Jurnalisme Warga
Drivers for Change: Catatan Inspiratif Anak Muda Mollo dari Inggris (2)
Kami diapit rombongan wisatawan para opa-oma sehat dan bugar dari Italia. Saya dan Sisca dari Pasar Papringan deg-degan kalau prosesnya akan ribet
Oleh Dicky Senda
POS-KUPANG.COM -- Tanggal 19 Juni 2018 kami tiba di Heathrow International Airport di London sekitar jam 2 setelah terbang selama 7,5 jam menggunakan Qatar Airways jenis Airbus A380 800 double deck dari Doha Qatar.
Meski lelah kami harus segera melewati UK Border untuk mendapat cap masuk ke Inggris Raya. Antreannya panjang sekali. Inggris sedang musim panas makanya dibanjiri turis.
Saya ingat juga saat wawancara visa di Mega Kuningan Jakarta, banyak sekali antreannya. Entah untuk berwisata, entah untuk studi, namun bagi saya bepergian ke Inggris bukan hal yang mudah bagi banyak orang.
Nilai tukar rupiah kita yang lebih dari Rp 19,000 membuat segala hal nampak perlu untuk dipikir panjang. Tapi tidak bagi orang-orang kaya dari Indonesia.
Kami diapit rombongan wisatawan para opa-oma sehat dan bugar dari Italia. Saya dan Sisca dari Pasar Papringan deg-degan kalau prosesnya akan ribet, diinterogasi macam-macam sama petugas imigrasi, diambil isi sambal lu'at dan abon kami (ha-ha-ha ini poin penting yang jangan sampai terjadi). Kami bahkan sudah siap mengeluarkan 'surat sakti' dari British Council Indonesia kalau memang mendapat kesulitan di UK Border.
Baca: Drivers for Change: Catatan Inspiratif Anak Muda Mollo dari Inggris (1)
Ternyata sebaliknya. Petugas imigrasinya ramah sekali. Kami ditanyai tujuan apa ke Inggris dan akan menginap di mana. Ketika sebut kehadiran kami atas undangan British Council, semua jadi cepat dan cair. Bahkan beliau masih bercanda kalau Port Talbot itu tidak menarik sama sekali.

Port Talbot adalah salah satu dari 8 kota di UK yang akan kami singgahi untuk dua workshop: from actor to activist, with Michael Sheen (sang aktor terkenal asal Inggris itu) dan Welbeing as an enterpreneur. Tanggal 28 Juni 2018. Tentu saja mengunjungi beberapa komunitas lokal dengan berbagai aksi pemberdayaannya. Saya sungguh tidak sabar.
Tidak sampai 5 menit, pemeriksaan di Imigrasi berakhir dengan canda tawa yang tiada henti dan kami menuju ke tempat pengambilan bagasi. Kekhawatiran lain muncul, apakah kami harus menuju ke ruang khusus untuk declare sambal dan banyak produk makanan khas Indonesia yang kami bawa?
Saya membawa juga kopi Mollo selain sambal lu'at lakoat.kujawas. Sisca membawa banyak produk pangan lokal dari Pasar Papringan. Ternyata kata petugas di ruang declare, aman kok kalau bawa sambal. Okelah kalau begitu.
Di luar, sopir dari British Council sudah menunggu, bersama Azima dan Manaal, dua kawan baru perwakilan British Council Pakistan. Manaal adalah seorang dokter yang berkarya di bidang kesehatan masyarakat terkait isu gender sementara Azima masih mahasiswa dengan proyek start up yang sangat keren bersama teman-teman dengan gangguan pendengaran (deaf).
Tiba di hotel Merlin di bilangan Waterloo kami langsung mandi dan pergi ke pusat kota. Hotelnya tidak jauh dari London Eye, St James Park dan Buckingham Palace.
Menyenangkan, meski tidak banyak surprise di sini sebab Big Ben sementara renovasi dan London Eye yang dari dekat terlihat biasa-biasa saja. Saya dan Sisca pergi ke Buckingkam Palace lalu mampir di St. James Park di jantung kota London. Kami ingin sepakat melihat tata kota ini, terutama taman kota sebagai area publik yang gratis digunakan warga.
Saya dan Sisca terus saja mendiskusikan apa yang kami temui sepanjang jalan khususnya tentang pengelolaan kota dan merefleksikannya dengan kondisi di Indonesia, di komunitas kami masing-masing.
