Forum Academia NTT Keluarkan 10 Pernyataan Sikap Terkait Full Day School, Nomor 7 Sentil Menteri

Mengawali pernyataan sikapnya, Forum Academia NTT mengatakan, meskipun Presiden RI Joko Widodo telah mempersiapkan

Penulis: PosKupang | Editor: Dion DB Putra
POS KUPANG/ALFONS NEDABANG
Peserta karnaval dari SMP Satu Atap Padadita, Waingapu membentangkan poster yang mengeritik rencana Mendikbud menerapkan kebijakan full day school, Jumat (12/8/2016). 

POS KUPANG.COM, KUPANG -- Forum Academia Nusa Tenggara Timur (NTT) mengeluarkan pernyataan sikap terkait kebijakan Full Day School atau lima hari sekolah. Pernyataan sikap itu dikeluarkan di Kupang, Selasa (29/8/2017).

Mengawali pernyataan sikapnya, Forum Academia NTT mengatakan, meskipun Presiden RI Joko Widodo telah mempersiapkan Perpres yang tidak mewajibkan kebijakan full day school seperti yang dikeluarkan Menteri Pendidikan, seharusnya pemerintah saat ini mengambil momentum ini untuk mengevaluasi paradigma, strategi dan kondisi pendidikan di berbagai daerah di Indonesia dengan memperhatikan elemen-elemen ke-Indonesiaan. Bukan hanya terjebak dalam polemik full day school tetapi menjadi titik pijak.

Forum ini menilai, secara substantif ide dasar full day school sangat bias kehidupan kota. Padahal untuk sebagian besar daerah di Indonesia dan khususnya di NTT, program ini sulit untuk dilaksanakan.

Sudah lama pemerintah pusat membiarkan sektor pendidikan dasar Republik Indonesia terbengkalai. Sudah lama pemerintah pusat tidak dengan sungguh-sungguh membuka persoalan pendidikan, dikaji dengan saksama, dan melahirkan kebijakan strategis.

Dua kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat RI terhadap sektor pendidikan yang mengundang polemik, yakni terkait ujian nasional dan full day school, keduanya tidak menyasar persoalan mendasar dunia pendidikan.

Forum Academia NTT ingin memberikan masukan kepada Menteri Pendidikan maupun Presiden Republik Indonesia selaku kepala pemerintahan terkait persoalan pendidikan (dasar) sebagai berikut:

Pertama, ide 5 hari sekolah, dan bersekolah penuh selama lima hari tidak mungkin dilaksanakan di berbagai daerah di NTT. Masih merupakan hal biasa anak jalan berjam-jam untuk tiba di sekolah dan pulang ke rumah karena jarak dan akses yang sulit. Berdasarkan prinsip `hal yang terbaik untuk anak' maka kami meminta agar Menteri Pendidikan melakukan penelitian awal sebelum melahirkan sebuah kebijakan, agar mampu dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Kedua, kami meminta agar Menteri Pendidikan mendata jumlah kekurangan guru yang dialami di Indonesia khususnya di NTT. Kondisi defisit guru ini merupakan persoalan serius dan harus dijawab dengan segera.

Ketiga, pemerintah seharusnya memperhatikan kesanggupan, dan kesejahteraan guru sebelum mengeluarkan kebijakan semacam ini untuk daerah-daerah di Indonesia yang tertinggal.

Jika membayar gaji guru saja pemerintah daerah kurang dana, darimana dana untuk membiayai makan siang anak? Kesejahteraan guru perlu diperhatikan secara khusus, jika tidak secara sadar pemerintah sedang melakukan praktik kerja paksa (forced labor) untuk para guru.

Keempat, kami meminta agar Presiden Republik Indonesia dan secara khusus Menteri Pendidikan secara menyeluruh mengkaji ulang skema rekrutmen guru, maupun pendidikan guru.

Tanpa memperhatikan kedua faktor ini, pendidikan formal hanya mencabut anak-anak dari akarnya dan masuk pada pendidikan moderen dengan kualitas seadanya, yang artinya penjajahan sedang dilanjutkan ulang dengan metode yang berbeda.

Kelima, pemerintah Republik Indonesia perlu mendata secara khusus kualitas infrastruktur sekolah-sekolah maupun perumahan guru di pedalaman.

Tanpa dukungan ini infrastruktur dan alat bantu ajar, rekomendasi program pemerintah pusat hanya terus memberi ilusi kepada warga negara, khususnya anak-anak, tanpa ada jalan keluar konkrit.

Keenam, pemerintah pusat perlu mendirikan pusat pengkajian kurikulum dan pedagogi di berbagai provinsi. Dengan kondisi rentang Kepulauan Indonesia yang amat beragam, urusan materi dasar pendidikan harus dikaji tersendiri, dan materi kurikulum harus disesuaikan dengan kebutuhan warga negara.

Contoh, tingginya angka putus sekolah anak di NTT tidak hanya terkait persoalan ekonomi, tetapi karena pendidikan tidak menjawab kebutuhan masyarakat setempat.

Ketujuh, sekolah-sekolah di Republik Indonesia hidup dengan latar sejarahnya masing-masing, dengan latar belakang budayanya masing-masing. Kami meminta agar Menteri Pendidikan dan Presiden Republik Indonesia agar sensitif mengeluarkan kebijakan. Sayang jika energi kita harus terbuang untuk mempolemikan perkara yang tidak mendasar.

Kedelapan, kami juga meminta agar pemerintah pusat Republik Indonesia memperhatikan SEMUA sekolah swasta, dan tidak hanya memperhatikan sekolah tertentu saja.

Pemerintah seharusnya mendukung sekolah-sekolah swasta, bukannya mematikan dengan cara menarik guru-guru pemerintah, maupun menarik dukungan pendanaan. Praktik diskriminasi semacam ini secara mendasar mengabaikan Sila Kelima Pancasila yakni `Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia'.

Di NTT, sekolah-sekolah swasta ini lah tumpuan satu-satunya, karena sekolah-sekolah Inpres (Instruksi Presiden) yang dibangun oleh Presiden Soeharto di era booming minyak jumlahnya pun terbatas. Di tempat-tempat yang tersulit di NTT biasanya hanya sekolah swasta saja yang ada, dan tidak ada sekolah negeri.

Kesembilan, secara khusus kami meminta agar Pemerintah Republik Indonesia menekankan pendidikan kebangsaan dan kenegaraan demi kelanjutan dan keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tanpa pendidikan kewarganegaraan yang memadai, anak-anak kita sejak kecil sudah didoktrinasi untuk menjadi sektarian, dan lupa terhadap elemen-elemen Keindonesiaan dari Sabang sampai Merauke.

Kesepuluh, kami menuntut keadilan. Daerah semacam NTT maupun daerah lain seperti Papua dan Papua Barat dengan angka IPM (Indeks Pembangunan Manusia) yang rendah perlu diperhatikan secara khusus.

Keputusan pemerintah pusat yang menyerahkan sektor pendidikan kepada pemerintah daerah, sungguh-sungguh merupakan bencana kemanusiaan untuk daerah semacam NTT.

Asumsi bahwa daerah semacam NTT sanggup membiayai sendiri sektor pendidikannya juga merupakan bentuk diskriminasi karena pengembangan sektor pembangunan strategis yang memungkinkan Provinsi NTT mandiri membiayai sektor pendidikannya sesungguhnya tidak dilakukan sejak Proklamasi Kemerdekaan. Praktik pembiaran semacam ini harus dihentikan.

Kami sungguh-sungguh berharap Menteri Pendidikan Republik Indonesia maupun Presiden Republik Indonesia bekerja keras berdasarkan prinsip ilmiah untuk membuka persoalan dunia pendidikan Republik Indonesia.

Sudah saatnya kita bekerja sama dan bahu membahu membenahi sektor pendidikan dan keluar dari kepentingan golongan semata.

Sudah saatnya kita bergotong royong mempersiapkan anak-anak kita, warga negara kita agar bisa hidup lebih baik. Merdeka!

Tertanda anggota Forum Academia NTT
1. Dr.Mery Kolimon

2. Dr.Elcid Li

3. Dr.Jonatan Lassa

4. Dr.Ermi Ndoen

5. Paul SinlaEloE

6. Randy Banunaek

7. Yohanes Lasi Bobo

8. I Made Arsana Dwiputra

9. Olyvianus Dadi Lado

10. Lodimeda Kini

11. Stevvi Leny Angu Bima

12. Lommi Dida Kini

13. Indra Yohanes Killing

14. Mario F. Lawi

15. Ragil S. Samid

16. Dr. Lanny Koroh

17. Matheos Viktor Messakh

18. Pdt. Leny F. Mansopu

19. Pdt. Emille R. Hauteas

20. Dr. Maria Matildis Banda

21. Rudi Rohi

22. Eric Robin

23. Chandra Dethan

24. Eman Dapaloka

25. Joy Radjapono

26. Rini Kartini Kein

27. Kasim Bapang

28. Alexander Aur Apelaby

29. Welhelmus Poek

30. Pdt. Emmy Sahertian

31. Yahya R. Ado

32. Herman Seran

33. Ody Messakh

34. Edy Messakh

35. Victoria Fanggidae

36. Dr. Maklon Killa

37. Pius Rengka

38. Vincent Sangu

39. Pither Yurhans Lakapu

40. John Petrus Talan

41. Zacharias Angkasa

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved