Lipsus Kasus Perceraian di Kupang
News Analysis Tentang Perceraian oleh Dr. Chris S Oiladang, MA
Perceraian itu dalam norma agama dan adat yang dianut sebenarnya bertentangan atau anomi. Jadi pelaku perceraian itu hilang pegangan. Nilai-nilai dasa
PERCERAIAN harus dilihat dari dua sisi. Dalam pandangan norma agama sebagai suatu penyimpangan. Namun dalam pengamatan sosiologis belum tentu jadi masalah. Perceraian itu sebenarnya akhir dari sebuah konflik yang tidak terselesaikan. Boleh dikata sebagai batas terakhir toleransi dari sebuah keluarga.
Perceraian itu dalam norma agama dan adat yang dianut sebenarnya bertentangan atau anomi. Jadi pelaku perceraian itu hilang pegangan. Nilai-nilai dasar bagi orang untuk mempertahankan sebuah keluarga sudah mulai melonggar karena kuatnya guncangan dalam kehidupan keluarga dan tidak mampu bertahan.
Dalam teori pertukaran sosial itu orang yang melakukan perkawinan itu sebenarnya dilandasi harapan dan impian. Artinya dia menukarkan masa mudanya untuk masuk dalam suatu ikatan perkawinan lantaran dia berharap dapat sesuatu yang lebih di sana.
Tetapi ketika dia tidak mendapatkan itu, laki-laki berpikir tentang pertukaran bagaimana kalau saya tukarkan perkawinan dengan perceraian. Ada keuntungan apa yang dia dapat kalau dia bercerai dan kerugiannya apa. Setelah itu dia menimbang untung rugi bisa saja dia mengambil keputusan bercerai.
Dalam satu kasus perceraian ada faktor pemicu semisalnya masalah ekonomi. Artinya orang berharap berumah tangga mendapatkan kecukupan dalam hal ekonomi. Ketika ketidakmampuan mencukupi ekonomi berlangsung dalam waktu yang lama maka dia bisa mengguncang sendi-sendi keluarga.
Selain itu masalah kepuasan seksual lantaran fungsi khas dari keluarga itu adalah fungsi seksual. Kalau dia tidak mendapatkan hal itu yang baik dalam keluarga maka dia berpikir bagaimana caranya mendapatkan kepuasan tersebut.
Dalam kondisi seperti ini jika ada peluang maka bukan tidak mungkin dia melakukan tindakan ke luar rumah dengan pihak ketiga. Pihak ketiga ada banyak versi yakni pria idaman lain dan wanita idaman lain di luar. Tetapi bisa saja intervensi keluarga terlalu banyak.
Kendati demikian, secara naluriah lelaki itu ingin mendapatkan perempuan sebanyak mungkin. Sehingga ketika ada peluang untuk mendapatkannya maka bukan tidak mungkin memanfaatkan kesempatan atau peluang tersebut. Kalau memang ada kesempatan itu kayaknya banyak orang punya peluang mencoba-coba. Tetapi hal itu tergantung kekuatan nilai yang mendukung dia.
Apapun persoalannya, kalau sejumlah nilai dan norma yang ada dalam hatinya menyangkut kesetiaan, kesucian, kekudusan hidup itu masih kuat maka dia masih memiliki daya tahan pengaruh dari luar.
Kalau itu sudah longgar maka bukan mustahil orang lalu mencari perhatian dan mencari jalan keluar di pihak lain. Kalau orang sudah dengan pihak ketiga maka orang itu sudah dalam kondisi anomi atau hilang pegangan, goyah kekuatan nilai.
Kebetulan saya pernah melakukan penelitian di daerah Oebelo, Kabupaten Kupang. Saya berani menyimpulkan batas toleransi dari selingkuh itulah perceraian. Artinya tidak bisa ditolerir lagi maka mereka bercerai. Kalau itu bisa ditolerir apakah masih bisa berjalan terus. Kasus yang saya teliti lebih banyak terjadi karena pengaruh pihak ketiga dalam arti banyak yang sudah membangun hubungan lain baru terjadi keributan keluarga akhirnya cerai.
Tingkat perselingkuhan di Kota Kupang dalam pandangan moral sangat parah. Saya pernah menjumpai seorang ibu yang sudah bercerai tujuh kali. Saya tidak tahu bagaimana pemahamannya. Artinya perceraian itu bukan hal yang luar biasa lagi. Kalau dahulu perceraian tidak mudah maka sekarang perceraian itu tidak sulit.
Karena ada sejumlah dampak yang sebenarnya berat ditanggung namun kini menjadi tidak terlalu berat. Sanksi sosial di masyarakat tidak memberi efek jera. Selain itu tidak ada kontrol yang kuat sehingga mereka tidak merasa kalau nanti bercerai tidak akan menanggung besar efek negatifnya. Semuanya itu terjadi anomi atau orang sudah hilang pegangan. Nilai-nilai moral itu sudah longgar sekali. (aly)