Pernah Tampar Soeharto, Nasib Panglima TNI ini Menyedihkan di Akhir Hidupnya
Setelah lengser, satu per satu keburukan Soeharto diungkap. Satu di antaranya adalah konfliknya dengan sejumlah petinggi TNI.
POS-KUPANG.COM -- 20 Tahun sudah kejatuhan rezim Orde Baru. Tepat hari ini Senin (20/5/2018), sang penguasa Orde Baru Presiden Soeharto lengser dari kekuasaannya, 20 Mei 1998.
Saat itu, 14 menteri di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita menolak masuk ke dalam Komite Reformasi atau Kabinet Reformasi hasil reshuffle.
Padahal, perombakan kabinet atau Komite Reformasi diyakini sebagai salah satu cara Soeharto untuk "menyelamatkan diri" atas tuntutan mundur terhadapnya, seiring tuntutan reformasi yang semakin besar.

Baca: 11 Nyawa Tewas Menggenaskan Dalam Lakalantas di Brebes, Dugaan Penyebabnya Sangat Sederhana?
Baca: 26 Tim Pastikan Ikut Liga Champions Musim 2018-2019. Ini Daftar dan Data Lengkapnya!
Baca: Gara-gara Aspal Ambles di Ujung Runway Juanda, Lion Air Terperosok. Otoritas Bandara Kaget
Saat itu, kondisi politik dan ekonomi memang tidak menguntungkan Soeharto, terutama pasca-Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 dan kerusuhan bernuansa rasial pada 13-15 Mei 1998.
Para mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi juga sudah menguasai gedung DPR/MPR sejak 18 Mei 1998.
Mereka menuntut dilaksanakannya Sidang Istimewa MPR dengan agenda pencopotan Soeharto.
Mundurnya jenderal bintang lima itu sekaligus mengakhiri rezim yang dia bangun selama 32 tahun.
Ya, selama 32 tahun, Soeharto adalah indonesia dan indonesia adalah Soeharto.
Selama berkuasa Soeharto dikenal sebagai presiden yang tak tertandingi dan ditakuti.
Namun setelah lengser, satu per satu keburukan Soeharto di masa lalu diungkap.
Satu di antaranya, adalah konfliknya dengan sejumlah petinggi TNI.
Baca: Wah, Ini Istana yang Bakal Dihuni Pangeran Harry dan Meghan Markle, Simak Juga Istana Lainnya.
Adalah Mantan Wakil Perdana Menteri Indonesia di era tahun 1960-an, Soebandrio, menerbitkan memoar berjudul Kesaksianku Tentang G30S pada tahun 2000 lalu.
Dalam buku tersebut, Subandrio melancarkan serangan balik ke Soeharto.
Ia menuding Soeharto justru telah melakukan kudeta merangkak terhadap kekuasaan Soekarno.
Menurut Soebandrio, Soeharto punya rekam jejak yang buruk jauh sebelum peristiwa G30S.
Yang pertama, semasa di Divisi Diponegoro, Soeharto menjalin relasi dengan pengusaha Tionghoa, Liem Sioe Liong dan Bob Hasan.
Soebandrio menyebut orang-orang ini menjalankan bisnis penyelundupan berbagai barang.
Kabar itu berhembus kemana-mana hingga ke telinga, Jenderal Ahmad Yani.
Kabarnya Ahmad Yani sangat marah.
Sampai-sampai, dalam suatu kejadian, Yani menempeleng Soeharto.
Soeharto dianggap mempermalukan korps Angkatan Darat (AD).
Tak hanya itu, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal AH Nasution juga dikabarkan pernah memecat Soeharto sebagai Pangdam Diponegoro secara tidak hormat.
Soeharto dianggap telah menggunakan institusi militernya untuk mengumpulkan uang dari perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah.
“Sebagai Penguasa Perang, saya merasa ada wewenang mengambil keputusan darurat untuk kepentingan rakyat, ialah dengan barter gula dengan beras. Saya tugasi Bob Hasan melaksanakan barter ke Singapura, dengan catatan beras harus datang lebih dahulu ke Semarang,” demikian pengakuan Soeharto dalam Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya (1989).
Namun Soeharto diselamatkan Mayjend Gatot Subroto.
Menurut Gatot, Soeharto masih bisa dibina.
Akhirnya, Soeharto pun disekolah di Seskoad di Bandung.

Akhir Hayat Jenderal Nasution yang Menyedihkan
Nasib Jenderal AH Nasution dan Jenderal Ahmad Yani berbeda saat terjadi peristiwa penculikan jenderal AD, 30 September 1965.
Ahmad Yani tewas sementara AH Nasution berhasil melarikan diri.
Namun Nasution harus kehilangan putrinya Ade Irma Suryani.
Nasution masih hidup hingga tahun 2000.
Selepas menjadi Ketua MPRS dan melantik Soeharto sebagai presiden ke-2 kariernya meredup.
Di orde baru Nasution nyaris tak kebagian peran mengurus negara.
Yang terjadi malah ia dicekal orde baru.
Nasution juga tidak boleh muncul dalam acara kenegaraan di mana ada Presiden Soeharto.
Bahkan sampai urusan mobil Holden Priemer tua lungsuran dari Hankam yang dipakai Nasution sehari-hari ikut ditarik dari kediamannya.
Sebuah cerita di penghujung hayatnya malah membuat banyak orang bersedih.
Kabarnya ia tak mewariskan kekayaan materi pada keluarganya, kecuali kekayaan pengalaman perjuangan dan idealisme.
Rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta, tetap tampak kusam, tak pernah direnovasi.
Berstatus jenderal tapi mengalami kesulitan air bersih sehari-hari di rumahnya.
Kabarnya ada yang memutus aliran air PAM ke rumahnya.
Untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari, Nasution terpaksa membuat sumur di belakang rumah.
Sumur itu masih ada sampai sekarang.
Baca: Ngajak Malming Pasti Mau Kan? Gimana Kalau Ngajak Jadi Pendamping Hidup! Mau Ya?
Nasib Kolonel Kawilerang
Dalam sejarah dunia militer Indonesia, sosok Alex Evert Kawilarang merupakan nama yang tak asing lagi dikenal.
Pria kelahiran Batavia (kini Jakarta), 23 Februari 1920 ini pernah menempeleng Presiden kedua Indonesia, Soeharto.
Penempelengan tersebut terjadi ketika Kawilarang menjabat sebagai Panglima selaku atasan dari Letkol, Soeharto.
Sekitar tahun 1950-an, sebagai Panglima Wirabuana, Alex E Kawilarang melaporkan kepada Presiden Soekarno bahwa keadaan di Makassar sudah aman.
Namun Soekarno justru menyodorkan sebuah radiogram yang baru saja diterimanya yang melaporkan bahwa pasukan KNIL Belanda sudah menduduki Makassar.
Brigade Mataram, pasukan yang seharusnya mempertahankan Kota Makassar saat itu juga dilaporkan telah mundur ke Lapangan Udara Mandai.
Mendengar radiogram tersebut, Kawilarang marah besar dan segera kembali ke Makassar.
Setibanya di lapangan udara Mandai, ia langsung memarahi Komandan Brigade Mataram, Letkol Soeharto, sambil menempelengnya.
Latar belakang Alex E Kawilarang
Alex E Kawilarang merupakan putera dari keluarga dengan latar belakang militer.
Ayahnya adalah A.H.H. Kawilarang, yang merupakan seorang mayor KNIL asal Tondano.
Baca: VIRAL! Seorang Ayah Berpangkat Kopral Beri Hormat Ke Anaknya yang Letnan. Lihat Respon sang Anak.
Ia lahir dari ibu bernama Nelly Betsy Mogot, yang berasal dari Remboken.
Alex E Kawilarang, juga merupakan sepupu dari Pahlawan Nasional, Daan Mogot.
Ia meninggal di Jakarta pada 6 Juni 2000 silam di usia 80 tahun.
Selain sebagai perwira militer yang termasuk dalam Angkatan '45, Alex E Kawilarang juga merupakan mantan anggota KNIL.
Alex E Kawilarang mengawali kariernya sebagai Komandan Pleton Kadet KNIL di Magelang pada tahun 1941-1942.
Kariernya melaju cepat seiring berjalannya waktu.
Pada 11 Desember 1945 ia telah menjadi perwira dengan pangkat mayor dan bertugas sebagai penghubung dengan pasukan Inggris di Jakarta.
Sebulan kemudian, tepatnya pada Januari 1946 ia menjabat sebagai Kepala Staf Resimen Infanteri Bogor Divisi II Jawa Barat, dengan pangkat letnan kolonel.
Tiga bulan setelah itu, pada April-Mei 1946, ia diangkat menjadi Komandan Resimen Infanteri Bogor.
Tiga bulan selanjutnya, yakni pada bulan Agustus 1946 hingga 1947 ia diberi kepercayaan sebagai Komandan Brigade II/Suryakencana - Divisi Siliwangi di Sukabumi, Bogor dan Tjiandjur.
Pada 1948-1949, Kawilarang menjabat sebagai Komandan Brigade I Divisi Siliwangi di Yogyakarta.
Di tahun yang sama, tepatnya pada 28 November 1948 ia juga menjabat sebagai Komandan Sub Teritorium VII/Tapanuli, Sumatera Timur bagian selatan.
Baca: VIRAL! Krishna Murti Posting Video Bocah Laki-laki Dipasangi Bom Oleh Pamannya. Simak Videonya!
Setahun selanjutnya, pada 1 Januari 1949 pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), ia dipercaya sebagai Wakil Gubernur Militer PDRI untuk wilayah Tapanuli dan Sumatera Timur bagian selatan.
Di penghujung tahun 1949, tepatnya pada tanggal 28 Desember, ia dipercaya sebagai Gubernur Militer wilayah Aceh dan Sumatera Utara merangkap Wakil Koordinator Keamanan dengan pangkat kolonel.
Dua bulan kemudian, pada 21 Februari 1950, ia mendapatkan kepercayaan tambahan sebagai Panglima Tentara dan Territorium I/Bukit Barisan yang berkedudukan di Medan.
Pada 15 April 1950 ia diangkat sebagai Panglima Operasi Pasukan Ekspedisi.
Saat itu ia ditugaskan untuk memimpin Pasukan Ekspedisi dalam Operasi Penumpasan Pemberontakan Andi Azis di Makassar, pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku, dan Pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan.
Pada 1951-1956, Kawilarang diangkat sebagai Panglima Komando Tentara dan Territorium VII/Indonesia Timur (TTIT) di Makassar dan pada November tahun yang sama menjadi Panglima TT III/Siliwangi yang di kemudian hari diubah namanya menjadi Kodam III/Siliwangi.
Salah satu jasanya yang hingga kini sangat terasa kehadirannya adalah saat ia merintis pembentukan pasukan khusus TNI pada April 1951, dengan nama Kesatuan Komando Territorium III (Kesko TT-III) Siliwangi di Batujajar, Jawa Barat.
Kesatuan ini merupakan cikal bakal dari Komando Pasukan Khusus (Kopassus) sekarang.
Pada 10 November 1951 hingga 14 Agustus 1956, Kawilarang diangkat menjadi Panglima Komando Tentara dan Territorium III/Siliwangi yang berkedudukan di Bandung. (tribun timur)