat tokoh pada bagian yang lain.
Tokoh-tokoh di kedua bagian sama, tetapi tokoh utama dalam bagian pertama adalah Sri, seorang penari yang menjadi istri seorang diplomat Perancis, Charles Vincent, sedangkan tokoh utama dalam bagian kedua adalah Michel Dubanton, seorang pelaut. Alur kedua bagian novel itu berbeda sekali.
Bagian pertama berisi rangkaian peristiwa yang dialami tokoh Sri sejak kecil sampai bertemu dan berpisah lagi dengan Michel Dubanton, sedangkan bagian kedua berisi rangkaian peristiwa yang dialami Michel Dubanton sejak kecil sampai bertemu dan berpisah lagi dengan tokoh Sri.
Sejak terbit pertama kali, Pada Sebuah Kapal telah mendapat tanggapan dari berbagai pihak.
Sebagai contoh, H. Zain menanggapi novel Pada Sebuah Kapal dengan mengatakan novel tersebut merupakan pemberontakan atas kungkungan nilai-nilai pernikahan dengan melepaskan segala ikatan warna dan bangsa serta cara perkawinan yang membuat manusia yang menciptakan nilai-nilai itu merasa tidak berbahagia (Pedoman, 20 November 1973).
Jadi, Pada Sebuah Kapal berisi pemberontakan untuk mencari kebebasan, khususnya kebebasan kaum perempuan. Lain lagi dengan pendapat H.B. Jassin (Dokumentasi H.B. Jassin, 17 Juli 1977) yang menyatakan bahwa tokoh Sri dalam novel itu telah menemukan eksistensi dirinya sebagai orang yang merdeka, berkehendak dan bertindak.
Ia bebas dari kekerasan dan kemarahan suaminya yang terus-menerus, serta penghinaan-penghinaan yang menimpa dirinya.
Tanggapan Alfons langsung pada sasarannya, yaitu selama ini pengarang merasa kecewa dengan sikap suaminya dan kekecewaan itu ditransformasikan dalam sikap dan perilaku tokoh Sri dalam novel itu. Jadi, pendapat itu mengesankan novel itu sebagai sarana penyampaian "uneg-uneg" (Kompas, 9 Agustus 1974). (*)