Pasutri Pembersih Makam Tinggal di Gubuk Tanpa Listrik dan Kamar Mandi Selama 15 Tahun

- Area pemakaman umum di Blok Kenduruan, Desa Weru Lor, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat

Editor: Rosalina Woso
Kontributor Cirebon KompasTV, Muhamad Syahri Romdhon
Said bersama Pia, menunjukan dinding berbahan bilik bambu yang tembus ke luar rumahnya, di Blok Kenduruan, Desa Weru Lor, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon. Rabu (8/2/2017). Dia tinggal di areal pemakaman selama 15 tahun dengan kondisi memprihatinkan. Mereka hidup tanpa aliran listrik, dapur, dan kamar mandi, dengan uang 5000 rupiah perhari. 

POS KUPANG.COM, CIREBON -- Area pemakaman umum di Blok Kenduruan, Desa Weru Lor, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Rabu (8/2/2017), sepi.

Di dekat kuburan, ada seorang pria berambut putih sedang duduk, menatap sebuah gubuk. Pria yang sudah berusia sekitar 65 tahun itu bernama Said. Dia duduk di depan bangunan yang sangat sederhana.

Tiga sisi dindingnya berbahan bilik rapuh yang sudah rusak. Satu sisi bagian belakang tembok rumah tetangganya. Bilik bambu di ketiga sisi itu terikat empat kayu penyangga yang sudah kropos. Untuk menghalangi angin, Said melapisi sejumlah bilik bolong dan sobek dengan karung bekas.

"Sini, masuk Mas," ajaknya singkat saat melintas pintu yang hanya seukuran setengah badan.

Luas bagian dalam rumah Said hanya sekitar 8 meter persegi. Tak ada lemari, seluruh barang tergeletak di tanah, ada pakaian, ember, baskom, botol minum, cempor, minyak tanah, kayu bakar, dan korek.

Tak ada perabot, hanya panci untuk masak air dan nasi. Jangankan kabel dan lampu, listrik tak mengalir di dalam gubuk ini. Said tinggal bersama istrinya, Pia. Kondisi sangat memprihatinkan ini sudah mereka alami sejak tahun 2002, atau sepanjang 15 tahun.

Said ingat, sejak Presiden Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga sekarang Joko Widodo, dia belum mendapat perhatian dari kebijakan ketiganya. Dia juga kecewa terhadap pemerintah daerah yang seakan hendak memberi memberikan bantuan.

Berulang kali didatangi dan didata, lanjut Said, hingga hari ini tak ada hasil. Said putus asa terhadap pemerintah yang memperhatikannya.

"Kehujanan, keanginan, tahan aja. Pemerintah enggak ada bantu-bantunya. Berkali-kali ke sini, dicateti, tapi gagal lagi, gagal lagi, jadi saya tahan aja, berdoa terus kepada Tuhan Yang Maha Esa," ungkap Said.

Pria yang belum dikaruniai anak ini pasrah. Keinginannya tak tinggi, hanya berharap dapat tinggal di rumah berdinding rapat, bukan gribik atau anyaman bambu dan atapnya tak bocor.

"Jangan pakai gribik begini, yang rapet aja, jangan kedinginan, tidur nyaman," ungkapnya.

Di tengah obrolan, Said naik kasur dan menunjukkan lima buah ember yang terikat dengan kayu di atas. Kala hujan deras, ember itu dengan cepat penuh karena atap berbahan asbes bolong cukup besar. Dia berusaha tak menghiraukan lubang kecil yang tersebar di sejumlah titik.

Setiap hari, Said membersihkan makam, namun ini bukan mata pencariannya. Dia menganggur telah lama, setelah pinggangnya sakit saat membecak.

Pia, istrinya, membantu sebagai buruh pembersih sampah. Setiap hari, Pia mengaku hanya dapat upah Rp 3.000-Rp 5.000. Meski jauh dari kata cukup, keduanya terus bertahan hidup.

"Makannya? Seadanya saja. Rezeki dari mana saja, dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Malam Jumat ada yang kasih, baru makan nasi, sehari-hari sih enggak. Kadang lontong dibawakan istri, yang kerja bantu orangtuanya, bantu buang sampah," ungkap Said.

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved