Gubernur NTT Menolak Penggunaan Istilah Minoritas dalam Kehidupan Berbangsa. Mengapa?
Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Viktor Bungtilu Laiskodat tidak setuju dengan penggunaan
POS-KUPANG.COM, KUPANG -- Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Viktor Bungtilu Laiskodat tidak setuju dengan penggunaan istilah minoritas dan mayoritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Karena menurutnya pada satu pihak hal itu bertentangan dengan perspektif Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan pada sisi yang lain karena kita percaya Tuhan yang Maha Besar tidak penah membeda-bedakan mahkluk ciptaanNya.
Baca: 3 Zodiak ini Terkenal Susah Percaya pada Orang Lain, Zodiak Kamu Termasuk?
"Karena itu saya marah kepada siapapun dan beragama apapun yang mengatakan dirinya minoritas. Kalau Anda punya Tuhan yang Maha Besar, maka Anda tidak perlu mengatakan diri minoritas kepada orang yang berpikiran sempit dan semuanya serba kecil, otaknya kecil, badannya kecil, imannya kecil, kakinya kecil," kata Gubernur Viktor Laiskodat pada acara Sekolah Perdamaian II dan Seminar Internasional bertajuk "Berbeda Tetapi Bisa Hidup Bersama dengan Damai" di Aula Kampus Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang, Kamis 18 Oktober 2018.
"Minoritas dalam agama, dalam suku, dalam kehidupan berbangsa, dalam bahasa, warna kulit, itu tidak benar dan tidak pantas karena kehidupan kita diatur oleh kekuatan Tuhan yang Maha Besar, yang mampu mengubah apapun. Karena itu di mana pun saya tidak tertarik untuk bicara minoritas karena saya bangga dengan keindonesiaan saya sebagai anak bangsa Indonesia yang menghargai keragaman. Saya bangga untuk mempersembahkan pikiran-pikiran intelektual saya bagi kemajuan dan kebangkitan bangsa Indonesia," kata gubernur lagi.
Baca: 7 Kali Lee Je Hoon Membuat Kita Terbenam dalam Episode 9-12 Drakor “Where Stars Land”
Kegiatan Sekolah Perdamaian II dan Seminar Internasional ini berlangsung dua hari tanggal 18-19 Oktober 2018 di Kampus UKAW Kupang.
Selain Gubernur NTT hadir juga para pembicara lainnya seperti Prof. Dr. Olaf Schumann, Profesor Emeritus dari Universitas Hamburg Jerman, Prof. Dr. Karel A. Steenbrink, Profesor Emeritus dari Universitas Utrech Belanda, Dr. Nur Ichwan, MA, Koordinator Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Pater Dr. Philipus Tulle SVD, Rektor Universitas Katolik Widya Mandira Kupang dan Pdt. Dr Mery L.Y. Kolimon, Ketua Sinode GMIT.
Kepada para peserta yang akan berangkat ke Boti sebagai bagian awal dari kegiatan Sekolah Perdamaian ini dengan mengunjungi juga tempat-tempat situs agama lokal, Gubernur NTT menantang mereka untuk merekam kisah perjalanan mereka ke Boti sebagai suatu karya intelektual yang berguna bagi ilmu pengetahuan dan sumbangan pemikiran kemajuan bangsa dalam kehidupan beragama di Indonesia.
Baca: Gempa 5,1 SR Guncang Kupang, Banyak Netizen Tidak Merasakannya
"Orang Boti memiliki gaya kehidupan tradisional yang eksotik. Sebagai orang NTT saya bangga dengan orang Boti yang masih memelihara nilai-nilai kehidupan dan keimanan yang sesungguhnya dalam keseluruhan hidup mereka. Kita yang mengaku diri monoteis yang hanya menunjukkan hal-hal ritual dan sekadar menunjukkan bahwa kita monoteis, mestinya kita merasa malu, karena membangun keimanan tidak pada dasar yang kuat seperti mereka, karena kehidupan ritual dan praktik hidup mereka menyatu," demikian Gubernur NTT Viktor Laiskodat.
Gubernur Disiplin Waktu
Satu hal menarik yang terjadi pada acara di Kampus UKAW hari itu adalah panitia mengundang gubernur hadir dalam acara pada pukul 07.00 tetapi pukul 06.30 Gubernur Viktor Laiskodat sudah tiba di tempat acara.
Menanggapi hal itu Direktur Pasca Sarjana UKAW Pdt. Dr Aped Doeka mengatakan bahwa Gubernur bukan saja tepat waktu tetapi hadir jauh sebelum acara dimulai. Hal ini patut dicontoh oleh para pejabat di NTT di segala lini dan tingkatan.
"Gubernur NTT telah memulai dan menunjukkan keteladan yang baik. Biasanya dalam pengalaman saya panitia dan para peserta akan repot menunggu para pejabat yang diminta untuk menghadiri acara dimaksud, tetapi gubernur yang satu ini memang patut diteladani. Bahkan saya tadi melihat ada beberapa wartawan lokal datang terlambat, setelah acara selesai dan Gubernur sudah pulang baru mereka datang karena menyangka biasanya kalau undangan jam 7 pagi nanti jam 8 atau 9 pagi baru mulai. Ternyata mereka salah sangka," demikian Pdt. Dr. Mesakh Dethan, dosen UKAW Kupang ketika diminta komentarnya.
Dr. Mesakh Dethan sepakat dengan pemikiran Gubernur Laiskodat yang mengatakan bahwa sekaya apapun orang tidak dapat membeli waktu. Orang tidak bisa kembali ke toko dan mengatakan, saya mau membel i waktu yang kemarin tertinggal.
Kalau mau beli jaket atau jas atau apapun yang kemarin kita lihat di toko bisa kita lakukan, tetapi untuk membeli waktu tidak dapat orang lakukan. Karena itu pergunakan waktu ke Boti dengan baik karena ia tidak akan terulang, sehingga para peserta mampu menghasilkan tulisan tentang perjalanan mereka ke Boti.
"Saya kira baik sekali tantangan pak Gubernur NTT ini agar para peserta Sekolah Perdamaian II dapat menghasilkan karya ilmiah dari perjalanan mereka ke Boti. Karena memang ciri kaum intelektual adalah mampu berpikir dan bernalar serta manghasilkan narasi-narasi intelektualnya bagi kepentingan kehidupan beragama dan berbangsa di Indonesia," kata doktor lulusan Jerman dan mantan Wartawan Pos Kupang ini. (*)