Beginilah Jadinya Ketika Hukum menjadi Hokum

Terang saja salah karena komputer membaca tulisan kita dalam bahasa Inggris. Selain memberi tanda salah

Editor: Dion DB Putra

Oleh: Marianus Kleden
Dekan FISIP Unwira Kupang

POS KUPANG.COM - Wordprocessor untuk komputer zaman sekarang umumnya didesain dalam bahasa Inggris, secara khusus Inggris Amerika, sehingga ketika kita mengetik dalam bahasa Indonesia, semua kata mendapat tanda garis bawah merah, yang berarti semua kata itu salah ejaannya.

Terang saja salah karena komputer membaca tulisan kita dalam bahasa Inggris. Selain memberi tanda salah, komputer juga langsung mengoreksi kata yang -dia kira -salah ejaannya.

Sebagai contoh kalau Anda mengetik kata `interpretatif' maka komputer langsung mengubahnya menjadi `interpretative' atau `teh' langsung berubah menjadi `the'. Satu kata yang menarik perhatian saya adalah kata hukum yang selalu saja langsung diubah menjadi hokum.

Saya mengklik thesaurus kata ini lalu muncullah sinomim yang, nauzubillahiminzalik, angker-angker: claptrap, hooey, bunkum, nonsense, hogwash, garbage, humbug, twaddle. Claptrap sendiri berarti pembicaraan yang ngawur atau ide yang tidak masuk akal.

Dan lihatlah kata trap (perangkap) yang dipasangkan pada kata clap (tepuk tangan). Hehe, orang bertepuk tangan untuk sebuah perangkap yang dipasang. Masih ingat kunjungan Setya Novanto ke panti asuhan Sonaf Maneka di Lasiana?

Anak-anak yatim piatu bertepuk tangan karena terperangkap dalam citra filantropis seorang tersangka megakorupsi. Kerabat dekat kata ini adalah bunkum. Coba perhatikan penjelasannya: insincere speechmaking by a politician intended merely to please local constituents, alias pidato penuh tipu daya oleh seorang politisi sekedar untuk menyenangkan konstituen.

Menjelang pilkada atau pileg, apalagi yang kita hadapi kalau bukan omong kosong dan tipu daya. Perhatikan kata-kata di baliho: seluruh diriku kupersembahkan bagi rakyat. Kayaknya kurang hati-hati, tu, memilih kata-kata.

Bagaimana mungkin mempersembahkan diri secara total untuk rakyat, padahal selama ini sebagian lumsum perjalanan dinas ke Jakarta sudah ditinggalkan di Alexis dan hanya separoh yang dibawa pulang buat istri dan anak. Ini bukan kata-kata saya tetapi kata-kata pengacara 30 miliar, Hotman Paris Hutapea. Untuk keluarga sendiri saja sudah dikasih separoh, apalagi untuk rakyat!

Ada pula bupati dari negeri antah-berantah yang dengan pongahnya bertanya kepada pimpinan SKPD dalam sidang bersama anggota DPRD, "Ya, butuh lagi berapa M. OK, yang sana butuh lagi berapa? Keuangan, tolong catat!"

Bidang keuangan hanya mesem-mesem dalam gaya ngeri-ngeri sedap -menurut istilah Sutan Bhatoegana -karena mereka tahu, dari DAU yang tak seberapa itu, tigaperempatnya sudah dipakai untuk belanja langsung , dan angka-angka yang disebutkan sang bupati jauh dari realita finansial daerah.

Yang disebut terakhir ini bukan lagi claptrap karena orang tidak bertepuk tangan, tidak lagi bunkum karena audiens bukan lagi orang-orang bodoh, tetapi mereka yang sangat paham manajemen pemerintahan daerah. Yang disebut terakhir justru masuk dalam kategori hooey, nonsense, hogwash dan garbage.

Hooey, kurang lebih sama dengan nonsense, artinya omong kosong alias omongan ngawur. Hooey sendiri merupakan sebuah interjeksi yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Kupang menjadi, "Woe, lu omong apa tu. Sambarang sa!"

Kata ini hampir sama maknanya dengan nonsense. Dalam bahasa Kupang dapat diungkapkan sebagai berikut, "Lu turun su, tak usah paricuk lai, kira betong ana kici bodok ko?"

Maka jadilah hooey dan nonsense sebuah hogwash, yang menurut sejarah perkembangannya berarti sisa-sisa makanan dan sampah dapur yang siap diberikan kepada babi. Memang sampah, garbage, mau apa lagi?

Oops! Omong hukum, eh, hokum, kok contohnya dari dunia politik melulu. Tidak salah juga karena keduanya sepupu kandung. Dalam sejarah peradaban rupanya Tn.
Hukum lahir lebih dulu dari Ny. Politik. Paling tidak Taman Eden dan larangan makan buah pohon pengetahuan baik dan jahat dapat memverifikasi pernyataan ini.

Tuhan memang menciptakan taman teramat indah dengan pohon yang buahnya amat menggoda selera bahkan mebetot nafsu. Tampilan pohon dengan buahnya yang ranum ternyata amat menantang sehingga manusia tidak kuat menahan nafsunya, dan terjadilah pelanggaran hukum yang pertama.

Eh, manusia yang tadinya culun dan rada blo'on tiba-tiba menjadi pintar. Nah, anak pintar harus pakai celana, maka kedua manusia pertama itu bersembunyi di balik belukar dan membuatkan cawat dari daun-daun.

Tuhan yang murka melihat kelakuan anak-anaknya menyergah, "Kalian ngapain di situ?" Jawab, "Kami telanjang Tuhan, kami malu." Tuhan, "He, sudah pintar ya, siapa yang bilang kamu telanjang? Pasti kalian sudah makan buah itu." Jawab, "Benar, Tuhan, saya sudah berbulat tekad untuk tidak menyentuh buah itu tetapi perempuan inilah yang menyorong-nyorong buah itu ke saya.

Agar tidak mengecewakan dia, ya saya makan, enak juga sih." Tuhan, "He perempuan kok tega-teganya kau makan buah itu". Perempuan, "Saya sih tidak mau tapi ular ini yang menggoda saya.". Inilah situasi politik yang asali: berkelit dari kesalahan untuk mempertahankan kekuasaan. Perkelitan primordial ini terus berulang hingga sekarang, yang mengubah hukum menjadi hokum.

Hokum yang pertama adalah sakit. Dengan wajah pucat, sedikit batuk uhu uhu uh, rambut awut-awutan, sang tersangka yang mengenakan piyama didorong di kursi roda untuk membuat press release, "Sebagai warga negara yang baik kita harus tunduk kepada hukum yang berlaku, tetapi karena dokter melarang saya melakukan aktivitas, termasuk memenuhi panggilan jaksa, ya saya belum bisa ke sana. Tapi insyaallah dalam beberapa hari ke depan kalau sudah sembuh, saya akan segera memenuhi panggilan jaksa. Mohon doanya ya, uh, uh,uh".

Tentang sakit yang diderita para tersangka ini, orang sekaliber Jusuf Kalla pun menyatakan keraguannya. Menurut Kalla, rumah sakit yang mengeluarkan surat keterangan sakit kepada para tersangka harus diperiksa supaya kredibilitasnya sebagai lembaga penyembuhan penyakit tidak berubah status jadi lembaga perlindungan para penjahat.

Hokum yang kedua adalah pencemaran nama baik. Astagfirullah al'adzim! Polisi sudah bekerja keras melakukan penyelidikan, penyidikan, penemuan alat bukti, dan akhirnya penetapan status tersangka.

Kegiatan profesional pemilik seragam coklat ini balik dituduh sebagai kegiatan gagal fokus sampai menetapkan orang yang suci murni sebagai tersangka sehingga mencemarkan nama baik yang bersangkutan. Aduh pak, tidak perlu menjadi doktor hukum untuk menilai mana yang salah mana yang benar.

Kalau mama menitip uang Rp 100.000 pada adik untuk membeli satu rak telur seharga 48 ribu rupiah, maka kembaliannya mesti 52 ribu rupiah. Kalau kembaliannya tinggal 10 ribu, dan mama mulai marah-marah, lalu si anak bilang, "Mama tuduh orang sembarang sa, tadi beta ada tempel ban, trus isi pulsa sepuluh", maka kita akan tertawa terkekeh-kekeh dan terbahak-bahak, karena hitungannya tetap salah: kembalian mesti 30 ribu setelah dipotong ongkos tambal ban 10 ribu dan isi pulsa 12 ribu. Ternyata anak kecil pun sudah belajar modus operandi pencemaran nama baik.

Hokum yang ketiga adalah praperadilan. Praperadilan adalah gugatan kepada polisi atau jaksa yang telah salah tangkap atau salah mengambil tindakan hukum. Tentang salah tangkap, sahabat saya Tommy Susu, kandidat doktor di Undana punya cerita. Ketika itu Tommy Soeharto menjadi buronan polisi. Alhasil, semua yang bernama Tommy ikut menjadi sasaran polisi.

Waktu meninggalkan Jakarta dia sempat ditahan, tetapi setelah dicocokkan dengan data Tommy Soeharto dan ternyata sangat jauh berbeda, maka dia dilepaskan. Apakah polisi dan jaksa sudah begitu sembrononya sehingga salah menetapkan seseorang dengan jabatan yang sangat terhormat menjadi tersangka? Saya kira tidak!

Hokum yang keempat adalah pengacara yang sangat berapi-api. Dari Bung Hotman Paris kita belajar sebuah kaidah kepengacaraan: pengacara harus menyembunyikan kesalahan kliennya.

Dengan demikian kalau seorang pengacara sangat berapi-api membela kliennya di depan kamera, dengan sedikit busa di sudut bibirnya, maka sudah bisa dipastikan dia sedang menyembunyikan perbuatan keji dari orang yang dibelanya.

Komputer saya mungkin tengah menyimak kondisi politik dan hukum di negara ini sehingga setiap kali dia melihat kata hukum dia langsung mengubahnya menjadi hokum.*

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved