Bila Tebarkan Kebencian, Tumpulkan Pikiran Anda
Tenggang rasa, empati, dan persaudaraan pun pupus hanya karena beda pandangan
"Prinsipnya, kebebasan berpendapat tak boleh dilanggar. Etika berkomunikasi harus dijaga dan negara tak perlu jadi polisi moral masyarakat," katanya.
Namun, banyak pihak mengingatkan, kebebasan berbicara itu tetap bisa dibatasi jika melanggar hak-hak orang lain atau menimbulkan dampak bagi bangsa dan negara.
Berdasar neurosains, Taufiq setuju jika kebebasan berbicara, khususnya yang menyangkut penyebaran kebencian, harus dibatasi. Sifat dasar manusia selalu ingin melampiaskan segalanya. Kondisi itu akan menghilangkan kendali diri hingga bertindak membabi buta, tak bisa menenggang rasa, bahkan jadi agresif.
"Karena kebencian merusak otak, kebencian tidak boleh terjadi masif. Kebencian itu menular dan berlaku bak bola salju sehingga bisa menimbulkan malapetaka," ucapnya.
Di sisi lain, pembeda antara ujaran kebencian dan kebebasan berpendapat adalah motifnya. Ujaran kebencian selalu dilandasi rasa benci serta semangat permusuhan dan merupakan perilaku kompulsif yang terjadi berulang-ulang. Kelompok yang disasar pembenci selalu salah, tidak pernah benar.
Sementara kebebasan berpendapat merupakan sikap kritis pada kelompok tertentu secara obyektif. Benar dan salah adalah dua hal yang bisa melekat pada siapa pun. "Meski tampilan lahiriahnya sama, kebebasan berpendapat lebih positif," ujarnya.
"Sepanjang sejarah, strategi itu dipakai banyak kelompok untuk menghasut, membenci kelompok lain, dan menumbuhkan kebanggaan kelompoknya, termasuk Nazi Jerman," ujar ahli neurosains kognitif Universitas Miami, Amerika Serikat, Berit Brogaard, di Psychologytoday.com, 21 Desember 2016.
Pola pikir
Peneliti Pusat Kesehatan Mental Masyarakat Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Rahmat Hidayat, Rabu (18/1), memaparkan, kebencian seseorang terkait dengan pola pikir kronis atau menetap yang dimiliki. Mereka memandang segala hal dari sudut pandang negatif atau ancaman bahayanya.
Ketakmampuan melihat secara obyektif itu memicu kecemasan, kekhawatiran, atau keterancaman diri. "Pola pikir kronis yang menimbulkan kebencian kerap tak disadari," ucapnya.
Skema berpikir kronis dipengaruhi banyak faktor, termasuk pengasuhan dan pengalaman masa kecil. Orang-orang yang sejak kecil terpapar dan terbiasa menerima hinaan, cacian, kata-kata merendahkan, atau tak dihargai cenderung jadi pribadi berpandangan negatif.
Subyektivitas pada informasi membuat para penyebar kebencian sulit menilai secara proporsional. Akibatnya, mereka tak bisa berpikir kritis. Hanya informasi yang disukai atau ingin dilihatnya yang diyakini benar. Selain itu, dianggap salah.
Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi, Manado, Taufiq Pasiak menilai, kebencian yang marak di masyarakat muncul akibat situasi politik, bukan perilaku permusuhan bawaan kepribadian seseorang. Situasi politik mengubah sifat alamiah otak, menyeret sebagian orang pada arus kebencian.
Secara alamiah, otak manusia menghindari kebencian. Karakter utama otak ialah menyukai atau memburu kesenangan dan menghindari hal tak menyenangkan. Karena kebencian tak menyenangkan, manusia sejatinya tak suka membenci.
Kebencian juga menguras energi otak. Benci membuat otak menguras energi sebagai kompensasi kebencian. Itu membuat otak tumpul, tak bisa berpikir tajam. "Akibatnya, mereka yang membenci sulit berpikir dan bertindak adil," ujarnya.
Maraknya penyebaran kebencian dinilai Taufiq tak perlu terlalu dikhawatirkan. Pada jangka pendek, situasi ini menyebalkan. Namun, itu tak akan lama karena kebencian politik mudah berubah, tergantung dari kemampuan mereka yang benci untuk mengakomodasi kepentingan kelompok lain. (Kompas.Com)