Piramida Pendidikan

Benar. Ini suara seorang counselor pendidikan. Secara psikologis, daya kreasi seorang anak akan

Editor: Dion DB Putra
zoom-inlihat foto Piramida Pendidikan
Net
Ilustrasi Guru Matematika

Catatan Hardiknas 2016

Oleh Willem B. Berybe
Mantan Guru, Tinggal di BTN Kolhua Kupang

POS KUPANG.COM - Setiap tanggal 2 Mei bangsa Indonesia merayakan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) dengan semangat dan gegap gempita aneka kegiatan. Di Kupang, ibu kota Provinsi NTT, pihak Dinas Dikbud Provinsi menampilkan sejumlah acara menyongsong Hardiknas 2016 antara lain lomba mewarnai yang diikuti 2.050 anak-anak usia sekolah dini (PAUD dan TK) se-Kota Kupang. Yang menarik, imbauan Kadis Dikbud NTT, Drs. Petrus Sinun Manuk, saat lomba berlangsung 'Biarkan anak-anak itu kreatif dan bisa mewarnai dengan baik. Tolong para orang tua atau wali yang mendampingi supaya jauh dari anak-anak' (Pos Kupang, 27/4/2016, hal.5).

Benar. Ini suara seorang counselor pendidikan. Secara psikologis, daya kreasi seorang anak akan tumbuh dan muncul dari dalam dirinya sendiri. Proses berkreasi butuh pemusatan perhatian (focus) dan jauh dari gangguan luar dan lingkungan sekitar. Hal lain yang menarik ialah obyek gambar yang diwarnai ialah salah satu Pahlawan Nasional asal NTT, Prof. Dr. WZ Johannes.

Anak diperkenalkan siapa tokoh NTT yang jadi pahlawan nasional itu sekaligus belajar Sejarah Daerah dan Nasional. Selanjutnya Ketua Panitia Hardiknas 2016, Aloysius Min, S.Pd, M.M mengatakan jumlah peserta lomba tahun ini lebih banyak dari tahun lalu berjumlah 1.500. PAUD dan TK merupakan lembaga formal tahap awal dalam proses pendidikan lingkup sekolah dasar (SD).

Oktober 2008, Gubernur dan Wakil Gubernur NTT saat itu, Drs. Frans Lebu Raya dan Ir. Esthon Foenay, hadir dalam sebuah acara dialog dengan sejumlah tokoh asal NTT di Jakarta. Kelompok Jakarta tampaknya sangat antusias menyoroti masalah mutu pendidikan di NTT. Dr. Daniel Dakidhae menegaskan, "Sebaiknya fokus pembangunan pendidikan di NTT ke depan adalah memperkuat dan meningkatkan mutu sekolah dasar (SD). Sebab dasar pendidikan yang baik akan sangat menentukan mutu pendidikan di tingkat atasnya" (Pos Kupang, 8/10/2008).

Pendidikan dasar (SD) sangat menentukan prospek kualitas peserta pendidikan selanjutnya. Jepang adalah contoh salah satu negara Asia yang sangat mengutamakan pendidikan sekolah dasar dalam program nasionalnya. Sekolah dasar kita tempo dulu yang disebut S.R. (Sekolah Rakjat) dinilai bagus dan bermutu. Kualitas lulusan mencerminkan kemampuan intelektual seorang tamatan SR. Cuma tiga mata pelajaran yang diuji pada ujian akhir kelas VI yaitu Bahasa Indonesia, Berhitung, dan Pengetahuan Umum.

Ketiganya sudah cukup menggambarkan mutu, potensi, dan prospek pengembangan intelektualitas jenjang berikutnya. Tanpa kurikulum yang hebat seperti sekarang dimana aspek kognitif, afektif dan psikomotor diimplementasikan secara sistematis, terstruktur dan bersifat nasional, ketiga aspek tersebut sudah terkristal dan tercermin dalam diri output SR di mana pun mereka melanjutkan sekolahnya.

Sekalipun pandangan tentang mutu pendidikan (output) dewasa ini sangat terbuka dan menyeluruh (komprehensif) artinya tidak menopoli aspek kognitif semata hendaknya tidak dipahami tak perlu bersusah payah untuk belajar aspek kognitif (akademik) cukup psikomotor, seperti berolahraga, bermusik, memasak, dsbnya.

Ada pemikiran praktis yang menyesatkan kalau anak saya sudah masuk SD, "otomatis" 6 tahun kemudian sudah mengantongi ijazah. Tak peduli seberapa kemampuan (kompetensi) membaca, menulis, berhitung (matematika) setelah dia tamat dan lulus. Pandangan Johanes Müller tentang pendidikan sangat tepat. Hakekat pendidikan memiliki dua sisi yaitu hak dan kewajiban.

Hak untuk mendapatkan pelajaran dan kewajiban berupa "belajar". Tidak cukup hanya hak untuk mendapatkan pelajaran (hak bersekolah) lalu mengabaikan kewajiban untuk belajar. Belajar berarti "berusaha" mengejar dan mencari ilmu. Seorang anak dari ujung barat Kabupaten Manggarai Barat (daratan) tepatnya di Matawae setelah tamat SMP tempo dulu berani mencari dan mengejar ilmu hingga di SGA Ndao, Ende. Tahu, berapa jaraknya? Beratus-ratus kilometer. Bayangkan sama dengan setengah pulau Flores. Bagaimana perjalanan kala itu?

Berhari-hari jalan kaki, naik kuda, naik oto (truk) untuk bisa sampai di Ende. Pada akhirnya sang alumnus SGA Ndao tersebut menjadi bintang pengajar di Seminari Kisol bertahun-tahun dan telah menghasilkan banyak lulusan Seminari Kisol yang berkualitas, baik yang menjadi imam maupun tidak.
Tujuan sekolah ialah bersekolah dan belajar. Kehadiran siswa di sekolah menuntut hak dan kewajiban tersebut. Namun sering dijumpai hak untuk mendapatkan pelajaran di sekolah tidak sebanding dengan kewajiban (belajar), baik di sekolah maupun di luar. Hadir di sekolah (kelas) sudah cukup. Tak penting apakah ada "sesuatu" yang dicapai dalam proses pembelajaran?

Johanes Müller menegaskan lagi dalam buku Pendidikan; Kegelisahan Sepanjang Zaman (hal:133) bahwa "Pendidikan menuntut minat, prakarsa sendiri, dan banyak jerih payah. Hak atas pendidikan mengandung kewajiban untuk belajar berdasarkan tanggung jawab terhadap diri sendiri maupun terhadap masyarakat".

Membangun SD bermutu di NTT berarti berusaha mencapai hasil mutu lulusan. Dalam konsep 'piramida pendidikan' berlaku proyeksi mutu siswa (murid). Sebuah sekolah yang rombongan belajarnya semakin besar, maka semakin besar pula risiko dan konsekuensi dalam mengelola, mengontrol, dan penanganannya. Karena itu, prinsip makin tinggi kelas jumlah siswa makin kurang sebagai konskuensi proses kualifikasi (penyaringan), naik kelas, yang ketat berdasarkan peraturan dan ketentuan Kemendikbud dan sekolah yang berlaku dengan prinsip realistis, objektif dan berkeadilan. Anak yang bagus prestasinya (rata-rata) tidak disamakan saja dengan anak-anak lain yang tidak menunjukkan kemajuan usaha dan hasil belajar.

Konsep non multa sed multum, bukan kuantitas tetapi kualitas, diberlakukan. Pola ini sudah standar bahkan bersifat tradisi di lembaga pendidikan tertentu seperti seminari-seminari. Meski pandangan ini di era globalisasi, transparan, dan holistik boleh jadi dianggap terlalu mutlak, ekstrem, hitam-putih, dan 'kejam' namun anak juga harus sadar dan dituntut untuk belajar dan kerja keras selama ia mengikuti tahun-tahun proses pembelajaran di sekolah.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved