Beginilah Taktik Mendikbud Meredam Para Sastrawan

Mendikbud Muhadjir yang seharusnya memberikan sambutan sekaligus membuka Munsi pada Selasa, 18 Juli 2017, pukul

Editor: Dion DB Putra
ilustrasi

Oleh: Yohanes Sehandi
Peserta Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia

POS KUPANG.COM -- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI, Muhadjir Effendy mempunyai taktik meredam sorotan dan kritikan para sastrawan Indonesia terhadap berbagai kebijakan kementeriannya di bidang pendidikan dan kebudayaan. Hal itu terjadi pada waktu Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi) ke-2 yang berlangsung di Hotel Mercure Ancol, Jakarta 18-20 Juli 2017.

Mendikbud Muhadjir yang seharusnya memberikan sambutan sekaligus membuka Munsi pada Selasa, 18 Juli 2017, pukul 13.00, tidak hadir karena masih mengikuti acara penting di tempat lain. Sambutannya dibawakan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud, Dadang Sunendar. Diinformasikan Mendikbud akan memberikan pengarahan pada pukul 17.00.

Begitu Mendikbud mendapat giliran memberikan pengarahan, yang dilakukannya tidak seperti biasanya. Pertama, dia tidak menyapa sejumlah pejabat Kemendikbud yang hadir, tetapi langsung menyapa sejumlah peserta Munsi. Yang disapa, antara lain narasumber seperti Ignas Kleden dan Radhar Panca Dahana, sastrawan yang sudah berumur di atas 80 tahun, seperti L. K. Ara (sastrawan tua dari Aceh) dan Rusli Marzuki Saria (sastrawan yang juga purnawirawan TNI dari Sumatera Barat), sejumlah sastrawan bergelar profesor seperti Abdul Hadi WM dan Suminto A. Sayuti, dan sastrawan nyentrik Sutardji Calzoum Bakhri, dan lain-lain.

Kedua, Mendikbud langsung membuka diskusi dengan para sastrawan, tanpa memberi pengarahan yang sebetulnya ditunggu-tunggu. Dia langsung pindah dari podium ke kursi sofa yang kemudian ditemani Kepala Badan Bahasa, Dadang Sunedar, dan Ketua Panitia Munsi, Gufran Ali Ibrahim. Inilah taktik Mendikbud menciptakan suasana rileks guna meredam gejolak para sastrawan yang bakat dasarnya memang tukang kritik. Suasana resmi berubah santai dan kekeluargaan.

Beliau sepertinya tahu bahwa sastrawan selalu melihat persoalan dari sisi lain yang sering berbeda dengan cara melihat orang lain. Sastrawan mengeritik tanpa menjaga perasaan orang lain. Juga suka menyalahkan orang lain, terutama birokrasi pemerintah dan politisi.

Tidak hanya itu. Kadang-kadang sastrawan juga bersikap cuek terhadap lingkungan sekitar, aneh dan nyentrik. Ada yang berpenampilan rapi, necis dan modis, ada yang biasa-biasa saja, ada yang awut-awutan. Ada yang rambut gondrong tak terurus, ada yang pakai sandal jepit, ada yang celana pendek. Ada pula yang pakai sarung dan agak kumal. Tapi jangan lihat penampilannya, isi karya sastra mereka menghentak langit kesadaran akan manusia dan kemanusiaan. Karya sastra mereka dikenal luas dan dihapal para siswa dan mahasiswa.

Taktik Mendikbud Muhadjir yang tidak formal itu mengundang respon para sastrawan untuk mengajukan pertanyaan dan pernyataan, mengkritik dan menasihati, mengusulkan dan menyarankan. Yang bisa saya kemukakan di sini yang bersifat mengusulkan dan menyarankan kepada Mendikbud demi perkembangan sastra nasional Indonesia yang lebih baik, baik di tingkat nasional maupun di daerah.

Pertama, para sastrawan minta Mendikbud agar jangan hanya mengurus bidang pendidikan sampai lupa mengurus kebudayaan, padahal kebudayan jauh lebih luas cakupannya. Sejumlah sastrawan menilai pemerintah belum cukup cerdas menangkap esensi kebudayaan yang seharusya mendapat perhatian serius.

Kedua, para sastrawan minta Mendikbud memperhatikan perkembangan sastra dan budaya di daerah, jangan hanya di pusat. Caranya, Dinas PPO di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sering mengadakan berbagai jenis perlombaan bidang sastra yang mengikutsertakan para siswa dari SD dan SMP/MTs sampai SMA/MA/SMK, seperti lomba penulisan puisi/cerpen/drama, lomba pembacaan dan musikalisasi puisi, lomba pementasan drama dan monolog. Perlombaan itu dilakukan antara sekolah, kecamatan, dan kabupaten.

Ketiga, para sastrawan minta Mendikbud membantu para penulis atau sastrawan di daerah-daerah. Caranya, Dinas PPO di tingkat provinsi dan kabupaten/kota membeli buku-buku sastra karya sastrawan yang ada di daerah, seperti buku-buku puisi, kumpulan cerpen, novel, buku dongeng, cerita rakyat, dan buku hasil kajian sastra.

Buku-buku yang dibeli Dinas PPO itu dibagikan ke sekolah-sekolah dan perpustakaan-perpustakan daerah. Dengan cara itu maka budaya literasi yang menjadi tujuan utama gerakan literasi sekolah (GLS) yang digagas Kemendikbud dapat tercapai. Gairah menulis dan membaca akan terbentuk dan berkembang.

Keempat, para sastrawan minta Mendikbud untuk menggali sastra-sastra daerah yang sangat kaya dengan kearifan lokal (local genius) di Indonesia. Sastra-sastra daerah ini diungkapkan dalam bahasa daerah masing-masing etnis. Kalau kegeniusan lokal ini digali dan disebarluaskan maka akan muncul kebinekaan sastra Indonesia yang tentu tidak dimiliki bangsa-bangsa lain.

Kelima, meminta Mendikbud agar pendidikan karakter tidak hanya pada level wacana, tetapi benar-benar dilaksanakan. Untuk itu perlu keteladanan, mulai dari orang-orang besar, para birokrat pemerintah dan politisi dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota sampai tingkat kecamatan, kelurahan/desa, dan para guru di sekolah-sekolah.

Sekitar satu setengah jam Mendikbud Muhadjir mendengar dengan setia semua pertanyaan dan pernyataan, kritik dan nasihat, usul dan saran para sastrawan. Setengah jam kemudian Mendikbud memberi jawaban atas berbagai hal yang dikemukakan.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved