Opini Pos Kupang
Demam Caleg Mantan Koruptor
Banyak orang mem-bully caleg. Tidak tahu malu. Sudah curi uang rakyat. Toh masih ingin caleg. Saya pikir tak satu pun
Oleh Fidel Hardjo
Warga NTT, tinggal di Jakarta
POS-KUPANG.COM - Ada 207 mantan koruptor siap nyaleg 2019 (Kompas, 1/8/2018). Jumlahnya fantastis. Kok, mantan koruptor boleh nyaleg? Pertanyaan ini benar-benar heboh jagat Nusantara. Pro-kontra pendapat memanas.
Caci memaki. Kutuk mengutuk. Tampaknya serius. Seserius KPU menetapkan aturan larangan. Segila caleg merasa digebuk haknya. Segaduh partai membela calegnya mati-matian. Apa yang tak beres?
Banyak orang mem-bully caleg. Tidak tahu malu. Sudah curi uang rakyat. Toh masih ingin caleg. Saya pikir tak satu pun caleg merasa tersinggung. Buktinya, gerombolan mantan koruptor ini menyikat balik KPU. Senjata ampuh mereka adalah KPU membantai hak politik. Katanya ini soal Hak Asasi Manusia (HAM). Emang HAM hanya selebar ketiakmu.
Tidak bersikap adil. Dengan kata lain, tamak. Orang pernah merasa "dikorbankan" karena korupsimu juga menuntut haknya. HAM orang lain tidak dipikirkan. Orang lain tidak punya hak. Kalaupun orang lain ada, porsinya sedikit. Selebihnya punya gue. Inikah HAM yang diteriak? Teriakan HAM hanya menguntungkan perut sendiri.
Kesan buruk dibangun sekejap. KPU-lah yang bikin gaduh. Biang kerok kekacauan menjelang pileg. Akhirnya, kesalahan itu dilempar balik kepada KPU. Alasan sakti KPU jelas. Caleg harus bersih dari korupsi. Apalagi, sebut caleg mantan koruptor.
Coret! No way, man! Sudah pasti KPK senang dengan tekad KPU apalagi publik luas.
Sebenarnya partai politiklah yang "menang banyak" dari kegaduhan ini. Partai politik luput dari kedongkolan publik. Partai politik bermain cantik.
Para caleg yang nota bene mantan koruptor ditampung. Tentu tidak sekadar ditampung gratis. Para caleg mantan koruptor ini hampir bisa dipastikan punya banyak duit. No money, no honey!
Sikap Partai Politik
Adakah dalam sejarah di negeri ini, koruptor hidup melarat setelah digebuk KPK? Nyaris tidak ada. Harta mereka bergelimangan. Mereka sudah menyiasati aksi korupsi jauh-jauh hari. Sehingga tak heran, meski mereka sudah dipenjara akan bersinar lagi. Mantan koruptor tahu cela partai-partai miskin. Jelang pileg pasti butuh duit banyak.
Mengapa partai politik senekat itu? Apa tidak takut diboikot oleh publik? Partai politik tentu tidak sedungu apa yang kita pikirkan. Partai politik bisa "menyetel" kapan caleg itu "dikotak-sampahkan". Kapan pula dijadikan pahlawan. Tergantung reaksi publik. Jika publik protes meledak maka caleg nas itu siap dikotak-sampahkan.
Singkatnya, siap cuci tangan jika caleg itu kecantol dengan protes publik. Sebaliknya, jika publik adem-adem saja maka caleg itu tetap lolos diusung. Pertanyaan berikut muncul. Apakah tidak ada kader partai yang masih bersih?
Sejatinya, terlalu banyak kader partai yang berintegritas. Cuma, kader bagus-bagus ini tidak punya duit banyak.
Tidak ada partai rela mengeluarkan duit banyak untuk ongkos pencalonan caleg. Itu tidak akan bakal. Partai-partai politik sering bersembunyi di balik argumentasi konyol. Kandidat (mantan koruptor) ini punya banyak fans. Jejaringnya masih aktif.
Pengaruhnya masih ada. Alasan ini digadai untuk menyelamatkan "kerakusan" partai.
Akhirnya, saya berkesimpulan. Bukan caleg mantan koruptor yang sinting. Saya katakan sinting karena sudah diludah dan dicaci-maki bertubi-tubi sebagai maling.