Bila Tebarkan Kebencian, Tumpulkan Pikiran Anda
Tenggang rasa, empati, dan persaudaraan pun pupus hanya karena beda pandangan
POS KUPANG.COM -- Merebaknya ujaran kebencian di masyarakat beberapa bulan terakhir mulai menimbulkan konflik. Rasa benci itu membuat banyak informasi bias, palsu, dan fitnah disebar. Tenggang rasa, empati, dan persaudaraan pun pupus hanya karena beda pandangan. Bahkan, serangan fisik dan bentrokan sudah terjadi di beberapa daerah.
Kebencian sejatinya ialah emosi umum tiap individu. Namun, jika emosi yang menunjukkan ketidaksukaan itu disebarkan ke publik, itu bisa memicu konflik dan kejahatan atas kemanusiaan.
"Kebencian bisa menghilangkan harkat manusia, memunculkan bias, dan mengurangi empati," kata Gail B Murrow dan Richard Murrow dalam "A Valid Question: Could Hate Speech Condition Bias in The Brain" di Journal of Law and the Biosciences, Maret 2016.
Ujaran kebencian jadi strategi kelompok memprovokasi kebencian dan tindakan anarki. Materi kebencian yang disebarkan, menurut Jerome Neu dalam The Philosophy of Insults, 2008, ialah beda ras, jender, orientasi seksual, suku, agama, atau karakter kelompok lain.
Individu ke kelompok
Kebencian akibat pola pikir kronis amat individual. Namun, saat individu-individu yang membenci mengelompok, skema berpikir kronis berlaku pada kelompok. Jadi, identitas kebencian mereka mengental dan membuat mereka terpolarisasi dengan kelompok lain.
Kehadiran pimpinan kelompok mengukuhkan identitas mereka. Jika pesan kebencian dari pimpinan kelompok disampaikan berulang-ulang, realitas yang dikonstruksikan pimpinan kelompok jadi realitas kelompok.
"Akibatnya, mereka tak kritis dengan kelompoknya. Kelompoknya paling benar dan kelompok lain salah," kata Rahmat.
Taufiq menyebutkan, kebencian yang berubah dari ekspresi personal jadi ekspresi kelompok bisa memicu konflik horizontal. Masalahnya, kebencian massal mudah menyebar karena manusia Indonesia yang paternalistik suka mengelompok. Dampaknya, mereka tak percaya diri dengan penilaian diri dan memilih mengikuti pandangan kelompoknya.
Kebencian yang disebar itu belum tentu memunculkan kebencian serupa pada orang lain. Penerimaan individu pada ujaran itu menentukan mereka ikut membenci atau tidak. "Penyebaran kebencian hanya menguatkan pandangan kelompok, tak otomatis memengaruhi pandangan orang atau kelompok umum," ucap Rahmat.
Persepsi itu dipengaruhi kesukaan seseorang pada figur penyebar kebencian. Kesukaan pada penyebar kebencian menjadikan seseorang setuju kebencian yang disebar. Sebaliknya, ujaran positif dari orang yang dibenci bisa melahirkan kebencian.
"Pembenci memandang seseorang bukan atas apa yang dibicarakannya, tetapi siapa yang membicarakannya," ujarnya.
Pembatasan
Meski ujaran kebencian berdampak nyata di masyarakat, pengaturannya di sejumlah negara menimbulkan pro dan kontra, termasuk di Amerika Serikat dan Indonesia. Pengaturan ujaran kebencian dikhawatirkan memengaruhi kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi.
Rahmat menilai, sebagai ekspresi personal, ujaran kebencian tak perlu dikontrol negara karena khawatir akan membatasi kebebasan berpendapat. Dalam jangka pendek, penyebaran pandangan negatif memunculkan ketidaknyamanan. Namun, dalam jangka panjang, belum tentu bisa memengaruhi orang lain.