Peran AMDAL dan Proyeksi Pembangunan Kota Kupang
Terang saja, selain sebagai Ibu Kota Negara, Kota Jakarta marupakan salah satu lahan urban
Industri pariwisata juga turut dijadikan sebagai salah satu andalan dalam alat peningkatan PAD Kota Kupang (Renstra Kota Kupang, 2013). Selain itu juga pariwisata menjadi menarik untuk dibahas karena kompleksitasnya. Pariwisata tidak hanya sekadar melakukan perjalanan ke suatu tempat dan sebagainya, bukan juga hanya tentang devisa. Di dalamnya juga terdapat pertarungan antarkelas. Salah satunya yang paling umum adalah persaingan antara pelaku usaha mikro yang dijalankan oleh masyarakat host (bermukim di area destinasi) yang mewakili kelas bawah, dengan pelaku usaha makro yang dijalankan oleh NGO (non government organization) dalam hal ini para investor (berasal dari luar) yang bisa dibilang mewakili kelas atas.
Jika ditimbang dari sisi pemangku kepentingan, dua entitas ini sama-sama mempunyai hak yang sepadan sebagai stakeholder. Namun siapakah yang paling mendominasi dan yang didiskreditkan, itulah yang perlu dibahas mendalam. Isu tentang persaingan keduanya juga menjadi isu yang paling sering diangkat dalam studi pariwisata di berbagai belahan dunia.
Pembangunan akomodasi yang berlabelkan privatisasi sangat sering dijumpai di sebuah destinasi wisata.
Masalah substantif yang kemudian dikhawatirkan dari pelemahan terhadap kajian AMDAL adalah kecolongan. Takutnya pembangunan infrastruktur ini akan menjadi salah diinterpretasikan. Tujuan peningkatan ekonomi akan menjadi ambigu jika pada realitasnya kelak yang akan diturutsertakan jenis kegiatan yang kepentingannya justru berbanding terbalik dengan tujuan mulia Pemerintah tersebut. Sebut saja bangunan yang tujuannya privat, yang kemudian akan melemahkan sektor ekonomi mikro. Hanya karena bermodalkan membayar pajak dan dapat menyerap tenaga kerja yang perbandingannya 1 dari 50 orang, dinilai kompeten untuk diloloskan dari regulasi.
Bukan mau menyalahkan pemerintah, saya hanya mau mengingatkan bahwa memang pada umumnya masalah seperti ini awalnya lahir dari perizinan. Mungkin karena keterbatasan standar yang dipakai dalam menyusun regulasi, yang kemudian malah menjadi bumerang. Kurangnya standar yang dugunakan dalam menentukan izin usaha dapat menyebabkan perusahaan-perusahaan kapital ini melenggang dengan bebasnya.
Belum lagi saat ini kita sedang berada dalam situasi AEC (Asean Economic Community), yang membuka peluang seluas-luasnya bagi orang asing untuk berinvestasi di Tanah Air.
Jika melihat ke belakang, kita bisa mengambil contoh Bali sejak gencarnya praktek industi pariwisata, yang kemudian menjadikannya sebagai destinasi wisata unggulan di Indonesia.
Universitas Udayana mencatat pada tahun 1966 ada sekitar 2.150 wisatawan asing berkunjung ke Bali. Namun setelah dibangunnya bandara internasional dua tahun setelahnya, jumlah angka kunjungan bertambah drastis (MacRae, 1992). Picard (1993) mencatat dalam waktu 20 tahun, dari tahun 1969 sampai tahun 1989, angka turis asing yang berkunjung mencapai 436.000 dari 11.000.
Sampai saat ini pertumbuhan industri pariwisata di sana mempunyai dampak ekonomi yang luar biasa bagi PAD maupun devisa Negara. Namun di satu sisi tidak sedikit penduduk lokal (indigenous people) yang dirugikan dengan fenomena ini. Selain persaingan ekonomi, kulturisasi akibat aktivitas pariwista berpeluang mendegradasi budaya lokal, untungnya pemerintahnya cukup peka terhadap masalah ini sehingga ada kebijakan tertentu yang kemudian membatasi mobilitas budaya asing.
Selain itu, pengaruh Tri hita karana, yakni menjaga hubungan yang serasi dan selaras antara manusia dan lingkungannya masih dipegang teguh rakyatnya.
Beranjak dari sana, saya harap hal ini bisa menjadi bahan refleksi bagi kita semua. Bahwa pada dasarnya tujuan pembangunan adalah rakyat itu sendiri. Pembangunan tidak selalu harus fisik, kalau pada akhirnya bisa mengangkat harkat dan martabat rakyat. Lagi-lagi hubungan yang simbiotis-mutualis menjadi sagat diperlukan dalam perjuangan membangun daerah, khususnya Kota Kasih ini.
Tujuannya adalah untuk mengindari kesenjangan antara pemerintah dan rakyat sekalipun itu hanya suatu entitas masyarakat tertentu. Menjalankan pemerintahan tidak ada istilah mngorbankan suatu kepentingan yang tergolong kecil demi kepentingan yang lebih besar. Kalaupun terpakasa demikian, setidaknya si pemegang kepentingan kecil ini juga berhak mendapatkan benefit darinya, sembari diberikan pengertian yang logis dan berasa nasionalisme. Inilah yang disebut dengan win-win solution.
Peran AMDAL sebagai prosedur dasar dalam pembangunan fisik, baik itu gedung maupun infrastruktur, sangat berdampak bagi kesejahteraan masyarakat yang terlibat. Analisa yang dibangun tidak cukup jika hanya menggunakan satu sudut pandang, namun perlu dibuka seluas-luasnya bagi pemikiran yang lebih banyak lagi. Anggapan bahwa AMDAL hanya dilakukan untuk menganalisa lingkungan fisik adalah sangat keliru. Penggunaan AMDAL juga mencakup kehidupan sosial, budaya, serta ekonomi masyarakat setempat.*