Ipteks Bagi Masyarakat
Peternak Sapi di Amarasi Mulai Tinggalkan Sistem Paron dan Terapkan Teknologi Biogas
Kesadaran ini muncul setelah peternak memperoleh ilmu pengetahuan teknologi dan seni (Ipteks) dari pihak Politani Negeri Kupang.
POS-KUPANG.COM | KUPANG - Peternak sapi di Desa Tesbatan, Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang mulai meninggalkan paronisasi, dan beralih ke sistem beternak menggunakan kandang.
Berbarengan dengan hal tersebut, peternak juga mulai menerapkan teknologi biogas.
Kesadaran ini muncul setelah peternak memperoleh ilmu pengetahuan teknologi dan seni (Ipteks) dari pihak Politeknik Pertanian (Politani) Negeri Kupang.
Dosen Politani Negeri Kupang, Jemseng Carles Abineno dan Johny A. Koylal menjelaskan ada dua kelompok tani di Desa Tesbatan yang mulai menerapkan beternak sistem kandang dan teknologi biogas.
Kelompok tani dimaksud, yakni Kelompok Tani Mutiara dan Kelompok Tani Mawar. Setiap anggota memiliki ternak sapi Bali, jumlahnya terus meningkat.

Jemseng mengatakan, peningkatan jumlah ternak sapi tidak seiring dengan sistem penggemukan atau pemeliharaan.
Menurutnya, secara umum peternak masih memelihara sapi dengan sistem konvensional, yaitu 'paron.'
Paron atau paronisasi adalah sistem pemeliharaan ternak sapi dengan cara diikat pada suatu tempat di bawah pohon yang teduh tanpa kandang yang layak.
Kelemahan dari sistem ini adalah sapi menginjak-injak pakan (lamtoro dan rumput) sehingga kenaikan bobot badan sapi terhambat.
Kebiasaan tersebut mengakibatkan ternak sapi yang sebenarnya dijual dalam waktu 6 bulan akhirnya dijual pada waktu pemeliharaan mencapai 12-15 bulan.
Dampak lain yang ditimbulkan, lanjut Jemseng, dari sistem pemeliharaan tersebut adalah feses dan urine sapi bercampur dengan pakan sehingga menyebabkan bau yang tidak sedap. Polusi udara pun terjadi.
Johny menambahkan, sapi Bali dewasa yang dikandangkan menghasilkan kotoran segar sebanyak 6-8 kg/hari. Setiap ekor sapi dapat menghasilkan 2m3 biogas dapat digunakan setara dengan 1,24 liter minyak tanah.
Dia menyebut setiap anggota Kelompok Tani Mutiara dan Kelompok Tani Mawar memiliki sapi 3-4 ekor, sehingga kotoran ternak yang dihasilkan mencapai 24-40 kg/hari/KK dan 21- 24 liter/hari urine.

Dari jumlah kotoran tersebut energi dari biogas yang dapat dihasilkan sebesar 2m3 biogas atau setara dengan 3,72 liter minyak tanah.
"Potensi energi ini dapat digunakan untuk keperluan memasak dan penerangan dalam satu keluarga. Kotoran sapi dapat langsung digunakan untuk menghasilkan biogas dan limbah padatnya masih dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik," terang Johny.
Menurutnya, pemanfaatan limbah tersebut dapat dilakukan dengan desain atau pembuatan kandang yang sehat dan pembuatan biodigester sebagai penghasil biogas.
Jemseng mengatakan, kegiatan Ipteks bagi masyarakat (IbM) Kelompok Tani Mutiara dan Kelompok Tani Mawar diawali dengan sosialisasi program kepada anggota kelompok tentang rencana kerja dan tahapan pelaksanaan program.
Dalam diskusi bersama anggota kelompok, lanjutnya, disepakati berbagai hal tentang peranan anggota dalam proses pembuatan kandang sapi, prinsip pemeliharaan ternak sapi yang efisien dengan cara perbaikan kandang pemeliharaan sapi.

Selain itu pemberian pakan yang sesuai dengan kebutuhan ternak, pemanfaatan limbah sebagai bahan baku biogas, dan pemanfaatan limbah sebagai pupuk organik.
Disamping itu dilakukan penyuluhan tentang keuntungan yang diperoleh dari ternak sapi, pemanfaatan energi alternatif (biogas) seluruh program yang akan dilaksanakan.
"Dalam kegiatan sosialisasi dan penyuluhan tersebut anggota kelompok sangat antusias dalam diskusi tersebut. Hal ini terlihat dari proses pembuatan kandang, rancang bangun biodigester, dan pemanfaatan limbah untuk pertanian organik," ujar Jemseng.
Berdasarkan kesepakatan dengan pemerintah desa dan tokoh tani kedua kelompok maka disepakati untuk melakukan penyuluhan tentang perubahan perilaku petani agar muncul kesadaran untuk menerima informasi baru.
Informasi baru dimaksud di antaranya tentang konstruksi kandang yang baik dan pemberian pakan yang sesuai, kelemahan dari sistem pemeliharaan paron serta kelebihan dari pemeliharaan dengan konstruksi kandang.
Anggota kelompok akhirnya menyadari bahwa sistem pemeliharaan paron yang selama ini dilakukan memiliki kelemahan yang sangat besar dan dari sisi ekonomi sangat merugikan.
"Tindaklanjutnya, disepakati untuk dibuat kandang," ujar Jemseng.
Menurut Jemseng pembuatan kandang sapi dibuat menghadap ke timur dengan ukuran luas kandang 4,5 x 2,5 m untuk tiga ekor sapi.

Konstruksi kandang terbuat dari kayu dengan lantai semen (kemiringan 150) dan atap dari bahan lokal (daun gewang).
Kandang dilengkapi dengan drainase dan saluran pembuangan limbah (feses dan urine) yang mudah dibersihkan.
Pembuatan saluran pembuangan limbah dilengkapi dengan bak penampung yang dapat digunakan untuk mengencerkan feses dan urine, sebelum dimasukkan dalam digester.
Pembuatan kandang dan saluran dilakukan bersama anggota kelompok dan berlangsung selama dua bulan, dan lansung digunakan.
Jumlah sapi yang dipelihara sebanyak tiga ekor sehingga menghasilkan 38-41 kg limbah setiap hari.
Limbah tersebut ditampung pada bak pengencer, lalu dimasukkan ke dalam digester.
Biodigester yang dirancang dapat menampung 40 Kg feses dan 22 liter urine sehingga biogas yang dihasilkan sebesar 6 m3 atau setara dengan 3,72 liter minyak tanah.
Kemudian dilakukan pemasangan pipa distribusi gas dan kompor dari biodigester. Pemasangan pipa dengan tujuan agar gas yang dihasilkan dapat dialirkan ke kompor.
Adapun pipa yang digunakan adalah pipa jenis PVC dan dilengkapi dengan stop kran untuk mengatur penggunaan biogas.
Pipa distribusi gas disambung dengan kompor sehingga gas dapat dikonfersi menjadi energy panas. Dan digunakan untuk memasak.
Selanjutnya, pengenceran limbah (feses dan urine) dilakukan di bak pengenceran. Pengenceran dilakukan dengan cara mencampur air dan limbah. Perbandingan lim dan air adalah 1:1 artinya 1 liter air dicampurkan ke 1 liter limbah.
Gas yang dihasilkan diukur dengan cara menghidupkan kompor dan menghitung waktu penyalaan kompor.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, gas yang dihasilkan dapat menyala 45 menit secara terus menerus, sehingga penggunaan atau pemanfaatannya dibagi menjadi 3 kali yaitu pada pagi, siang dan malam hari.
"Jadi, energi dari biogas tersebut digunakan untuk keperluan memasak. Sedangkan sisa limbah padat dari biodigester digunakan sebagai bahan baku pupuk bokashi atau sebagai pupuk organi dan digunakan untuk proses budidaya tanaman sayuran," ujar Jemseng.(*)