Merespon Pujian Raja Salman. Apa yang Penting Untuk Toleransi di Indonesia?
Pujian Raja Salman menjadi siraman energi baik bagi Indonesia. Pertanyaan reflektif untuk kehidupan bertoleransi antarumat
Oleh: Vinsens Hayon
PNS Kemenag Kabupaten Kupang
POS KUPANG.COM - Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz Al Saud telah bertemu dengan 28 tokoh lintas agama di Hotel Raffles, Jakarta Selatan, Jumat (3/3/2017) lalu. Disinyalir dalam jumpa khusus itu "Beliau memuji Indonesia karena beliau menganggap Indonesia stabil karena ada semangat toleransi yang ditunjukkan antarumat beragama di Indonesia.
Raja juga mengatakan, "umat beragama harus saling membantu. Tanpa hal itu sulit terjadi persatuan" (detik.com, 3/3/17). Berita Kompas.Com (Jumat, 3/3/17) mengungkapkan juga tutur Raja Arab bahwa, "Indonesia bisa menjaga stabilitasnya karena ada harmoni dan toleransi agama." Singkat beritanya, ada pujian atas toleransi antarumat beragama di Indonesia yang menjadi modal kuat untuk kemajuan bersama.
Pujian Raja Salman menjadi siraman energi baik bagi Indonesia. Pertanyaan reflektif untuk kehidupan bertoleransi antarumat beragama adalah apa perlu pujian Raja Salman direspon? Jawabnya, selayaknya dan perlu. Wujudnya melalui unjuk teladan sebagai komitmen bersama dan upaya membasmi tiga penyakit kronis toleransi.
"Para pemimpin agama adalah salah satu pilar dalam rangka harmoni persatuan bangsa Indonesia. Karena itu supaya toleransi antarumat beragama dan harmoni tetap terjaga maka para tokoh lintas agama harus jadi suri teladan. Mereka adalah representasi dari kemajemukan. Mereka menjadi teladan bagi umatnya dalam rangka sikap mengembangkan toleransi. Dan, ini menurut Jokowi, presiden RI adalah aset bangsa Indonesia yang berharga dan mempunyai peran besar" (detik.com, 3/3/17).
Suri teladan atau menjadi teladan adalah tuntutan sekaligus respon pertama terhadap pujian raja dan hendaknya menjadi komitmen bersama yang segera-serentak dihunjukkan. Unjuk komitmen akan suri teladan harus merias realita, ada pada praksis kehidupan, baik pada kalangan atas maupun pada masyarakat akar rumput. Ia harus membumi sehingga tidak mengawang pada idea dan hanya sebatas kata-ucap dalam ruang pertemuan. Ia harus terekspos pada peri-sikap sehingga tidak hebat dalam kata-kata lisan di hadapan publik.
Kata "commitmen" (Indonesia: "komitmen") arti leksikalnya (2) The willingness to work hard and give your energy and time to a job or an activity, dan (3) a thing that you have promised or agreed to do, or that you have to do (Philips et. al, 2010:288; Oxford Advanced Learner's Dictionary). Echols dan Shadily (1996:130) menerjemahkan kata "commitmen" sebagai memenuhi janji-janji atau tanggung jawab. Selanjutnya dalam KBB, kata "tanggung jawab" diartikan sebagai keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut,
dipersalahkan, diperkarakan, dsb) dan inilah yang disebut `komitmen".
Temali antara unjuk komitmen bersama dengan "suri teladan", pada hakekatnya bertolak dari makna leksikal di atas, yang dalam realisasinya tidak sebatas kehendak, itikad baik atau niat yang tertanam kuat dalam diri sesorang atau siapa saja melainkan segera-serentak direalisasikan (terlebih seusai jumpa akbar tersebut). Ia mesti mendapat bentuk dan hidup dalam dunia praksis. Ia tergambar pada realita hidup keseharian umat beragama.
Hal menonjol di sini adalah tiga kata ini sebagai kata kunci untuk unjuk komitmen bersama yakni harmoni, toleransi dan damai. Jika ketiganya dihunjuk maka hadirlah persatuan dan kesatuan sejati di bumi Indonesia. Unjuk komitmen bersama mengindikasikan ada suatu upaya transformasi positif kepada persatuan dan kesatuan berbangsa dan bernegara.
Transformasi positif ini menjadi sempurna karena melibatkan tidak hanya "head" (kepala) tetapi juga "heart" (hati) setiap umat beragama, ungkap John Kotter, (2011) dalam tulisanya The heart of changes). Jika demikian muara dari unjuk komitmen bersama maka dengan mudah kita penuhi apa yang diharapkan Raja Salman, bahwa bersama "Raja Salman" kita menjaga perdamaian dan bersama menanggulangi segala bentuk radikalisme dan ekstremisme yang makin menggejala. "Semua agama berusaha untuk menjaga hak-hak manusia dan kebahagiaan mereka. Karenanya penting untuk memerangi radikalisme dan ekstremisme yang ada," ungkap beliau (detik.com, 3/3/17).
Tiga Penyakit Kronis Toleransi
Pertama, penyakit Negative Feeling. Penyakit ini menyerang sepanjang waktu dalam kehidupan bersama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ia menghadirkan intoleransi antarsuku, antarbudaya dan antarumat beragama karena sungguh kuat selera iblis ada pada elemen perasaan kita baik secara individual maupun komunal yang membuat kita selalu memberi perasaan negatif atau terhadap "apa" saja dan "siapa" saja, terlebih terhadap hal-hal yang menggetarkan, mengganggu rasa dan membakar emosi kesukuan, kekebudayaan dan keberagamaan kita.
Penyakit ini membuat perasaan meledak-ledak, emosi tinggi dan bertindak membabi buta; merusak keagungan harmoni dan damai serta menenggelamkan toleransi ke dasar kebencian dan dendam kesumat abadi. Penyakit ini hanya disembuhkan dengan kesabaran dan pemaafan yang memiliki kedalaman ilahiah walau berat tuntutannya.
Kedua, Penyakit Negative Thingking. Penyakit ini terus menyerang pikiran yang belum sempurna pemahaman akan keindonesiaan raya, kapan dan di mana saja bahkan setiap saat karena sungguh kuat selera iblis ada pada elemen kejiwaan kita (jiwa budi) yang membuat setiap individu atau kelompok selalu memberi pikiran negatif terhadap siapa dan apa saja berkaitan dengan pribadi dan perbuatannya.
Akibat penyakit ini, kita dituntut atau berjuang untuk memiliki pikiran positif terhadap siapa dan apa saja untuk tumbuh-hidupnya sebuah toleransi, harmoni dan damai yang berdasar pada peri tulus, dengan tuntutan pengertian yang melampaui kebijaksanaan dan kedermawanan manusiawi.
Ketiga, Penyakit Negative Willing. Penyakit mematikan ini terus mengintai kita kapan dan di mana saja bahkan setiap saat, setiap kesempatan dan peluang terhadap kehendak positif kita untuk bangun toleransi dan kebahagiaan hidup bersama, karena sungguh kuat selera iblis ada pada kehendak kita yang membuat setiap individu atau kelompok selalu memberi kehendak negatif terhadap setiap signal, kesempatan dan peluang yang memuaskan kehendak pribadi, kelompok sendiri yang melahirkan eksklusivisme sempit/ekstrem.