Opini Pos Kupang
Menyelidiki Perkembangan Moral Caleg
Kampanye adalah perwujudan spiritualitas politik pertemuan. Pada pertemuan demi pertemuan, diharapkan
Oleh Agustinus Tetiro
Pengajar di Indonesia International Institute for Life-Sciences/I3L, Jakarta
POS-KUPANG.COM - Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan tanggal 23 September 2018 hingga 13 April 2019 sebagai masa kampanye untuk pemilu serentak 2019. Kampanye adalah kesempatan bagi para calon wakil rakyat memperkenalkan diri, visi dan misi.
Kampanye merupakan momentum edukasi politik yang harus dijauhkan dari politik uang (money politics) dan isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
Kampanye adalah perwujudan spiritualitas politik pertemuan. Pada pertemuan demi pertemuan, diharapkan terjadinya tukar pendapat dan pembauran horizon dalam rangka saling belajar.
Baca: Bulan November 2018, 3 Zodiak Ini Bakal Bahagia Dan Beruntung, Kamu Termasuk?
Baca: Inilah 6 Drama Korea yang Dibintangi Shin Won Selain Drakor Legend of The Blue Sea
Baca: Roda Lion Air JT 610 Tiba di Tanjung Priok
Seorang calon anggota legislatif, misalnya, datang dengan idenya, lalu dikonsultasikan kepada warga pemilih. Dari komunikasi yang dibangun diharapkan adanya titik temu dan titik pisah. Jadi, kampanye mengandaikan adanya kecerdasan dan kebijaksaan kedua belah pihak.
Kampanye harus menjadi momentum untuk menilai sejauh mana calon memahami tugas, fungsi dan wewenangnya. Ada tiga fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Pertama, fungsi legislasi. Wakil rakyat dipilih untuk menjadi pembuat UU dan regulasi sebagai dasar hukum untuk berbagai kebijakan publik. Kita tentu tidak bisa menaruh harapan pada caleg yang tidak mampu berpikir logis.
Kedua, fungsi anggaran. Anggota DPR-RI memberikan persetujuan atas (R)APBN
dan manajemennya. Begitu juga dengan DPRD terhadap (R)APBD. Publik perlu mengetahui sejauh mana kemampuan manajerial dasar sang caleg.
Ketiga, fungsi pengawasan. DPR-RI dan DPRD melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU, Perda, APBN, APBD dan kebijakan publik lainnya. Itu artinya para caleg juga dituntut untuk mengerti dasar-dasar analisis kebijakan publik.
Pejabat Publik
Pejabat publik adalah orang yang menduduki jabatan, pimpinan atau tanggung jawab yang berhubungan dengan manajemen dan pelayanan publik. Caleg adalah juga calon pelayan publik.
J.S. Bowman dalam karyanya "Achieving Competencies in Public Services" (2010:23) memaparkan tiga kompetensi utama bagi profesionalisme pelayanan publik.
Pertama, kompetensi teknis. Seorang pejabat publik harus mempunyai pasokan pengetahuan (stock of knowledge) tentang spesialisasi ilmu tertentu seperti pemahaman dasar tentang hukum, manajemen rangkap 3 yang terdiri dari manajemen program, strategis dan sumber daya.
Kedua, kompetensi kepemimpinan (leadership). Seorang pejabat publik harus mampu dan mempunyai kharisma kepemimpinan untuk melakukan penilaian dan penetapan tujuan suatu kebijakan publik, keterampilan manajerial dalam arti keras dan lunak (hard/soft), memahami gaya manajemen , keterampilan politik dan negosiasi serta keterbukaan pada kritik.
Ketiga, kompetensi etika. Dalam tugasnya sebagai pejabat publik, wakil rakyat harus memiliki pengetahuan dasar tentang etika sosial dan integritas moral pribadi. Manajemen nilai, kemampuan penalaran moral, integritas moral pribadi dan moral sosial serta etika organisasi menjadi berbagai kriteria yang diperlukan dalam kompetensi etika.
Seorang pejabat publik harus menguasai ketiga kompetensi ini. Menguasai kompetensi etika dan leadership tanpa menguasai kompetensi teknis akan menghadirkan wakil rakyat yang hanya mengandalkan niat baik. Itu tentu tidak cukup di tengah dunia yang makin menuntut keterampilan teknis yang kompleks ini.
Jika hanya menguasai kompetensi teknis dan kepemimpinan, maka pelayanan publik akan jauh dari citarasa solidaritas dan keberpihakan pada yang paling dirugikan sebagai akibat langsung dan tidak langsung dari pembangunan dan sistem kepemimpinan yang dipilih.
Kendati sulit diukur secara kuantitatif, kompetensi etika memegang peran sangat penting dan tak tergantikan. Etika sebagai filsafat moral membantu pejabat publik menemukan basis dan landasan berpikir yang peduli terhadap kebijakan publik sebagai upaya meningkatkan solidaritas sosial dalam rangka distribusi kekayaan secara legal.
Perkembangan Moral
Lawrence Kohlberg (1927-1987) menjabarkan enam tahap dalam tiga tingkat perkembangan moral seorang manusia. Tingkat konvensional adalah tingkat pertama dimana aturan tentang baik atau buruk, benar atau salah diterima dalam bentuk kesenangan fisik atau hukuman, pujian atau sanksi.
Tingkat pertama ini terdiri dari dua tahap. Tahap pertama, orientasi pada hukuman dan ketaatan. Seseorang sudah merasa berlaku etis kalau sudah tidak melanggar aturan dan taat pada semua aturan.
Tahap kedua, orientasi diarahkan pada keuntungan diri dan kesalingan. Sejauh menguntungkan diri sendiri dan tidak menabrak aturan bersama, seseorang sudah merasa berlaku etis. Pragmatisme dan relativisme membayangi tingkat pertama dan dua tahap awal ini.
Tingkat kedua adalah tingkat konvensional yang terdiri dari tahap ketiga dan tahap keempat. Ukuran kriteria moralnya ketika sudah mampu menjawab harapan keluarga atau kelompoknya. Tahap ketiga mencakup pemenuhan harapan antar-pribadi dan keseragaman atau orientasi keselarasan antarpribadi.
Tahap keempat, kewajiban terhadap masyarakat dan sistem sosial (orientasi mempertahankan masyarakat). Pada tingkat dan tahapan ini, hubungan antarpribadi ditempatkan sedemikian rupa pada suatu sistem dan kerangka interaksi sosial tertentu.
Seseorang merasa sudah berlaku etis kalau bisa menyenangkan dan memenuhi harapan seseorang, keluarganya, ataupun kelompoknya.
Tingkat ketiga adalah tingkat pasca-konvensional, yang terdiri dari tahap kelima dengan orientasi pada kontrak sosial dan tahap keenam pada prinsip etika universal. Seseorang berlaku etis bila mampu taat pada kontrak sosial tertentu, bahkan mengedepankan etika universal pada nilai-nilai kemanusiaan.
Secara singkat dapat dikatakan, untuk setiap tingkat dan tahap perkembangan, seseorang mempunyai dasar motivasinya berlaku etis.
Ketika ditanya, mengapa korupsi atau mencuri uang negara adalah perbuatan yang salah, maka pada tahap pertama orang akan menjawab, "Sebab kalau tertangkap (oleh KPK) akan dihukum".
Pada tahap ketiga jawabannya pasti berbeda, "Korupsi akan merusak hubungan dengan pihak yang dirugikan", misalnya masyarakat pemilih sebagai korban disunatnya jatah dana proyek. Sementara itu, pribadi pada tahap kelima akan merujuk pada kontrak sosial dalam masyarakat untuk kebaikan bersama. Pribadi mulia di tahap keenam akan dengan tegas mengatakan korupsi melukai kemanusiaan universal.
Kohlberg sengaja tidak dengan tegas membuat pembatasan berdasarkan usia.
Seseorang bisa saja sudah tua secara usia, namun perkembangan moralnya masih di tahap kedua atau ketiga. Atau, seorang anak muda bisa saja sudah berada di tahap kelima dan keenam berkat keteguhan hati dan pendidikan moralnya yang baik.
Dalam kerangka besar pembicaraan kita tentang kampanye, caleg harus sudah mencapai tahap kelima atau bila perlu keenam. Hal itu bisa diketahui dari kecenderungan sang caleg dalam kehidupan kesehariannya.
Apakah sang caleg masih suka pujian dan takut pada hukuman kalau kedapatan bersalah? Apakah caleg hanya mengambil keuntungan bagi keluarga dan kelompoknya saja? Atau, sudah bisa membangun komitmen pada kontrak sosial dan etika universal? *