Wuiih! Ada Adegan 'Pamer Susu' di Jembatan Bokong
Marthen Runesi mengadu ke Direktur Lembaga Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (LeadHAM) Kabupaten Kupang, Petrus Busu.
Penulis: Julius Akoit | Editor: Alfred Dama
"Pamer Paha di Ranjang itu, akronim dari kalimat: padat merayap tanpa harapan di dalam antrian panjang," tulisnya diikuti memasang image seorang nenek ketawa ngakak, memperlihatkan giginya yang ompong.
Hingga Kamis dini hari, tepat pukul 02.30 wita, jalan alternatif baru selesai dikerjakan. Kendaraan mulai beringsut maju dan menyeberang ke sebelah. Dialog nyeleneh di FB itu pun dilupakan.
Kamis pagi, para wartawan beramai-ramai turun ke lokasi, mendengarkan cerita seram dan juga kisah lucu dari warga, ketika banjir menerjang masuk dalam kampung.
"Kami sudah langganan banjir sejak tahun 2011. Dan sudah usulkan pasang bronjong agar banjir jangan masuk ke kampung. Diusulkan di musrenbang tingkat dusun, kelurahan, kecamatan dan kabupaten. Tapi tidak ada realisasi," jelas Lurah Takari, Josephus Asbanu, didukung beberapa warga.
Wilayah Kelurahan Takari dan Desa Oesusu, terletak di dataran rendah. Dikepung perbukitan di sebelah timur dan daerah aliran sungai (DAS) Noelmina (sungai terbesar di Pulau Timor), di sebelah barat.
Ditambah 3 sungai kecil yang membelah perkampungan sekitar.
"Jadi sangat rawan terjadi banjir dan longsor. Karena itu kami minta, kalau bisa ada bronjong sepanjang sungai. Untuk tahap awal minta seribu meter dulu," pinta Asbanu.
Yesaya Benu, salah satu tokoh masyarakat di Takari, melihat peristiwa bencana banjir dan tanah longsor dari sudut pandang spiritual magis. Ia menyebut banjir dan tanah longsor adalah peringatan yang dikirim oleh Uis Pah (Tuhan Sang Pemilik Bumi, Red).
"Uis Pah marah karena kita tebang pohon dan babat hutan sembarangan. Lihat saja bukit-bukit di sebelah timur sana. Dulu kawasan Takari dikepung hutan bambu dan pohon gewang. Sekarang nyaris habis. Bukit jadi gundul. Air hujan bukan meresap dalam tanah dan disimpan akar pohon tapi mengalir dan terjun bebas ke perkampungan, menjadi banjir yang dasyat," jelasnya panjang lebar, ketika menyuguhkan air kelapa muda kepada para wartawan, Kamis siang.
Menurutnya, nenek moyang dulu memberlakukan hukum adat berupa larangan membabat hutan atau pohon di bukit dan dekat kawasan sumber air. Namun sekarang larangan adat itu sudah tidak digubris lagi.
"Mungkinkah pemerintah buat perda larangan tebas bakar di bukit dan di kawasan sumber air? Semoga ada LSM peduli lingkungan yang mau membantu rakyat dan Pemkab Kupang membuat draff perda tersebut," katanya berharap.
Pendapat senada disampaikan Markus Tnomel, warga lainnya. Ia mengatakan membangun proyek bronjong di tepi kali (sungai kecil, Red), tidak menyelesaikan masalah.
Banjir akan terus menerjang masuk kampung dan bronjong akan hanyut dan roboh kalau terus dihantam banjir dan longsor.
"Sama seperti orang sakit kepala. Yang diobati kakinya. Itu khan tidak akan selesai. Yang utama adalah reboisasi atau menghijaukan kembali bukit-bukit dan sumber air. Kalau sudah banyak pohon, air hujan akan disimpan dan ditampung akar pohon. Sehingga banjir dapat dikendalikan secara alamiah," paparnya.
Tentu harus ada kerjasama dan kolaborasi program antara pemerintah dan masyarakat adat supya memberlakukan kembali sanksi adat atas perilaku membabat hutan dan menebang pohon sembarangan.
"Selain perda larangan tebas bakar, juga didukung aturan adat melarang tebas bakar dan perlindungan terhadap hutan di bukit dan di kawasan sumber air," tambah Tnomel.