Mendekonstruksi Isu SARA dalam Politik Pilkada di NTT. Begini Ceritanya
Pancasila memberikan jaminan kepada rakyat Indonesia untuk semakin demokratis. Sementara politik uang, lanjut MF, harus
Oleh: Yohanes Berchemans Ebang
Mahasiswa FISIP Unwira Kupang
POS KUPANG.COM -- Harian pagi Pos Kupang edisi Kamis, 1 Maret 2018 yang lalu, menyajikan opini Mikhael Feka berjudul Politisasi SARA dan Poltik Uang.
Menurut Mikhael Feka (MF), isu SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) dalam perhelatan politik semestinya tidak boleh karena Pancasila sejak kelahirannya telah menjadi penyatu pebedaan dan penanggkal perjuangan politik beratasnama SARA.
Pancasila memberikan jaminan kepada rakyat Indonesia untuk semakin demokratis. Sementara politik uang, lanjut MF, harus diperangi karena bukan tidak mungkin kalau Politik Uang adalah investasi korupsi. Politik uang merupakan praktik yang biadab.
Hemat saya, pandangan MF dalam opininya itu sangat normatif. Selain normatif, dalil yang diutarakan untuk menghubungkan satu variabel dengan variabel berikutnya, terkesan 'cepat'. Politik SARA dan Pancasila, Politik Uang dan Korupsi. Maka tulisan ini, agaknya lebih merupakan sebuah dekonstruksi demi memperlamban dalil MF tersebut.
Baca: Politisasi SARA dan Politik Uang
Saya berasumsi bahwa catatan sejarah dan ingatan kolektif yang memitos, memberikan makna yang mendalam dan pengertian yang luas dalam kehidupan manusia. Sebaliknya, realitas hari akan dipahami secara lebih baik dan mendalam ketika dikaitkan dengan sejarah masa lalu.
Bahwa ketika membuat garis rentang semacam itu, seumpama manusia sedang menjumput setumpuk pemikiran, energi dan gairah untuk membangun dan menata-perbaiki hidup bersama (hari ini dan ke depan) secara lebih baik.
Konsep semacam ini dapat dipakai untuk membaca dan atau bahkan mendekonstruksi isu SARA dalam perpolitikan di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Pada mulanya, masyarakat Flores dan Timor serta pulau-pulai lain di NTT hidup dalam komunitas suku dan kerajaaan. Kepentingan ekonomi dan kekuasaan ditengarai sebagai satu-satunya latar belakang saling serang dan saling klaim wilayah kekuasaan suku dan kerajaan.
Selain itu, misalnya di Pulau Flores, beberapa kerajaan dari luar seperti dari Bima, Jawa dan Sulawesi menginvasi dan mengklaim wilayah kerajaan kekuasaan suku-suku dan kerajaan di Flores.
Sementara di Pulau Timor, biasanya kegaduhan antarsuku dan kerajaan ditengarai oleh ketidakpuasan suku-suku dan atau kerajaan-kerajaan dalam hal pembayaran upeti kepada Maromak Oan sebagai penguasa tertinggi Pulau Timor.
Wangi Kayu Cendana
Sejak kolonialisasi Eropa (Spanyol, Portugis dan Belanda), konstalasi dan persaingan sosio-kultiral antar komumitas masyarakat Flores, Timor dan pulau-pulai lainnya beralih ke persoalan ekonomi dan agama. Kayu cendana menjadi komoditi pokok persaingan.
Raja-raja dan kepala suku diiming-imingi medali dan gelar kebangsaan. Kerajaan-kerajaan lokal lantas dikuasai dan diadudomba bangsa kolonial.
Bangsa Spanyol yang lebih dahulu mendarat di Timor, kemudian berperang melawan Portugis dan Belanda yang datang kemudian.
Karena terusik dengan kekuasaan Belanda di Timor, Portugis bergerak ke Ende dan Larantuka untuk memperluas kekuasaannya di sana. Menurut Naisaban, Kerajan Larantuka yang sudah dikuasai Portugis datang menginvasi sebagian Pulau Timor.
Kepentingan ekonomi (cendana) dan agama (penyebaran agama Katolik) menjadi dua alasan pokok di balik invasi tersebut. Dan sejak 1640, kegaduhan semakin besar terjadi di Timor.
Kegaduhan itu dikenal dengan pertarungan empat (4) kekuatan besar yang berpengaruh yakni Topas (Larantukqueiros), Portugis, Belanda dan Raja-raja Timor.
Kegaduhan itu berlanjut hingga terjadi perundingan atau "Kontrak 1662" antara Belanda dan Portugis, Pulau Timor dibagai dua. Belanda (VOC) yang berpusat di Kupang menguasai Timor bagian barat kecuali Noemuti dan Ambenu, sedangkan bagian timur dikuasai Portugis.
Dengan pembagian tersebut, Belanda meminta supaya semua orang yang beragama Katolik harus pindah ke daerah Portugis. Agama Katolik di wilayah kekuasaan Belanda dihapus dan diganti dengan agama Protestan-Calvanistis (Naisaban, 2013; 75).
Konferensi Malino 1946
Sejak setelah perundingan tersebut, kegaduhan dan persaingan ekonomi dan agama terus terjadi ratusan tahun, bahkan ketika Jepang berkuasa hingga setelah Indonesia merdeka. Kegaduhan dengan latar belakang demikian baru berakhir yang ditandai dengan konferensi Malino pada 18 Juli 1946.
Konferensi tersebut merupakan pertemuan para penguasa lokal yang dihadiri raja-raja di daratan Timor, Flores, Sumba, Bali dan Lombok untuk menyatakan dukungan dan bergabung dengan pemerintahan Republik Indosesia Serikat. Negara Indonesia Timor kemudia dibubarkan (2013: 47).
Berdasarkan ingatan sejarah semacam di atas, paling kurang memberikan satu gambaran dan duduk soal yang sedikit agak jelas untuk membaca dan memahami isu SARA dalam perpolitikan NTT. Bahwa pertama, pertarungan dan isu SARA sedari awal kental bersifat primitif-kolonialis.
Kedua, agama (pada mulanya) dibicarakan lantas disebarkan mula-mula berdamping-erat bahkan berlebur-dalam bersama kepentingan ekonomi kolonial yang monopolis.
Ketiga, dalam gelanggang politik NTT hari ini yang sudah lebih modern, ketika ingatan akan kepentingan primitif semacam suku, kerajaan, dan agama itu muncul, harus ditangkal dengan rasionalisasi bahwa kini tidak lagi ada upeti yang harus dibayar; satu kerajaan tidak sedang menguasai kerajaan yang lain; hidup agama dan keagamaan masing-masing kelompok tidak sedang dibagi-patok per wilayah geografis.
Dan karena itu, keempat, kepentingan suku, agama, dan kelompok tidak kompetibel dengan kehidupan sosio-politik yang demokratis.
Sehingga, atas dasar itu, perpolitikan NTT harus diwarnai dengan dalil-dalil yang rasional dan bermutu untuk merancang strategi pembangunan di NTT; baik pembangunan mental maupun fisik.
Selanjutnya, dalil-dalil atau ide-ide itu diuji dalam perdebatan publik bahkan bila wajib terjadi di kampus-kampus. Bukannya diuji di hadapan tokoh agama, bukan pula di hadapan para raja, makam leluhur atau pohon besar. *