Aib di Musim Semi Politik
Jika hendak mencalonkan diri, maka jauh hari memecatkan diri sebagai PNS. Bahkan, memberikan simbol jempol pada facebook
Oleh: Marsel Robot
Dosen FKIP Undana Kupang
POS KUPANG.COM -- Musim semi politik (baca Pilkada) mulai ranum. Perhelatan pilkada 171 daerah di Indonesia memasuki wulan suwi-sekak, istilah orang Manggarai Timur (Flores, Nusa Tenggara Timur) untuk menamai bulan yang sangat sibuk (kasa-kusuk, dan kadang tusuk).
Lihatlah, di pelataran gedung partai politik, orang-orang sibuk membongkar kontainer yang penuh-sesak dengan kepentingan. Situasi sosial beringsut menuju sekam politik yang akut. Keluarga Sang Calon bersimpuh di bibir kubur, memohon petuah para leluhur agar merestui dan ikut campur tangan dalam urusan pencalonan ini.
Biarlah para leluhur membukakan jalan dan mengantar Sang Calon ke kursi di singgasana. Dukun peramal, terus mereken-reken peluang di antara uap dupa dan aroma bulu ayam kurban persembahan di bilik kiri. Bisik di luar, bisik di "kamar-dalam" terus meniupkan optimisme. "Kita Menang," Seru dukun dalam nada mistis.
Tentu tak ketinggalan, Pendeta, Pastor, Ustad, membuka nas kitab suci yang relevan dan secara samar memprofilkan calon tertentu di mimbar kotbah atau di aula tausyiah Jumatan.
"Ya kita serahkan saja kepada Tuhan semua perkara ini. Sebab, Dialah Maha Pemilik. Semua yang kita miliki sekadar dipinjamkan dari-Nya." Ucap rohaniwan sambil menepuk bahu seorang tim sukses.
Inilah musim paling mesra hubungan antara Sang Calon (kandidat) dan rakyat. Sang Kandidat mulai genit, mencumbui rakyat di mana-mana, kata-katanya sesenduh mazmur, janji-janjinya seakan menggala bintang dari tangkai langit, murah senyum, ramah, dan dermawan.
Tim sukses begerilia siang dan malam, hujan, angin diterima sebagai berkah. Sebab, dia sangat paham. Kalah atau menang calonnya, tim sukses tetap menang.
Di pihak rakyat, mulai sibuk menggelar orkestra menyambut Sang Calon di gang kampung dan sedia mengalungkan lendang leros (bahasa Manggarai berarti selendang kuning) melambangkan harapan.
Setidaknya malam ini makan malam bersama. Yang lain membuka tikar di rumah adat dan di halaman. Pokoknya, di mana satu dua orang berkumpul bukan atas nama Tuhan, melainkan atas nama calon.
Akan tetapi, seperti yang Anda ketahui, di balik semua sikap manja Sang Kandidat itu, ia sesungguhnya orang paling sial dan menderita dalam hidupnya. Pertama, Sang Kandidat mengalami kebangkrutan kepribadian. Semisal, kepribadiannya terus digerus kampanye hitam untuk menghempaskannya.
Segala kekurangan Sang Kandidat dieksploitasi habis-habisan, masa lalunya diobok-obok, kisah kehidupan keluarga digembur-gembur dan diekspos seluas-luasnya.
Suku, agama, asal, ras, golongan menjadi belati yang terus ditenteng untuk membunuh karakternya. Sementara di sana, para pengusaha hoax, detik demi detik membuka kaleng untuk menimbunkan isu comberan yang digelarnya melalui media sosial.
Kedua, Sang Kandidat mengalami kebangkrutan secara finansial. Jauh sebelum ia mengusulkan atau mengusung dirinya menjadi calon, sang kandidat mulai kumpul-kumpul dengan orang dekat di emperan rumahnya, masuk ruang tengah, terus ke ruang makan, besok ke rumah makan, lusa ke restoran.
Ia pun mulai dihidupkan oleh orang-orang di sekitarnya. Amsal pujian terus didengungkan guna merimbunkan ambisinya. Mulai membagi-bagi nomor kontak, pulsa, merancang spanduk, baliho. Perlahan mulai safari, memperkenalkan diri, bentuk panitia setiap kampung.