Selamat Menikmati Resolusi Raknamo
Bendungan Raknamo adalah bendungan pertama yang rampung dari sebanyak 49 bendungan yang direncanakan dibangun
Oleh: Isidorus Lilijawa
Tenaga Ahli DPR RI
POS KUPANG.COM - Tanggal 9 Januari 2017 lalu, secara resmi Presiden Jokowi melakukan pengisian bendungan Raknamo di Desa Raknamo, Kecamatan Amabi Oefeto, Kabupaten Kupang.
Momen ini menandai diresmikannya bendungan yang bernilai Rp 760 miliar dengan tinggi 37 meter dan kapasitas 14 juta meter kubik serta dapat menghasilkan listrik sebesar 0,22 MW.
Bendungan Raknamo adalah bendungan pertama yang rampung dari sebanyak 49 bendungan yang direncanakan dibangun oleh pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla di Indonesia.
Bendungan tersebut juga merupakan bendungan pertama yang di-groundbreaking oleh Presiden Jokowi dari 49 bendungan tersebut, yakni pada 20 Desember 2014.
Rencana awal dikerjakan selama 5 tahun. Namun oleh percepatan kerja yang dilakukan, maka dalam tempo 3 tahun bendungan Raknamo selesai.
Asas Manfaat
Hal yang sangat penting dari kehadiran bendungan Raknamo adalah manfaatnya bagi rakyat. Bendungan Raknamo tentu bukan hadir untuk dirinya sendiri (proyek untuk proyek).
Ia adalah jawaban atas harapan dan doa rakyat yang merindu air untuk pertanian, peternakan, listrik dan tentu untuk kehidupan itu sendiri. Karena itu memang mesti didesain sedemikian rupa agar mendatangkan manfaat dan berkat bagi rakyat di sekitarnya.
Mimpi rakyat Kabupaten Kupang yang berdiam di sekitar Raknamo adalah mereka dapat bercocok tanam setiap saat. Air selalu tersedia untuk lahan pertanian serta hamparan persawahan Oesao dan sekitarnya.
Ternak-ternak peliharaan warga tidak kesulitan mendapatkan minum pun di musim kemarau. Warga sekitar yang belum menikmati penerangan listrik dapat menikmati penerangan dengan sumber listrik dari Raknamo.
Selain itu, dengan dikembangkannya bendungan Raknamo sebagai area pariwisata rakyat, lahir mimpi lain, ekonomi rakyat setempat menggeliat oleh aktivitas ekonomi pariwisata di tempat itu.
Mengapa penting membicarakan aspek manfaat? Jelas, tanpa mendatangkan manfaat untuk rakyat, pembangunan infrastruktur itu adalah kesia-siaan. Pendekatan proyek untuk proyek sudah ketinggalan zaman. Sekarang saatnya proyek untuk rakyat.
Proyek infrastruktur yang berdampak bagi kehidupan rakyat. Jadi bukan saja yang dikejar output-nya, tetapi yang lebih penting adalah outcome-nya. Pemerintah boleh semangat membangun infrastruktur, tetapi jangan lupa pula untuk bersemangat menyiapkan infrastuktur ikutan agar pembangunan itu segera memberi manfaat bagi rakyat.
Kemanfaatan itu tentu bukan jangka pendek. Dengan menghabiskan anggaran yang begitu besar, Raknamo mesti menghasilkan multi efek manfaat untuk begitu banyak generasi ke depan.
Ia harus menjadi antitesis dari persoalan pembangunan infrastruktur yang cenderung bagus di beberapa tahun pertama, setelah itu malah jadi monumen kegagalan yang tidak dirawat dan dimanfaatkan lagi.
Kita mesti berkaca dari tata kelola bendungan Tilong yang tidak memberikan manfaat bagi warga desa Bokong yang persis di belakang bendungan itu yang justru puluhan tahun berada dalam masa-masa sulit mendapatkan air bersih dan air minum.
Untuk kepentingan asas manfaat itu, Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara (BWS NT) II Provinsi NTT tahun 2017 telah melakukan pekerjaan bangunan induk dan saluran primer sepanjang hampir 10 kilometer dengan dana Rp 36 miliar.
Pekerjaan itu akan dilanjutkan tahun 2018 berupa pekerjaan pembangunan jaringan irigasi dari bendungan Raknamo sepanjang kurang lebih 7 kilometer dengan dana APBN senilai Rp 37 miliar. Pekerjaan ini belum selesai.
Pada tahun 2019 masih ada pekerjaan jaringan skunder kurang lebih lima kilometer dan pekerjaan saluran tersier. Itu berarti, sampai dengan tahun 2019, rakyat belum dapat memanfaatkan air bendungan Raknamo karena jaringan sekunder dan tersiernya belum selesai.
Ini menjadi catatan bagi Pemerintah. Semestinya, jaringan sekunder dan tersier atau jaringan irigasi juga dikerjakan kurang lebih dalam masa pengerjaan bendungan.
Tujuannya adalah ketika bendungan selesai dibangun, jaringan irigasinya juga selesai dan bisa langsung dialiri ke lahan pertanian rakyat. Asas manfaatnya langsung dirasakan. Bukan menunggu beberapa tahun kemudian.
Belum lagi, ketika gubernur dan bupati setempat tidak merespons percepatan ini dengan membangun jaringan sekunder atau tersier yang berada dalam kewenangan mereka. Maka, sumber air pun tetap masih jauh.
Embung Penting
Hadirnya 7 bendungan di NTT dari total 49 bendungan se-Indonesia patut disyukuri. Namun, kita mesti realistis bahwa 7 bendungan ini tidak dapat menyelesaikan krisis air di NTT. Sebagai provinsi kepulauan, NTT mesti ditopang dengan hadirnya semakin banyak embung-embung berskala sedang dan kecil.
Provinsi NTT mempunyai keadaan iklim yang tergolong daerah tropis kering (semi arid) dengan curah hujan rata-rata 1,200 mm/tahun.
Musim hujan biasanya terjadi pada pertengahan bulan Desember hingga bulan Maret dengan intensitas curah hujan yang tinggi dalam durasi waktu yang pendek, sehingga sering menimbulkan banjir.
Sedangkan delapan bulan lainnya berlangsung musim kemarau yang menyebabkan debit sumber air menurun drastis, daerah pertanian mengalami kekeringan, pasokan air baku tidak memenuhi kebutuhan penduduk perkotaan maupun perdesaan.
Sementara, kebutuhan air bagi masyarakat NTT adalah 1,3 milliar kubik/tahun. Namun potensi air di NTT yang belum dimaksimalkan dan terbuang percuma 16,7 miliar kubik.
NTT adalah salah satu daerah yang curah hujannya sedikit. Setiap tahun El Nino menghampiri. Panas berkepanjangan. Efeknya adalah kekeringan, gagal tanam. Persoalan yang rutin setiap tahun ini menjadi pergumulan banyak pihak, baik pemerintah, legislator maupun lembaga-lembaga swadaya masyarakat.
Gerakan tanam air pun menggema di NTT. Ini adalah sebuah gerakan menyelamatkan NTT dari kekeringan berkepanjangan. Singkatnya, gerakan ini bertujuan menanam air hujan yang setiap tahun turun di bumi NTT agar air tersebut tidak mengalir begitu saja dan meresap kembali ke perut bumi. Wujud nyatanya adalah melalui pembangunan embung-embung baik skala kecil, sedang maupun dalam skala besar yang disebut bendungan/waduk.
Embung bertujuan menampung air hujan agar dapat dimanfaatkan untuk minuman ternak, pertanian hingga kebutuhan rumah tangga.
Kondisi geografis dan topografis NTT memungkinkan untuk menanam air sebanyak-banyaknya pada musim hujan sehingga bisa dimanfaatkan pada musim kemarau untuk berbagai kepentingan.
Hujan adalah berkat. Selama ini air hujan tidak dimanfaatkan secara maksimal. Air hujan mengalir begitu saja dan terbuang percuma tanpa ada upaya menanamnya.
Untuk mengatasi persoalan ini, NTT membutuhkan sekitar 4.500 embung dan puluhan waduk. Jika setiap tahun hanya dibangun 10 embung, maka kita butuh waktu 450 tahun untuk bisa membangun 4.500 embung. Ini nonsense.
Karena itu, pembangunan embung dan waduk supaya daya tampung air untuk pertanian lebih besar terus diperjuangkan. Sejak tahun 2009, Komisi V DPR RI misalnya terus mendorong agar setiap tahun dibangun kurang lebih 100 embung di NTT.
Namun, beberapa tahun terakhir seiring dengan pembangunan bendungan Raknamo dan Rotiklot, kuota pembangunan embung di NTT malah menurun. Tahun 2018 hanya mendapatkan 27 embung. Tahun 2017 sekitar 30-an embung. Tahun 2016 hanya 50-an embung.
Ini tentu penurunan yang sangat drastis, karena beberapa tahun sebelumnya pernah mendapatkan 102 embung setahun. Membangun bendungan untuk menangkap air dalam kapasitas yang besar itu sangat baik.
Tetapi pembangunan bendungan ini tidak mesti mengurangi jumlah pembangunan embung di NTT mengingat karakteristik geografis NTT cocok menghadirkan banyak embung. Terlepas dari berbagai hal yang perlu dibenahi, kehadiran bendungan Raknamo mesti melahirkan resolusi-resolusi positif bagi rakyat.
Raknamo adalah jawaban mimpi rakyat setempat untuk dapat bertani dan berternak semakin baik. Raknamo adalah kerinduan ketika roda ekonomi warga berputar semakin cepat. Raknamo adalah jawaban atas sumber air yang semakin dekat. Tentu saja, Raknamo adalah solusi atas kegelapan berkepanjangan karena ia bakal menghadirkan yang `terang terus'. Selamat menikmati resolusi-resolusi Raknamo. *