Daur Ulang Phobia Komunisme
Keberhasilan untuk mendesak Soeharto melengserkan dirinya dari jabatan kepresidenan dianggap baru
Oleh Paul Budi Kleden, SVD
Rohaniwan Katolik, Tinggal di Roma
POS KUPANG.COM - Beberapa waktu setelah reformasi 1998, ada anjuran untuk menyatakan Partai Golongan Karya sebagai partai terlarang di Indonesia. Alasannya, karena partai ini telah menjadi bagian utuh represi yang dijalankan Presiden Soeharto. Pembebasan dari pembelengguan panjang oleh Soeharto dialami sebagai kesempatan untuk memberikan hukuman kepada semua yang dinilai menjadi aparat yang digunakannya.
Keberhasilan untuk mendesak Soeharto melengserkan dirinya dari jabatan kepresidenan dianggap baru akan lengkap apabila pilar-pilar utama yang menjadi pendukungnya pun dilumpuhkan. Termasuk di dalamnya adalah partai politik yang menjadi corongnya, yang hanya digunakan sebagai kamuflase untuk memberikan legitimasi bahwa ada demokrasi di Indonesia.
Namun, ternyata anjuran seperti ini tidak berhasil digulirkan. Dia hanya menjadi buah pikiran sebagian kecil orang dan tidak banyak dibicarakan secara publik. Dan ada baiknya seperti itu. Salah satu alasannya adalah, karena orang tidak menghendaki apabila Golkar mesti meneruskan sejarah pengkambinghitaman, seperti yang terjadi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) sejak tahun 1966. Pada masa itu, dengan mudah orang menyingkirkan para lawan politik dengan mempretelinya sebagai pengikut PKI.
Dengan argumen mensterilkan birokrasi dari semua kemungkinan infiltrasi PKI, orang menjatuhkan pesaing bagi putra-putri pejabat atau kenalan mereka yang hendak menduduki posisi tertentu. Pemberontakan warga karena ketidakadilan pembagian hasil pembangunan atau ketidakmerataan kesempatan untuk berpartisipasi, dengan mudah dipatahkan aparat karena diberi cap sebagai upaya perongrongan PKI.
Pernyataan protes karena para penguasa tidak memenuhi janji yang mereka sampaikan sendiri, dibubarkan paksa karena dicurigai didalangi oleh PKI sebagai kesempatan merancang aksi menggoyahkan penguasa. Para penyelenggara dan peserta demonstrasi melawan keputusan pemerintah yang sangat jelas memiskinkan warga, ditangkap dan diadili dengan tuduhan menggoncangkan pemerintah yang berkuasa.
Tulisan kritis tentang perilaku para pemimpin yang tidak sesuai dengan ideologi yang mereka ajarkan sendiri, dipaksa ditarik kembali dari publik dengan alasan mengancam ketertiban umum. Dan masyarakat yang sudah dididik dengan ketakutan akan monster PKI, memang dengan gampang menerima semua predikat PKI sebagai alasan yang sah untuk melakukan aksi militer atau sipil yang amat tidak adil terhadap sesama warga negara. PKI disebut sebagai bahaya laten yang terus mengancam, kendati dalam kenyataan yang terjadi adalah bahwa label PKI diletakkan di semua tempat sehingga dengan gampang digunakan untuk mendiamkan warga yang berpikir kritis terhadap rezim.
Orang menolak anjuran pembubaran Golkar dan pelarangannya, sebab orang berpandangan bahwa reformasi hanya menjadi pembaruan total apabila politik pembungkaman dengan menggunakan labelisasi yang pernah dijalankan oleh Orde Baru tidak lagi diteruskan. Bangsa yang belajar dari sejarah kelam represi ideologis mesti keluar sebagai bangsa yang memberi ruang untuk artikulasi idelogi yang jamak. Kita mesti menjadi bangsa yang semakin dewasa berdemokrasi, dan itu berarti menciptakan iklim kebebasan berideologi, seperti dijamin pula kebebasan beragama dan mempraktikkan ajaran agama.
Sekarang, 18 tahun setelah reformasi, kembali orang meneriakkan hantu PKI yang ditakuti bergentayangan di mana-mana. Lagi-lagi, mantan pejabat militer yang menjadi promotornya. Koalisinya adalah gerakan agama yang fundamentalistis. Ekstrem kanan ini didukung untuk meneriaki bahaya yang disebut datang dari ekstrem kiri. Persekongkolan aparat keamanan, militer dan gerakan fundamentalistis agama mendesak pelarangan berbagai kegiatan ilmiah, sosial dan kultural yang memang tidak mereka sukai, dengan menggunakan label PKI.
Kenyataan ini menjadi alasan untuk secara lebih sungguh membedah apa yang sebenarnya terjadi dalam sejarah PKI dan bagaimana peristiwa September 1965 dan tanggapan terhadapnya. Pembedahan yang serius akan menunjukkan entahkah telah terjadi satu proses halusinasi sistematis dan besar-besaran atas pandangan publik terhadap PKI. Patut disadari bahwa gambaran orang tentang PKI pasca September 1965, tidak terpisahkan dari reaksi sejumlah kelompok terhadap apa yang disebut sebagai pemberontakan PKI tersebut. Sebuah reaksi yang masif turut membentuk kesan orang bahwa apa yang ditanggapi memanglah sesuatu yang amat berbahaya. Lebih penting daripada pembongkaran kuburan massal adalah pembongkaran strategi yang digunakan untuk menekan kebebasan berideologi warga.
Biasanya, sebuah rezim totaliter menempuh dua cara untuk memberikan legitimasi atas keberadaannya. Pertama, dengan membuat pengawalan yang ketat atas penelitian dan penulisan sejarah. Salah satu hal yang paling ditakuti oleh sebuah rezim totalitarian adalah penelitian dan penuturan sejarah. Sebab itu, yang diizinkan untuk digali dan dikembangkan hanyalah versi sejarah tunggal yang dikreasi dan disebarluaskan oleh pemerintah. Pemerintah memiliki otoritas atas penelitian dan penulisan sejarah. Versi resmi adalah sejarah yang mendukung pemerintah.
Karena hanya kisah resmi seperti ini diperkenankan dituturkan di media massa dan diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan, maka generasi muda secara sistematis terpola dalam cara berpikir yang hanya merujuk pada versi tersebut. Penguasaan serta pemenjaraan daya pikir dilakukan dengan memonopoli penuturan sejarah. Upaya penguasa ini menuai sukses besar dalam lingkungan kebudayaan yang memiliki orientasi pada kepatuhan kepada para pemimpin.
Sebab itu, generasi muda yang dihasilkan oleh sistem pendidikan monolitik dalam nuansa seperti ini akan sangat sulit diyakinkan untuk menerima versi sejarah alternatif. Generasi seperti sulit menerima kisah sejarah yang lain.
Keganasan sebuah rezim berjalan searah dengan ketatnya seleksi yang dibuatnya atas kenangan kolektif. Pemerintah yang mengawali kekuasaannya dengan kekerasan hanya mengizinkan kenangan kolektif yang mengisahkan keburukan penguasa terdahulu yang memberinya legitimasi untuk mengambil alih kekuasaan. Pembunuhan atas para lawan politik dikisahkan sebagai tindakan heroik untuk menyelamatkan bangsa dari serangan musuh. Maka tidak heran, peristiwa pembantaian sejumlah besar warga tanpa melalui proses persidangan hanya karena mereka berbeda pandangan atau dicap berbeda pandangan dengan penguasa, dirayakan sebagai hari pembebasan bangsa dari ancaman yang mengerikan.
Kedua adalah dengan sebuah futurisme yang sistematis. Penguasa baru mencari cara untuk mengarahkan perhatian seluruh bangsa ke masa depan untuk pengalihan perhatian mereka dari pergumulan dengan masa lalu. Secara sistematis perhatian warga dijauhkan dari perdebatan tentang sejarah ke perjuangan hari ini untuk memperbaiki masa depan.