Berita NTT Terkini

Peringati Hari Tani Nasional, Petani Bawa Hasil Pertanian ke Gedung DPRD NTT

Sejumlah petani yang tergabung dalam Aliansi Solidaritas untuk Marosi (Lamboya) membawa hasil pertanian saat demo ke Gedung DPRD NTT.

Penulis: Oby Lewanmeru | Editor: Kanis Jehola
POS-KUPANG.COM/Oby Lewanmeru
Aliansi Solidaritas untuk Marosi (Lamboya) membawa hasil pertanian ke dalam Aula Kelimutu, Gedung DPRD NTT, Senin (24/9/2018). 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Oby Lewanmeru

POS-KUPANG.COM | KUPANG - Sejumlah petani yang tergabung dalam Aliansi Solidaritas untuk Marosi (Lamboya) membawa hasil pertanian saat melakukan aksi demo ke Gedung DPRD NTT. Aksi ini dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional ke-58 tahun 2018.

Pantauan POS-KUPANG.COM, Senin (24/9/201?8) sekitar pukul 10:45 Wita, para pendemo yang tergabung dalam Aliansi Solidaritas untuk Marosi (Lamboya) ini tiba di Gedung DPRD NTT.

Mereka melakukan aksi dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional ke-58 yang jatuh pada 24 September.

Baca: Pemkab Manggarai Barat Terima Kontingen Atlet Kempo, Ini Hasil yang Mereka Peroleh

Mereka dipimpin Koordinator Lapangan, Mathias Kayun dan Koordinator Umum,
Dominikus Karangora. Mereka dikawal aparat kepolisian dan Sat Pol PP Provinsi NTT.

Hanya beberapa saat saja di luar gedung, mereka langsung dipersilahkan masuk ke Aula Kelimutu Gedung DPRD NTT. Mereka langsung diterima Wakil Ketua DPRD NTT, Yunus Takandewa.

Baca: SMP Assumpta Kupang akan Bangun Kerja Sama dengan Harian Pagi Pos Kupang

Aliansi ini tidak masuk ke ruang dengan tangan kososng, melainkan mereka membawa sejumlah hasil pertanian. Hasil ini dibawa oleh petani dari Besipae.

Beberapa hasil pertanian yang dibawa ke dalam Aula Kelimutu, Lantai II Gedung DPRD NTT, yakni, kelapa, buah pepaya, daun pepaya, daun singkong, sayur putih, pisang alidan lainnya.

Saat dialog, Aliansi Solidaritas untuk Marosi mengungkapkan salah satu masalah, selain kematian Poro Duka, yakni masalah lahan di Besipae, TTS.

Imanuel Tampani mengatakan, masyarakat di Besipae, TTS ingin berdaulat dengan lahan yang ada.

"Kami bisa usaha tani dan membudidayakan jagung, padi, singkok dan lainnya. Karena itu, kami minta Pemprov tuntaskan kasus lahan di Besipae," kata Tampani.

Dia menjelaskan, warga di Besipae tidak ingin dibantu terus dengan beras miskin (raskin).

"Kami bangga kalau kami bisa usaha tani dan menghidupi keluarga. Kami minta tolong perhatikan lahan kami di Besipae, Desa Pubabu, TTS," katanya.

Korlap, Mathias Kayun mengatakan, terjadi kriminalisasi terhadap petani yang terjadi pada 16 warga yang mendiami Hutan Pubabu, Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten TTS.

"Ada tuduhan penyerobotan yang dilayangkan Dinas Peternakan dan Dina Kehutanan NTT, mengakibatkan 15 orang warga sempat mendekam di dalam penjara selama enam bulan. Sedanglan satunya tidak terbukti bersalah. Konflik ini berawal dari konflik agraria yang sampai sekarang belum diselesaikan oleh pemerintah. Padahal, sangat jelas pemerintah telah melakukan perpanjangan kontrak tanpa persetujuan masyarakat di tahun 2013, sementara warga setempat telah membataskan perpanjangan kontrak pada 2010," kata Mathias.

Saat berdialog mereka juga menyoroti soal konflik agraria di beberapa daerah di NTT yang belum diselesaikan pemerintah, seperti di Desa Enolanan, Kecamatan Amabi Oefeto Timur, Kabupaten Kupang, begitu juga ada kasus di Oemofa. (*)

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved