Bunuh Diri dalam Kajian Filsafat Moral, Begini Penjelasannya

Menurut filsuf dan sastrawan Prancis ini, absurditas ialah ciri paling dalam manusia. Dunia dan manusia yang

Editor: Dion DB Putra
net
ilustrasi 

Oleh: Frano Kleden
Ketua AKADEMIKA STFK Ledalero Maumere

POS KUPANG.COM - Bunuh diri, sesuatu yang tidak umum dilakukan, tidak biasa. Maka, membahas sesuatu yang anti-mainstream seperti bunuh diri tentu saja seru.

Albert Camus, dalam karyanya Le Mythe de Sisyphe berbicara tentang absurditas sebagai kondisi yang memungkinkan manusia untuk bunuh diri.

Menurut filsuf dan sastrawan Prancis ini, absurditas ialah ciri paling dalam manusia. Dunia dan manusia yang hidup di dalamnya tidak masuk akal. Dunia berjalan terus, manusia mati.

Pengalaman dasar manusia adalah penderitaan yang banyak daripadanya disebabkan oleh manusia sendiri. Maka, salah satu cara untuk mengakhiri absurditas tersebut ialah dengan bunuh diri.

Membunuh diri semata-mata mengakui bahwa hidup sudah tidak lagi dijalani. Mati secara sukarela mengandaikan bahwa kebiasaaan itu hampir tidak ada artinya, bahwa tiada alasan yang mendalam untuk hidup, bahwa kesibukan sehari-hari itu tidak masuk akal dan bahwa penderitaan sama sekali tak ada gunanya.

Tetapi apakah penghinaan, pengingkaran terhadap hidup diakibatkan oleh kesadaran bahwa hidup tidak mempunyai arti? Apakah absurditas hidup mutlak memaksa manusia untuk menghindarinya melalui bunuh diri?

Bunuh diri itu sebuah tragedi. Tragedi merayakan kematian dengan cara tragis. Dalam esainya yang berjudul The Sea of Crises, Brian Phillips menerangkan Jepang sebagai negara yang secara historis merayakan bunuh diri dan meyakini kalau mereka yang mati bunuh diri jauh lebih terhormat dibandingkan mereka yang melakukan perbuatan-perbuatan yang tak sejalan dengan tradisi dan moral Jepang.

Bunuh diri, dalam tradisi dan moral Jepang, merupakan metode terhormat untuk mengungkapkan pernyataan sikap: pertanggungjawaban terhadap kegagalan hingga aib yang tak tertanggungkan.

Bunuh diri selalu memiliki lingkup kajian yang luas. Terhadap hal-hal baik yang perlu ditegakkan orang bisa saja memilih bunuh diri. Socrates, filsuf Yunani. Empat ratus tahun sebelum Masehi ia tewas karena nekat minum racun. Sebagai filsuf dengan level kecerdasan intelektual, sosial, mental dan budi pekertinya di atas rakyat jelata, publik pun bertanya, apa gerangan yang mendorong kenekatannya?

Prinsip `moral'. Socrates memilih minum racun sebagai tanggung jawab moral daripada harus melarikan diri dari hukuman penjara yang direkayasa. Kematian Socrates dalam ketidakadilan peradilan menjadi salah satu peristiwa peradilan paling fenomenal dalam peradaban masyarakat.

Kisah Socrates mirip dengan kisah Uskup John Joseph yang menembak kepalanya dengan peluru di depan pelataran gedung pengadilan Pakistan. Aksi uskup ini dilakukan sebagai protes terakhirnya terhadap pengadilan yang sering tidak adil terhadap golongan minoritas sesudah berbagai cara protesnya tidak dihiraukan.

Namun, ada bunuh diri yang tidak jelas maksudnya. Ia selalu jadi rumit untuk ditelusuri, tak mungkin tuntas untuk disibaki. Fenomena bunuh diri seperti ini adalah misteri.

Mengapa disebut misteri? Ya, motif dan pilihan untuk melakukan bunuh diri selalu menjadi sebuah pertanyaan tersendiri bagi orang yang ditinggalkan sang pelaku bunuh diri. Kalau saja sang pelaku sempat meninggalkan pesan atau penjelasan mengapa ia memilih menyelesaikan permasalahannya dengan bunuh diri, itu bukan lagi misteri.

Yang ada hanyalah sebuah problem. Gabriel Marcel dalam salah satu tema filsafat kesayangannya membedakan dengan baik tentang `misteri' dan `problem' ini.

Mengambil keputusan bunuh diri saat ragu adalah sebuah kekeliruan besar. Dalam perspektif moral, jika seseorang dilanda hati nurani yang ragu-ragu, maka orang tersebut harus menunda keputusan tindakannya sampai ia mendapat kepastian tentang apa yang harus dibuat.

Kesungguhan sikap moral kita baru tampak kalau kita bertindak demi kewajiban itu sendiri sebagai prinsip objektif bagi tindakan kita, kendati hal itu tidak mengenakkan perasaan atau memuaskan keinginan subjektif kita. Demikian kata Immanuel Kant.

Kewajiban kita adalah hidup. Maka tidak melakukan bunuh diri karena kewajiban untuk hidup mempunyai nilai moral.

Lalu apakah seseorang yang secara matang memutuskan untuk bunuh diri adalah sebuah keniscayaan? Bukan. Ia tetap keliru. Dalam situasi yang berlawanan inilah, seseorang hendaknya menunjukkan keberanian moral yang tinggi dan mempertahankan keseimbangan batin yang baik.

Kita semua pernah mengalami jatuh dan bangun dalam perjuangan hidup. Maka yang perlu disiapkan ialah bagaimana menghadapi yang baik maupun yang buruk sehingga kita tidak terlalu kecewa.

Gagal ujian, dipecat dari perusahaan, atau putus cinta yang menyebabkan kepercayaan diri runtuh adalah sederatan pemicu orang bunuh diri. Kemudian lahirlah apa yang dinamakan galau, rasa susah, ketakutan, kekhawatiran besar.

Bunuh diri akhirnya dilihat sebagai jalan yang mudah untuk mengatasi kegalauan. Nah, manusia akhirnya `diperbudak'. Jadi budak kegalauan, budak ketakutan, budak kesusahan. Budak selalu ada dalam posisi ditekan, ditindas.

Nietzsche, filsuf atheis Jerman juga berbicara tentang budak. Dalam konsep Nietzsche, budak hanyalah sekawanan koloni manusia yang miskin secara batin dan ekonomi, energi, vitalitas dan sama sekali jauh dari kata menarik baik secara fisik maupun ekonomi.

Kaum budak menafsir hidupnya secara pesimis. Makanya, hidup dalam keadaan serba kekurangan lalu memerosokkan mereka ke dalam kubangan dendam dan amarah terhadap kemuraman hidup yang mereka jalani. Suatu sikap yang semula marah pada keadaannya sendiri itu pada akhirnya terakumulasi dan mulai mencari pelampiasan pada sesuatu yang di luar dirinya.

Membunuh diri sendiri karena alasan emosi semata adalah karakter seorang budak. Orang merasa hidup ini penuh beban, tak berarti apa-apa. Jika sudah begini, bunuh diri akhirnya jadi hal biasa.

Cinta akan kebenaran sebagai keterarahan budi dan hati dalam mengakui kebenaran sebagai sebuah nilai yang senantiasa menjadi titik pusat perhatian sudah mati.

Matinya kebenaran sama artinya dengan melemahnya nilai-nilai kehidupan -tak ada lagi yang bisa jadi tuntutan dan sandaran kepercayaan. Hidup pun lantas menjadi momok yang menakutkan, penuh dengan wajah-wajah yang tak berbelaskasih dan tak punya hati. *

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved