Berteman Tanpa Selingkuh

Selingkuh yang terjadi di entitas bisnis sering kali tidak disikapi secara serius oleh manajemen.

Editor: Agustinus Sape
lKOMPAS.COM
Ilustrasi Selingkuh 

Oleh: Frederikus M. Ngganggus
Praktisi Perbankan

PERSELINGKUHAN dalam arti literal dan dalam arti konotasi semakin marak terjadi di berbagai entitas, baik entitas bisnis, birokrasi maupun keluarga.Yang terjadi di entitas bisnis sering kali tidak disikapi secara serius oleh manajemen. Banyak alasan yang melatarinya, salah satunya karena efeknya yang tidak berdampak langsung dan segera terhadap bisnis entitas, sulitnya bukti materil untuk membuktikan bahwa mereka telah berselingkuh, dan ragam alasan lainnya.

Perselingkuhan sebenarnya sudah masuk kategori pelanggaran hukum, khususnya pelanggaran dari perspektif moral, etik. Berbeda dengan pemerkosaan, sudah merupakan pelanggaran hukum yang melanggar dua perspektif sekaligus, yakni perspektif moral dan perspektif yudisial. Pelanggaran perselingkuhan baru bisa menjadi sebuah pelanggaran yudisial jika ada pihak yang menuntut karena merasa dirugikan. Dalam kenyataannya, jarang sekali kasus perselingkuhan menjadi kasus hukum karena pelanggaran yang bersifat moral antara sesama pelaku tidak merasa dirugikan, namun sebaliknya menguntungkan buat mereka, karena apa yang dilakukan didasari oleh kesepakatan suka sama suka. Dalam bahasa ilmu hayatnya, ada simbiose mutualisma atau saling menggemukan satu sama lain. Peristiwanya pun sering berlangsung senyap sehingga sulit untuk mendapatkan pembuktian materil dan sudah pasti masing-masing pihak akan selalu meniadakan atau menyembunyikan bukti-bukti selingkuh tersebut. Faktanya sangat sulit membuktikan seseorang telah berselingkuh sebagaimana sama sulitnya meniadakan perselingkuhan itu sendiri. Jika kasus ini terjadi di dalam sebuah entitas atau komunitas kerja yang di dalamnya ada hierarki organisasi, yang jelas pembagian peran, tugas dan tanggung jawab para karyawannya, maka seringkali menjadi pekerjaan yang sulit sekali bagi otoritas dalam organisasi untuk mengambil tindakan atas dugaan perselingkuhan yang terjadi pada karyawan/ti-nya. Sekalipun bukti moral telah dipunyai oleh otoritas, itu hanya bisa sampai pada dugaan saja sepanjang bukti materil berupa tuntutan dari pihak yang merasa dirugikan tidak ada, sehingga tidak bisa dilanjutkan pada tuntutan atau persidangan kode etik. Inilah ironi menghadapi fenomena perselingkuhan yang melibatkan karyawan/ti dalam satu entitas. Apa pun argumentasi pembenar dari para pelaku perselingkuhan hanya karena tidak ada bukti materilnya, perbuatan tersebut sejatinya tetap merupakan sebuah pelanggaran susila.

Manajemen bisa menjembatani pelanggaran susila tersebut sekalipun tanpa syarat bukti material dengan beberapa pilihan. Pertama, keteladanan. Karena ini merupakan pelanggaran etik, moral, maka tuntutannya tidak mungkin didekati dengan pendekatan yudisial, tetapi dengan pendekatan etik, pendekatan moral sebagai tuntunan. Teladan pemimpinnya merupakan salah satu teknik pendekatan paling efektif untuk membentuk etik dan moral. Keteladanan pemimpinnya seringkali menjadi cara yang ampuh untuk menyadarkan para pelaku berhenti dari kebiasaan asusilanya. Pemimpin memiliki peran sangat strategis untuk meyakinkan bahwa perwujudan kesuksesan dalam berkarier hanya mungkin dicapai jika dijalankan tidak saja dengan kompetensi teknis yang handal, tetapi terutama juga memiliki kompetensi etis, moral yang handal dan baik pula. Karena tidak pernah sebuah mutu kesuksesan dicapai melalui jalan dan cara tidak etis apalagi disertai cara-cara asusila. Memiliki dua kompetensi sekaligus yakni kompetensi teknis dan kompetensi etis, moral adalah prasyarat kapasitas yang mesti dimiliki seorang karyawan, kalau tidak mau dikatakan sebagai orang yang memiliki kapasitas pincang.

Kelembutan rasa yang datang dari kedalaman hati tidak akan merestui apa pun bentuk sikap yang melukai rasa orang lain apalagi orang lain itu adalah istri, suami, anak-anak yang adalah orang-orang langka dan terbatas dalam hidup kita sehingga sangat layak mendapat curahan kasih kita. Tidaklah mungkin sesuatu yang baik datang dan keluar dari kondisi hati yang kacau. Kebenaran ini sudah menjadi sebuah dalil. Sebagaimana dalil itu "pasti" sifatnya, maka mempraktekkan kebaikan sudah "pasti" memanen kebaikan pula. Melalui prakteklah baru dalil itu bisa dibuktikan kebenarannya.

Kedua, punishment Moral. Karena pelanggaran moral yang dilakukan karyawannya, maka punishment morallah yang menjadi cara terbaik yang harus diberikan. Subyektivitas pemimpinyalah yang dominan dalam memutuskannya, karena tidak ada obyek materil yang bisa dijadikan media untuk dirembuk bersama. Bentuk punishment moral yang bisa diambil antara lain, mengurangi peran pelaku pelanggaran secara bertahap hingga tidak diberi peran strategis sama sekali. Tentunya hal ini menyisakan pertanyaan bagi pelaku, namun pemimpinnya dapat menyampaikan secara diplomasi perihal pembatasan tersebut karena alasan-alasan taktis, misalnya alasan penyegaran, alasan spesifikasi pekerjaan atau alasan lain sejauh alasan tersebut merupakan alasan realistis dan humanis sehingga diharapkan dari kedalaman rasa para pelanggar menyadari sebetulnya ada skenario ekskomunikasi dari pemimpin terhadapnya karena pelanggaran etik, moral yang sedang dilakukan. Strategi ini semacam sebuah sindiran kepada para pelaku yang telah terlebih dahulu secara sembunyi-sembunyi merongrong martabat entitas dari dalam. Karena sejatinya jiwa dari entitas itu ada di dalam martabat nilai-nilai luhur, keutamaan yanga ada di dalam diri para pekerjanya di level manapun.

Ironi penanganan kasus perselingkuhan karyawan
Perselingkuhan yang dilakukan karyawan di dalam sebuah entitas umumnya tidak menyertakan bukti material sehingga sulit untuk ditindak. Namun faktanya hal itu terjadi. Dari sisi kinerja semua target pekerjaan yang diberikan diselesaikan dengan baik, bahkan lebih dari yang ditugaskan. Situasi ini menimbulkan dilema bagi atasan untuk menilai kinerja karyawannya. Inilah yang saya maksudkan sebagai ironi yang akan diulas ke hadapan pembaca sekalian.

Saya awali analisis saya dengan mengajukan pertanyaan, apakah menghentikan perselingkuhan karyawan adalah hal yang urgen atau sekedar penting? Apakah memberhentikan seorang karyawan yang berprestasi secara teknis, namun ia seorang pelanggar susila karena suka berselingkuh itu hal yang mendesak atau tidak?

Mari kita periksa mulai dari yang pertama, apakah menghentikan perselingkuhan merupakan sesuatu yang urgen atau sekedar penting? Yang urgen lebih mendesak dari yang penting, yang uregen derajat keterdesakannya lebih tinggi dari yang penting. Perselingkuhan yang dilakukan oleh seorang karyawan berprestasi yang sangat besar kontribusinya dalam meraup keuntungan bagi perusahaan dan bahkan bisa dikatakan sebagai pegawai andalan yang jika tanpa kehadiraannya, maka bisa dipastikan perusahaan akan mengalami kemunduran dalam meraup keuntungan adalah cara pandang pragmatis materialis. Keuntungan material adalah jembatan yang menghubungkan antara yang material dan yang immaterial. Sehingga muncul adagium kekayaan menggambarkan nama besar. Reputasi materil adalah simbol status yang memberikan sensasi rasa bangga (sesuatu yang immaterial). Uang memiliki efek membius, dapat membius etika, moral. Karena mengejar uang, orang terlelap dan nyenyak dari pertimbangan baik-buruk, etis-tidak etis.

Perbandingan nilai etika, moral dengan uang ibarat langit dengan cahaya. Langit itu simbol etika, moral, sedangkan cahaya ibarat uang. Semakin bersih langitnya, maka semakin terang cahaya terpancar. Sebaliknya semakin kotor langit, maka semakin redup pancaran cahayanya. Semakin bersih etik, moral seseorang, maka semakin bersih jalan ia mendapatkan uang. Semakin kotor etik, moral seseorang, maka semakin tertutup cahaya ia mendapatkan uang. Moral mempunyai efek melek. Sekalipun dibius oleh uang, namun segera dimelekkan kembali oleh etika, moral. Demikianlah etika, moral itu adalah bahan baku pembuat uang. Apapun media untuk bekerja atau apapun profesi untuk mendapatkan uang, bahan bakunya tetaplah etika, moral. Dengan demikian pertanyaan pertama di atas terjawab sudah, bahwa mengehentikan perselingkuhan karyawan adalah hal yang urgen, bukan saja penting. Jika seandainya ada akibat negatif yang timbul dari keputusan ini, misalnya berujung PHK, maka bisa diterapkan Theory of Double Effect (teori akibat ganda) dalam menyikapi hal ini, yaitu: akibat negatif dari sebuah keputusan bukanlah tujuannya, tetapi jika hal itu harus terjadi dan tidak dapat dihindari lagi, maka langkah itu harus tetap diambil karena akibat negatif hanyalah akibat sampingan, tetapi bukan tujuan. PHK karyawan yang berselingkuh bukanlah tujuan, sebaliknya menyelamatkan entitas dengan sejumlah orang karyawan yang lebih banyak di dalamnyalah yang menjadi intensi utamanya. Sekali lagi PHK hanyalah akibat sampingan dari upaya menghidupi entitas bisnis yang menaungi hidup banyak orang dari ancaman kebangkrutan.

Untuk tidak menimbulkan beban moral bagi atasan yang memutuskan, jika harus melalui putusan PHK, maka dapat dilanjutkan dengan refleksi moral berikut.

Empat kondisi yang dapat diterapkan dalam "teori akibat ganda". Pertama, perbuatan itu sendiri merupakan perbuatan moral yang baik atau minimal netral. Kedua, pelaku dari perbuatan tersebut (dalam hal ini otoritas pemutus) tidak menginginkan atau secara sengaja menyebabkan efek negatif yang timbul. Jika sesuatu yang baik dapat dicapai tanpa menimbulkan efek negatif, maka cara tersebut yang harus diambil. Ketiga, efek yang baik harus terjadi dari perbuatan yang diambil dan bukan dari efek negatif yang terjadi. Keempat, harus ada alasan yang begitu kuat secara proporsional untuk mengizinkan efek negatif terjadi. Di sini diperlukan kebijaksanaan (wisdom) untuk memutuskan suatu tindakan, sehingga efek yang baik lebih besar dari efek negatif.

Setelah menguji lanjutan keputusan memberhentikan karyawan yang berselingkuh dengan empat kondisi di atas, maka jawaban pasti yang bisa diberikan terhadap pertanyaan apakah memberhentikan pegawai doyan selingkuh sekalipun berprestasi adalah merupakan hal yang mendesak?

Menjaga etik, moral dan mencari uang sesungguhnya sama mulia adanya, karena itu prasyarat menjadi karyawan sebuah entitas adalah memiliki dua kompetensi sekaligus yakni kompetensi teknis dan kompetensi etis, moral sebagaimana mutlak diperlukan uang untuk membiayai entitas.

Marilah kita membangun entitas kita masing-masing dengan etos kerja berbasis etika, moral. Bertemanlah tanpa ada selingan selingkuh. Niscaya.*

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved