Merawat Mata Air, Menghapus Air Mata
TAK terbayangkan hidup tanpa air. Kering, kurus, kotor, berdebu dan mati. Sebaliknya untuk keberlangsungan hidup di bumi, hewan, tumbuhan dan manusia.
Oleh: Gabriel Adur
Rohaniwan dan Pengamat Sosial NTT, Tinggal di Belanda
TAK terbayangkan hidup tanpa air. Kering, kurus, kotor, berdebu dan mati. Sebaliknya untuk keberlangsungan hidup di bumi, hewan, tumbuhan dan manusia membutuhkan air. Air, menurut Thales, merupakan arche. Sebuah prinsip dasar untuk hidup. Bagi sang filsuf saat cair menjadi sebuah pangkal, pokok dan awal dari segala sesuatu yang hidup dalam alam semesta. Air dalam dirinya, tanpa ada sebab-sebab dari luar, mampu tampil dalam segala bentuk. Juga tak terbinasakan.
Mungkin tidak berlebihan kalau air dipandang sebagai kasih sayang alam semesta (the blessing of the nature) untuk segala makhluk hidup. Cinta alam semesta untuk segala yang hidup untuk tetap hidup dan terus berada. Kasih sayang alam tak ternilai harganya dan juga tak bisa digantikan. Air menjadi rahmat. Bukan saja bagi manusia, tapi juga bagi hewan dan tumbuhan. Dalam Taoisme, air dipandang sebagai sesuatu yang lembut, tapi bisa menghancurkan karang. Air mengalir dalam persada kehidupan, tanpa protes. Air menunjang keberlangsungan hidup.
Sebagai faktor pembantu proses metabolisme pada manusia dan hewan. Memberikan kesempatan kepada tumbuhan untuk menciptakan fotosintesis. Bumi membutuhkan matahari dan air. Matahari yang memberikan sinarnya untuk kehidupan. Namun kebanyakan sinar matahari tanpa ada keseimbangan dengan jumlah saat cair dalam bumi dan bagi makhluk hidup rupanya mustahil untuk sebuah kehidupan seperti yang kita alami.
Kita tanpa air tak mungkin hidup. Menurut temuan para medis sekitar 50 sampai 70% massa tubuh kita terdiri dari air, termasuk kulit, jaringan tubuh, sel-sel dan seluruh tubuh. Salah satu manfaat air adalah mendukung fungsi-fungsi vital dan menghindari dehidrasi, menghilangkan racun dan limbah dari tubuh. Dengannya tubuh kita bersih. Ia terbebas dari masalah kesehatan. Sebagai alat transport untuk nutrisi ke sel-sel tubuh dalam sistem limfatik.
Melalui penjelasan seperti di atas, baru penulis memahami, ketika dokter menyarankan agar setiap kita bisa mengonsumsi air bersih paling kurang 2 liter sehari. Dengannya, kita bisa menghindari sakit sembelit, alergi, masalah ginjal, migren, kulit keriput dan masalah kesehatan lainnya.
Bersama air kehidupan menjadi sehat, sempurna, bersih, murni dan indah. Kegunaan dan fungsinya yang nyata ini membuat air menjadi sumber kehidupan. Dalam pandangan agama-agama, air memiliki ambivalensi. Pertama sebagai simbol kelahiran dan kedua, menjadi simbol kematian. Sebagai contoh, dalam agama Kristen dan Islam, ia memiliki tempat dan makna yang tinggi.
Air Pembaptisan, seperti di Jordan dalam pembaptisan Yohanes dan air permandian bagi setiap orang Kristen merupakan tanda memasuki komunio kehidupan dalam gereja. Hidup dalam persekutuan dengan Sang Hidup/Allah dan sesama. Air hidup terlukis dalam air yang mengalir. Dalam agama Islam ritus pembasuhan kaki sebelum memasuki masjid memiliki makna pemurnian hati. Sebaliknya air bah dipahmi sebagai simbol kematian yang membahayakan keberadaan manusia. Dengan memahami ambivalensi tersebut, kita selayaknya juga bisa hidup berdamai dengan air.
Ritus sederhana dalam keluarga: orang mencuci tangan sebelum dan sesudah makan. Sebelum makan untuk membersihkan kotoran-kotoran dan bakteri dari tangan agar tidak masuk ke dalam tubuh bersama makanan. Sesudah makan membersihkan kembali kotoran dan lemak dari makanan untuk tidak melekat pada tangan dan mendatangkan virus dan merusak kesehatan.
Dengan menelusuri kembali fungsi air, penulis membahasakan realitas lain bahwa tanpa air hanya ada kematian. Kekeringan yang melanda wilayah Sahara Afrika mendatangkan malapetaka bagi masyarakat. Kekeringan menciptakan kelaparan. Kelaparan dan kekurangan gizi menimbulkan berbagai penyakit. Penyakit-penyakit kronis menciptakan masyarakat yang tidak sehat. Masyarakat yang sakit dan tidak sehat menyebabkan negara menjadi miskin. Negara yang miskin tidak memberikan harapan hidup bagi warganya.
Sangat riskan, hidup di sebuah negara seperti Somalia atau Ethiopia. Untuk mendapatkan air, masyarakat harus berjuang siang dan malam, ratusan kilometer berjalan kaki atau berkuda untuk mengambil air. Ketika UNICEF pada awal tahun 2016 mengangkat realitas pahit bahwa hampir lebih dari 17.000 anak-anak, laki-laki dan perempuannya yang meninggal di Ethiopia akibat kekurngan air dan air bersih, dunia membuka mata untuk membantu proyek-proyek pembangunan mata air di daerah yang termisikin di benua hitam. Di sini mencuat pertayaan mendasar, di mana keadilan berair di planet yang memiliki kandungan air sampai 70% ini. Pertanyaan yang lahir dari realita pahit ketika kebanyakan warga miskin menggunakan waktunya kurang lebih 8 jam sehari untuk mencari air bersih.
Di sisi lain, kita semakin membuka mata hati dan kesadaran, bahwa sumber-sumber air yang mengalir memberikan kita kehidupan. Kesadaran yang dibangun kemudian (terlambat) ketika mata air-mata air kita mulai mengering dan tidak memberikan kita air. Di Belanda dan Jerman, tempat penulis bermisi, saya menimba dan belajar nilai positif dari budaya mencintai air dan mata air hutan dan pepohonan dari masyarakat.
Korelasi fungsi dari ketiga-tiganya untuk keberlangsungan ekologi dan kehidupan di alam membentuk kesadaran orang-orang di sini untuk berusaha menjaga, melindungi dan merawat sumber-sumber air, menanam pepohonan dan menjadikan hutan sebagai tempat sumber kehidupan. Dengan dukungan teknologi yang tepat guna perlindungan terhadap alam semakin efektif dan menjadikan alam tempat dan rumah yang nyaman dan layak dihuni. Kebersihan dan kesehatan alam juga menjadi prioritas perlindungan.
Alhasil, sebagai contoh, kita bisa meminum air dari kran-kran air, karena memang airnya layak minum, tanpa dimasak terlebih dahulu. Pengelolaan sumber mata air untuk masyarakat menciptakan sebuah keadilan mendapat air bagi seluruh warga. Teknologi pengelolaan air sungai yang didukung oleh kesadaran masyarakat untuk tidak mencemari sumber-sumber air dan sungai mampu menciptakan sebuah tatanan sungai bersih dan layak menjadi salah satu andalan pariwisata sungai. Air dalam arti ini bukan saja sebagai sumber hidup, tapi juga mampu memberikan aspek lain pada tatanan hidup masyarakat. Termasuk sebagai salah satu alternatif berwisata.
Tentu sumber mata yang mengalir juga sebagai kasih sayang alam terhadap bumi. Namun tanpa ada kepedulian dan kesadaran kita untuk menghidupkan mata air, maka tak mungkin pemberian alam terus lestari. Dalam Bahasa Paus Fransiskus (Ensiklik Laudato Si), alam menjadi rumah bersama yang perlu dirawat. Kesadaran ekologis kita adalah menjaga dan merawatnya.
Demi kelestarian sumber-sumber mata air di Belanda misalnya, Pemerintah Belanda sangat ketat memberikan perlindungan terhadap kawasan hutan dan menjaga pepohonan yang ditanam di mata air. Selain alasan fungsional, juga alasan praktis bahwa agar bisa bertumbuh dan kokoh dan menghidupkan satu pohon di bumi kincir angin membutuhkan ratusan tahun.
Alam memberikannya hidup bertahun-tahun dan sangatlah tidak etis kalau kita membinasakannya hanya dalam sekejap. Kesadaran ekologis yang kuat dari masyarakat menciptakan sebuah pengelolaan sumber daya air dan hutan di tanah yang kurang subur menjadi perjuangan tak pernah usai. Pemerintah dan masyarakat bahu-membahu untuk mewujudkan impian mereka, Belanda yang indah, subur, dan kaya air.
Bagaimana dengan Kita di NTT?
NTT: Nusa Tetap Termiskin. Ungkapan yang mungkin tepat untuk menyatakan kenyataan masyarakat kita. Ketika kita mengalami bahwa secara statistik tercatat sampai Maret 2016 masih 1,149 juta jiwa penduduk provinsi ini yang termasuk dalam kategori miskin, berarti 22,19 persen dari jumlah keseluruhan masyarakat (Bdk, Tempo.co, 2016/7/16). Kemiskinan riil diperburuk dengan krisis air yang melanda masyarakat. Di sisi lain, kemiskinan masyarakat secara struktural sepertinya "bukan" menjadi kepedulian birokrat.
Di tengah krisis dan penderitaan masyarakat mereka memperjuangkan gaji bulan ketigabelas. Penulis bisa membayangkan kalau gaji bulan ketigabelas dan tunjangan lain para pegawai diinvestasikan untuk memelihara kelestarian sumber-sumber air dan pelestarian hutan, mungkin dampaknya akan sangat baik dan positif untuk kesejahteraan masyarakat. Pelestarian air dan hutan butuh komitmen bersama.
Persoalan krisis air yang melanda hampir semua kabupaten di Nusa Tetap Terindah, bahkan daerah-daerah subur seperti Manggarai (tempat kelahiran penulis), menjadi persoalan bersama. Dengan demikian menjadi komitmen bersama pula untuk mengatasinya. Dalam arti kalau pemerintah sudah memulai melestarikan air dan hutan, mestinya menjadi bagian dari tanggung jawab masyarakat untuk juga melakukan hal yang sama. Bukannya demi kepentingan pribadi membambat hutan yang dengan sendirinya juga menyebabkan terjadinya pengurangan mata air dan debit air pada mata air sendiri.
Melestarikan dan merawat hutan dan mata air menjadi tugas bersama agar air mata rakyat yang kelaparan tidak terus mengalir di persada NTT. Merawat mata air berarti juga merawat keindahan hidup bumi dan masyarakat. Jika mata air terus memberikan kita harapan hidup, maka air mata tidak lagi mengalir pada wajah-wajah masyarakat yang miskin. Mereka dan kita yang merindukan sebuah perubahan nasib dan masa depan yang cerah untuk anak cucu mereka.*