Semoga Kursi Tidak Jadi Patah
Pendidikan yang bermutu menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, tidak hanya aspek akademik, tapi juga aspek seni, olahraga, disiplin.
Penulis: Romualdus Pius | Editor: omdsmy_novemy_leo
POS-KUPANG.COM, ENDE - Pendidikan yang bermutu menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, tidak hanya aspek akademik, tapi juga aspek seni, olahraga, disiplin dan keterampilan.
HARI Jumat (17/6/2016), suasana di kompleks Sekolah Mengah Atas Katolik (SMAK) Syuradikara, Ende, lain dari biasanya. Pasalnya, di sekolah itu yang biasanya sunyi dari aktivitas mengingat para siswa di sekolah tersebut lebih konsentrasi belajar berubah menjadi hingar bingar musik.
Juga teriakan dan nyanyian yang dibawakan oleh gabungan para siswa dan siswi SMK dan SMAK Syuradikara, Ende.
Di lapangan bola SMAK Syuradikara para siswa sekolah itu unjuk kebolehan untuk membawakan teater yang kini menjadi trade mark sekolah tersebut. Pertunjukan di lapangan itu bertema, Teater Kursi Retak, adalah yang kedua setelah sebelumnya siswa di bawah arahan sutradara Pater Yohan Wadu, SVD, sukses membawakannya di Lapangan Pancasila, Ende.
Tentang alasan membawakan teater dengan tema Kursi Retak, Pater Yohan mengatakan, sebagai seniman, ia punya insting untuk merasakan apa saja yang indah, yang membuat batinnya tenang dan nyaman dengan sebuah keindahan.
Namun, untuk nyaman dengan keindahan yang dicari tidaklah mudah. Salah satu adalah tentang kursi yang sedang diduduki saat ini. Ada yang tidak indah di situ. Dalam teater itu kursi yang dimaksudkan bukan sofa! Atau kursi rotan dengan bantal sandaran yang nyaman.
Juga bukan tentang kursi kayu yang oleh perancang dirancang sebagai kursi santai untuk membaca berita koran lalu terlelap. Tidak! Kursi dalam teater tersebut adalah simbol tugas dan peran.
Sebagai seniman, ujar Pater Yohan, dia berperan untuk mencipta karya seni dengan menggunakan imajinasi dalam batas-batas yang diakui. Namun, di dalam imajinasi seni ini melekat juga tugas dan perannya sebagai imam Katolik untuk menggembalakan dan mewartakan Sabda Tuhan, sambil mempersembahkan doa untuk kebutuhan pribadi, juga doa dari dan untuk umat di altar Tuhan, demi kekudusan.
Dari sinilah, demikian Pater Yohan, muncul refleksi tentang kursi. Mengapa? Karena toh, ada umat yang mengeluh soal pelayanan sebagai pastor, ada umat yang mengeluh soal pewartaan yang tidak berbobot dan ada umat yang mengeluh karena cara-cara penggembalaan yang kasar, angkuh, tak mau mendengar, merasa hebat dan menjadi cepat marah jika cara-caraku dikritik.
Keluhan-keluahan ini, lanjutnya, adalah signal (baca: sinyal) pasti bahwa kursi yang sedang diduduki sebagai imam Katolik mulai retak! Retak karena tidak semua tugas itu gagal. Kalau patah berarti kursi itu tak layak pakai.
Selagi dia retak masih punya cukup waktu untuk memperbaiki karena masih terlihat utuh!
Refleksi tersebut hanyalah pengantar untuk kau apa pun kau saat ini. Karena, imajinasi ini mengatakan bahwa kau memang sedang duduk pada sebuah kursi. Kursi guru, pejabat, pemimpin agama, siswa/mahasiswa, pedagang, loper koran, pengamen, pemusik, tukang ojek, jurnalis, atau bahkan kursi untuk orangtua dan anak di dalam rumah. Semua punya tugas dan peran masing-masing.
Kekecewaan memuncak ketika yang terjadi adalah bukan hanya kursi-ku yang retak, tetapi dia yang kusapa dengan sebutan guru, hakim, para pejabat, siswa/mahasiswa, pedagang, orangtua dan anak di dalam rumah serta apa pun peran yang sedang kau jalankan saat ini, sedang bermain mata dengan kursi masing-masing.
Wajar jika terus ada pembunuhan, tidak ada toleransi, jalan-jalan tertentu penuh dengan batu karena tawuran, anak-anak muda pergi mencari kebebasan tetapi berlangsung sesaat, menyesatkan dan semu, masalah listrik dan air yang tidak selesai, hakim masih terus saja mau disuap, alam tak kunjung teduh karena hutan yang terus dibakar, kabut asap terjadi hampir setiap tahun.
Jangan bilang tidak mungkin kalau ibu pertiwi sebenarnya menangis. Dia menangis karena sudah terlalu banyak persoalan yang menggumpal di dalam kandungannya.
Sepatutnya saat ini, saat di mana Indonesia sudah berumur cukup uzur, ibu pertiwi tak pernah boleh lagi hamil tua. Nyatanya, tidak demikian. Dia justru masih mengandung ribuan persoalan karena kita tak sadar tentang tugas dan peran masing-masing.
"Inikah yang kita namakan merdeka? Saya sangka, tidak! Merdeka berarti bebas dari segala keterbelengguan. Selagi saya masih terbelenggu dengan kursi-ku yang retak, selama itu pula, Indonesia Hebat hanya sebatas slogan tanpa arti," tandas Pater Yohan.
Dia menegaskan, Teater Kursi Retak hanya mau menyadarkan tentang kau yang sedang duduk pada sebuah kursi! Ibu Pertiwi tidak mungkin hamil tua kalau kau sadar kursi apa yang sedang kau duduki saat ini.
Kepala Sekolah SMAK Syuradikara, Pater Stef Sabon Aran, SVD mengatakan, pada malam itu Syuradikara kembali mengggelar teater musikal , Kursi Retak setelah sukses di Lapangan Perse beberapa waktu lalu.
Hal ini, lanjutnya, merupakan salah satu wujud komitmen sekolah untuk menetapkan kegiatan non akademik secara proposional dalam proses kegiatan belajar mengajar.
Pater Stef menyatakan, pengembangan minat dan bakat peserta didik diperhatikan sungguh-sungguh di lembaga pendidikan ini, selain bidang akademik. Dalam proses pendidikan kedua bidang ini perlu dilaksanakan secara utuh.
Tidak boleh pincang. Artinya antara akademik dan non akademik sama-sama penting.
Pater Stef mengatakan, ketika seorang siswa dihadapkan pada dua pilihan, baik akademik maupun non akademik yang sama-sama penting, maka secara tidak langsung siswa diajarkan bagaimana mengelola waktu. Kalau pilihannya mau menjadi penyanyi lebih kuat, maka siswa tersebut harus kehilangan waktu untuk bermain handphone, facebook, bermain game dan lain-lain.
Sekolah dengan kegiatannya, demikian Pater Stef, selalu memberikan ruang bagi pengembangan prestasi non akademik peserta didik. "Ke depan kami terus mencari cara-cara lain agar kegiatan akademik dan non akademik saling menunjang dan berjalan beriringan. Karena pendidikan yang bermutu menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, tidak hanya aspek akademik, tapi juga aspek lain seperti seni, olahraga, disiplin dan keterampilan," katanya.
Album Syuradikara voice dan teater, lanjut Pater Stef, merupakan sarana yang disiapkan oleh sekolah untuk siswa. Mereka manfaatkan sarana ini untuk mengekspresikan potensi dan kemampuan di bidang seni, pembinaan karakter siswa.
"Saya sungguh mengapresiasi dengan para siswa yang telah memanfaatkan sarana ini dengan baik dan mau dibentuk, meski terkadang mengalami banyak kesulitan karena kehilangan banyak waktu untuk bermain pada usia seperti mereka," kata Pater Stef.
Pementasan teater ini dihadiri Ketua DPRD Kabupaten Ende, Herman Yoseph Wadhi, dan ratusan undangan serta siswa SMK dan SMAK Syuradikara,
Pada bagian akhir para pemeran sambil memegang bendera merah putih mengatakan bahwa saat ini kondisi bangsa Indonesia diibaratkan sebagai sebuah kursi retak.
Diharapkan agar kursi yang ada hanyalah retak tidak patah sehingga dengan demikian ada waktu untuk melakukan perbaikan di segala lini kehidupan sesuai dengan peran atau kursi yang sementara diduduki, baik pejabat eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun masyarakat umum. (romualdus pius)