J.S.Badudu dan Bahasa Indonesia

Fenomen yang menarik yaitu bahwa Bahasa Indonesia tidak lahir dari salah satu dialek bahasa daerah

Editor: Dion DB Putra
(ANTARA FOTO/Agus Bebeng/foc/16.)
Jenazah pakar bahasa Indonesia dan Guru Besar Linguistik, Prof. Dr. Jusuf Syarif (J.S) Badudu siap diberangkatkan ke Taman Makam Pahlawan usai disalatkan di masjid Universitas Padjadjaran Bandung, Jawa Barat, Minggu (13/3/2016). JS Badudu yang lahir 19 Maret 1926 di Gorontalo meninggal dunia pada Sabtu 12 Maret 2016 pukul 22.10 di Rumah Sakit Hasan Sadikin. 

Oleh Felix Baghi SVD
UST Manila

POS KUPANG.COM - Nama Jusuf Sjarif Badudu (J.S Badudu) telah dikenal sebagai pakar Bahasa Indonesia, ahli linguistik dan ia telah menerbitkan Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) yang terkenal itu.

Kita bersyukur bahwa salah satu butir perekat bangsa dan negara kita serta seluruh rakyat Indonesia adalah Bahasa Indonesia, dan Pemerintah telah melegitimasi Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Dari tiga ratusan bahasa daerah dan dialek yang tersebar di seluruh pelosok tanah air, kita akhirnya memiliki konsensus nasional untuk menggunakan satu bahasa yaitu Bahasa Indonesia.

Fenomen yang menarik yaitu bahwa Bahasa Indonesia tidak lahir dari salah satu dialek bahasa daerah yang mayoritas digunakan di Indonesia. Bahasa Indonesia adalah puncak kebudayaan dan sari pati yang bersifat egaliter dari seluruh dialek yang dipakai di Indonesia.

Secara historis, sejak tahun 1928, Bahasa Indonesia telah disadari sebagai lingua Franca-Melayu, yang proses legitimasinya telah terjadi dan hingga kini masih tetap diakui dan disahkan sebagai satu-satunya bahasa nasional, meskipun dari tahun ke tahun ejaannya selalu disempurnakan. Dalam dunia bahasa, kita masih ingat hukum EYD atau hukum "Ejaan Yang Disempurnakan", dan hukum ini dikenal sebagai prinsip dasar untuk mengerti perkembangan Bahasa Indonesia.

Untuk hal ini, kita bersyukur bahwa negara telah memberi tempat bagi Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Dan lebih lagi, kita berterima kasih kepada para pakar bahasa yang telah mengorbankan seluruh waktu dan hidup mereka untuk berpikir dan memberi pertimbangan secara profesional tentang keberlangsungan Bahasa Indonesia.

J. S. Badudu, yang barusan dipanggil Tuhan pada hari Sabtu, 12 Maret yang lalu, adalah pakar Bahasa Indonesia, yang namanya tidak bisa dilupakan begitu saja. Sejak tahun 1970-an, dia adalah salah satu ahli linguistik, yang bersama Dr. Goris Keraf bersama teman-temanya, dengan sangat setia menjaga bahasa Indonesia dan selalu memberikan kajian-kajian linguistik yang amat berarti di pusat pengembangan Bahasa Indonesia.

Bahasa adalah jembatan kepada dunia. Bahasa menghubungkan realitas pikiran, dunia batin, kesadaran diri dengan dunia luar. Di atas semuanya, bahasa adalah indikasi tentang kodrat manusia sebagai "makhluk yang berbudi bahasa". Manusia berbicara. Manusia berbahasa. Dengan berbicara, manusia menghadirkan sesuatu melalui bahasa. Di sini ada baiknya kita pertimbangkan kembali tentang kodrat manusia sebagai "anima rationale", yang kalau dirunut kembali ke alam pemikiran Yunani, akan membawa kita kepada "logos", yang sudah sering dimengerti sebagai "ratio, Verbum, diskursus, kata atau Sabda".

Sesungguhnya, "logos" bisa dimengerti dalam terang "speech-act" yang bertujuan untuk menghadirkan sesuatu lewat bahasa. Dalam dunia filsafat bahasa, kita kenal tentang "discourse" sebagai artikulasi konfigurasi kesanggupan manusia untuk melukiskan hubungan antara realitas pikirannya dengan realitas dunia luar.

Discourse
"Discourse" bukan "kata". Maknanya lebih luas dari sekedar sebuah makna leksikal. Makna pertama yang bisa dipetik dari "discourse" dapat disimak ketika manusia mulai berbicara lewat kalimat-kalimat sebagai unsur linguistik yang lebih kompleks. "Discourse" lebih kompleks karena ia mengandung unsur makna predikatif yang berkoordinasi dengan unsur subjek. Justru lewat "discourse" inilah, kita mengerti makna bahasa sesungguhnya sebagai jembatan kepada dunia.

Saya kira para pakar bahasa tidak berkeberatan kalau bahasa sebagai "discourse" bisa dimengerti dalam konteks hermeneutika sebagai berikut ini: "seseorang mengatakan sesuatu tentang sesuatu kepada orang lain". Dari sini kita simak tiga hal penting. Pertama, "seseorang berkata".

Pada saat manusia berbicara atau berkata-kata, ia menghadirkan sesuatu. "A speaker makes something happens". Lewat kalimatnya kita mengerti bahwa ia sedang menyampaikan sesuatu. Inilah yang dimaksudkan oleh J. L Austin sebagai "speech-act", aktus berbicara yang mengandung kekuatan konstitutif untuk menyampaikan suatu maksud. Setiap tindakan berbicara selalu mempunyai dampak tertentu.

Kedua, "tentang sesuatu". Bahasa selalu mempunyai referensi dan referensi itu memberi kita indikasi "tentang sesuatu". Bahasa membawa kita kepada suatu realitas yang digambarkan oleh bahasa itu. Bahasa menghadirkan sesuatu.

Ketiga, "kepada seseorang". Hal ini menggambarkan unsur komunikasi dalam bahasa. Ketika kita berbicara, pembicaraan kita selalu kepada seseorang. Dalam berbicara, kita memiliki rekan pembicara, dan perlu diketahui bahwa rekan pembicara di sini bersifat luas. Singkatnya, dalam berbicara, kita menggunakan bahasa sebagai mediasi tiga rangkap: manusia dengan dunia, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan diri sendiri. Hubungan manusia dengan dunia disebut referensi. Hubungan manusia dengan sesama adalah komunikasi, dan hubungan manusia dengan diri sendiri adalah refleksi.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved