Kearifan di Kampung Adat Bena

Itu pertanda bahwa para leluhur yang menjaga rumah kami sedang menyapa tamu yang baru datang.

Editor: Paul Burin
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Kaum perempuan Kampung Bena, Kabupaten Ngada, memainkan musik suling saat menyambut tamu, Minggu (14/8/2016). 

POS KUPANG.COM, BAJAWA - Andereas Tuli (51) merasakan ada energi lain. Tubuhnya merinding saat membuka pintu depan rumah untuk mempersilakan tamunya masuk. Tamu itu datang untuk menginap, Minggu (14/8/2016) malam. Tepat di depan pintu itulah Andreas merasakan adanya kehadiran para leluhur. Mereka seolah ikut menyambut.

Itu pertanda bahwa para leluhur yang menjaga rumah kami sedang menyapa tamu yang baru datang," katanya.

Di dinding ruang utama rumah berukuran 9 meter x 7 meter itu terdapat ukiran bertuliskan Soa Peka Bena, yang berarti rumah besar suku Bena. Di atasnya ada tulisan lain, Longa Yne Tena, berarti sang leluhur. Itu nama leluhur sekaligus pemilik pertama rumah besar Bena yang hidup ratusan tahun silam.

Andreas tak mengetahui persis sudah berapa keturunan menempati rumah itu. Namun, generasi penghuni rumah meyakini sang leluhur selalu ada di dalam rumah untuk menjaga keturunannya serta menghalau segala bahaya yang mengancam.

Rumah besar suku Bena terletak di sisi timur Kampung Adat Bena di Desa Tiwo Riwu, Kecamatan Jerebu'u, Kabupaten Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur. Kampung itu menjadi salah satu obyek wisata utama Ngada. Setiap hari, wisatawan ramai berkunjung menyusuri rumah-rumah adat beratap ilalang kering dan berdinding kayu. Di sekitar itu, masyarakat menjaga kubur-kubur batu nenek moyang mereka.

Di tengah melesatnya perkembangan peradaban, masyarakat Kampung Adat Bena bertahan dengan cara hidup tradisional. Kondisi itu yang disaksikan langsung oleh peserta Jelajah Sepeda Flores-Timor saat menginap satu malam.

Kampung adat itu menjadi garis akhir etape kedua jelajah sepeda. Rombongan tiba pada Minggu (14/8/2016) petang, seusai menempuh jalur Ruteng-Bajawa sepanjang 139 kilometer.

Andreas mengatakan, kampung itu selalu terbuka bagi semua orang yang datang dengan niat baik. Sapaan para leluhur yang membuat bulu kuduknya merinding adalah pertanda bahwa ada restu. Sepanjang malam itu pula seluruh tamu dengan ramah dijamu.

Mereka disebar menginap di 43 rumah adat, yang berdiri berderet dan saling berhadapan, dengan hanya terpisahkan sehamparan luas lahan untuk tempat berkumpul warga dan kuburan.

Keadaan akan berbeda apabila kedatangan tamu tidak mendapat restu. Ada sejumlah tanda muncul. Misalnya, tamu akan terjatuh sebelum masuk ke dalam kampung.

Di Bena, warga rutin menggelar upacara adat reba yang berarti upacara syukur atas panen. Ada pula upacara adat peresmian rumah baru. Setiap kali ada upacara, mereka wajib memberi sesaji kepada leluhur di dalam bilik utama rumah besar atau disebut soa meze.

Sesajian berupa daging kerbau atau babi. Tanduk kerbau atau tulang rahang babi, selanjutnya dipasang di bagian depan rumah. Semakin banyak deretan tulang atau tanduk, menandakan usia rumah itu sangat tua.

Bilik utama dalam rumah menjadi tempat sesajen sekaligus dapur dan kamar keluarga. Tidak ada tempat tidur. Warga juga tidak menggunakan peralatan elektronik modern. Untuk memasak, mereka menggunakan tungku kayu bakar di dapurnya.

Meskipun tidur di lantai, pemilik rumah mengatur suhu dalam rumah dengan menggunakan papan yang disusun rapat. Penyusunan yang rapat menyulitkan angin menembus.

Kampung itu berada persis di lembah timur Gunung Inerie, di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Suhu udara berkisar 22 derajat Celsius, dingin dirasakan para tamu.

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved