Kekerasan Seksual dan Industri Tubuh Global
Pelakunya bisa orang yang tidak dikenal, tetapi cenderung orang dekat seperti ayah, kakak, om, saudara, tetangga, teman kelas.
Oleh: Isidorus Lilijawa, S.Fil, MM
Warga Kota Kupang -NTT
HAMPIR setiap hari, media cetak dan online di NTT mengabarkan perisitiwa kekerasan seksual. Korban umumnya anak-anak dan yang bertumbuh menjadi remaja. Kebanyakan perempuan. Pelakunya bisa orang yang tidak dikenal, tetapi cenderung orang dekat seperti ayah, kakak, om, saudara, tetangga, teman kelas. Diwartakan hampir setiap hari sampai-sampai orang menganggap ini soal biasa. Padahal itu adalah awal kehancuran bagi masa depan para korban. Fenomen apakah ini?
Tubuh Hedonis
Tubuh hedonis memposisikan tubuh manusia dengan status yang berbeda-beda. Ia adalah obyek estetis: dicat, diberi pakaian, dicukuri, dilobangi, dicabuti; obyek politis: dilatih, didisiplinkan, disiksa, dikurung, dipotong-potong; obyek ekonomis: dieksploitasi, diberi makan, direproduksi; dan obyek seksual: digoda, dilecehkan, diperkosa.
Pemujaan berlebihan terhadap tubuh hedonis dapat memicu terjadinya aneka kasus kekerasan seksual. Anehnya, peristiwa seperti ini terus terjadi saat peristiwa lain dengan substansi sama sedang diproses secara hukum. Para pelaku rupanya tidak jera. Entah oleh berbagai motif dan alasan, yang menjadi sasaran pelampiasan nafsu bejat ini adalah kaum wanita. Kaum wanita dan tubuhnya dijadikan instrumen alat percobaan, kelinci eksperimen demi tersalurnya libido kaum lelaki. Tubuh perempuan menjadi obyek semata.
Pertanyaannya, mengapa peristiwa pemerkosaan ini selalu terulang dan terus terjadi di berbagai tempat? Apakah karena lemahnya supremasi hukum di negeri ini dalam menjerat pelaku pemerkosaan? Apakah karena hukum tidak mengakomodir kepentingan dan atau berpihak pada korban? Ataukah mungkin karena proses hukumnya tidak menjera para pelaku? Inilah sekian banyak kemungkinan yang selalu terbuka bagi kemungkinan yang lain.
Pemerkosaan atau pelecehan seksual bersentuhan dan berkontak langsung dengan tubuh perempuan sebagai korban. Perempuan dan kebertubuhannya telah diposisikan sebagai barang, alat yang mesti ditaklukkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan libido lelaki.
Pada tataran ini, secara tak disadari telah terjadi suatu pergeseran yang signifikan dari melihat tubuh perempuan sebagai suatu realitas eksistensial yang berpribadi, bermartabat, berderajat, yang seharusnya dihormati, dihargai menuju sebuah cara pandang baru yang melihat tubuh perempuan sebagai tubuh hedonis semata. Sebagai tubuh hedonis, keberadaan tubuh justru dilihat sebagai yang memberi kenikmatan, kesenangan seksual, membangkitkan fantasi seksual, serta kepuasan libido. Dalam kacamata ini, tubuh perempuan diposisikan sebagai instrumen, alat, barang, benda, yang boleh dinikmati, dieksploitasi demi kepentingan pelaku pemerkosaan.
Produk utama industri tubuh global adalah tubuh manusia terutama tubuh kaum perempuan. Dalam situasi demikian, tubuh telah menjadi komoditas yang harus dipersiapkan demi 'nilai jual' tertentu. Sebagai contoh, perusahaan-perusahaan kosmetik gencar mencecar tubuh dengan produk yang seolah-olah harus diterima dan dipakai kalau orang ingin agar tubuhnya diterima oleh publik. Budaya selebriti menyediakan contoh seperti apa tubuh itu mesti ditampilkan. Belum lagi membanjirnya produk kecantikan/kedokteran yang dapat terjangkau masyarakat lapisan bawah dengan harga murah seperti suntik silikon dan berbagai produk lainnya.
Tubuh Global
Industri tubuh global yang pangsanya meluas di pasaran dewasa ini betul-betul memanfaatkan tubuh perempuan sebagai komoditi dan produk unggulan. Lihat saja, industri ini gencar mengeksploitasi kemolekan tubuh perempuan, memajang kepolosan dan ketelanjangan tubuh perempuan dalam gambar dan lukisan di etalase-etalase supermarket, mall, hingga kios-kios kecil, dalam iklan-iklan televisi, dalam lembaran-lembaran majalah dewasa hingga majalah porno. Tubuh perempuan dikomersialisasi dalam kepingan-kepingan CD blue, dalam aneka model pornoaksi dan pornografi. Hal semacam ini diperparah lagi ketika kaum perempuan yang cenderung dijadikan korban itu kurang menyadari kebertubuhannya. Artinya bahwa pengaruh industri tubuh global menyeret pola pikiran (mindset) mereka pada model berpikir hedonis mengadopsi gaya hidup metropolis-selebritis. Kaum perempuan serta-merta mesti mengenakan rok mini bahkan super mini agar up to date. Model baju pun kian mini-minian. Bagian-bagian tubuh yang dulunya ditutup-tutupi perlahan-lahan mulai disingkap dan ditonjolkan. Anggota-anggota tubuh diberi aksesoris agar kian estetis. Tidak puas telinga dan jari orang mulai melubangi pusar, hidung dan lidah untuk diberi anting.
Tubuh yang sejak Maurice Merleau-Ponty dengan filsafat fenomenologinya mendapat perhatian besar perlahan-lahan mengalami devaluasi. Ponty dalam kajian filosofis dan psikologisnya melihat tubuh sebagai subyek dari kesadaran manusia itu sendiri atas kebertubuhannya. Terkait dengan tubuh kaum perempuan, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi obyektivitas martabat kebertubuhan perempuan. Dengan tidak lagi memposisikan tubuh perempuan sebagai subyek kesadarannya, keberadaannya, maka kemurnian dan keluhuran tubuh perempuan sebagai insan ciptaan Tuhan ternoda dan terluka.
Industri tubuh global kini merasuki dunia kita hingga ke pelosok-pelosok desa melalui kehadiran alat-alat hiburan seperti televisi dan VCD yang bisa disalahgunakan untuk memenuhi hasrat seksual kaum remaja dan kaum muda kita. Pemerkosaan yang marak terjadi akhir-akhir ini mencemaskan kita. Soalnya, sementara kita berusaha mencari jalan keluar dan solusi untuk mencegah dan menghilangkan perilaku bejat ini, industri tubuh global di satu pihak pun gencar menawarkan berbagai produk menarik dengan memanfaatkan dan mengeksploitasi tubuh seperti melalui gambar-gambar porno, tingkah laku porno yang bisa memicu pemerkosaan.
Tubuh Teologis
Setelah kebertubuhan manusia khususnya kaum perempuan babak-belur oleh industri tubuh hedonis, publik perlu beranjak menuju pemaknaan tubuh secara teologis. Inilah filter pertama yang saya pikir bisa menahan dan meredam laju industri tubuh hedonis. Tubuh teologis mengumandangkan semboyan ini 'marilah mengakrabi tubuh'. Tubuh teologis menyingkap satu hal bahwa manusia dan tubuhnya merupakan ciptaan Tuhan. Karena itu, dengan mengakrabi tubuh kita bisa berjumpa dengan Tuhan. Melalui tubuh, kita berelasi dengan Tuhan. Kalau begitu, tindakan yang merendahkan tubuh merupakan tindakan yang melukai keberadaan Tuhan yang hadir dalam tubuh mereka yang menjadi korban. Pemerkosaan merupakan kegagalan manusia dalam mengenal, mencintai dan mengakrabi Tuhan dalam kebertubuhan orang lain. Allah menyapa manusia melalui tubuhnya karena tubuh bukanlah entitas terpisah dari manusia, melainkan karena manusia adalah makhluk yang utuh. Gagasan melihat tubuh secara teologis mengajak kita untuk menghargai dan menghormati tubuh orang lain. Kaum perempuan mesti dihargai dengan seluruh keberadaan tubuhnya dan kemanusiaannya. Jika demikian, maka pemerkosaan sebenarnya tidak perlu terjadi.
Filter kedua yang perlu diperhatikan dalam mengantisipasi dan membendung arus deras industri tubuh hedonis adalah memberikan pendidikan seksualitas kepada anak-anak kita. Konsili Vatikan II dalam Deklarasi tentang Pendidikan Kristiani (No.1) mengatakan bahwa anak-anak muda perlu mendapat pendidikan seksualitas yang positif dan bijaksana. Orangtua dan para pendidik memiliki tugas berat dalam memberikan pendidikan seksualitas pada anak-anak. Sejauh mana efektivitasnya kedua filter ini, semuanya kembali kepada kita. Dalam pergulatan dengan tubuhnya, Yohanes Climacus, seorang teolog abad ke-7 berseru mengenai tubuhnya, 'Tubuhku adalah penolongku dan musuhku, pembantuku dan seteruku, pelindungku dan pengkhianatku'. Marilah kita tetap berjaga-jaga agar tidak terseret arus industri tubuh hedonis.*