Gus Dur, Tasawuf dan Toleransi

Gus Dur, bagi sebagian pengagumnya, adalah sosok Sufi (pengamal tasawuf) dengan kadar

Editor: Dion DB Putra
zoom-inlihat foto Gus Dur, Tasawuf dan Toleransi
ANTARA
Gus Dur (kanan)

Oleh Munawar Amin Ma'ruf
Pemerhati Masalah Sosial Keagamaan

POS KUPANG.COM - KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dalam artikelnya yang ditulis tahun 2003, mengatakan, "Yang dimaksud dalam peristilahan 'Natal' adalah saat Isa Al-Masih dilahirkan ke dunia oleh "perawan suci" Maryam.

Natal, dalam kitab suci Al-Qur'an disebut sebagai "yauma wulida" (hari kelahiran, yang secara historis oleh para ahli tafsir dijelaskan sebagai hari kelahiran Nabi Isa, seperti terkutip: "Kedamaian atas orang yang dilahirkan (hari ini)" (salamun yauma wulid) yang dapat dipakaikan pada beliau atau kepada Nabi Daud. Sebaliknya, firman Allah dalam surat al-Maryam: "Kedamaian atas diriku pada hari kelahiranku" (al-salamu 'alaiyya yauma wulidtu) (KH. Abdurrahman Wahid, Harlah, Maulid dan Natal, 2003).

Gus Dur, Seorang Sufi
Gus Dur, bagi sebagian pengagumnya, adalah sosok Sufi (pengamal tasawuf) dengan kadar keislaman yang melampaui batas-batas formalisme. Dalam berislam, Gus Dur lebih memilih sisi substansi ketimbang bentuk. Tasawuf adalah corak keberagamaan Islam yang memberikan ruang batin lebih dominan ketimbang lahir.

Pengamalan keagamaan dengan corak tasawuf lebih mengedepankan keterhubungan antara manusia dengan Tuhannya yang lebih dekat, melampaui sekat-sekat formalisme. Karenanya, tingkat penerimaannya terhadap yang berbeda-beda di luar sana juga lebih fleksibel.

Tasawuf menjadi pembeda dengan ekspresi keagamaan Islam lain yang legalistik, formalistik atau bahkan skripturalistik; sebuah artikulasi keislaman yang doktrinal, hitam putih sehingga cenderung intoleran terhadap orang lain dalam ekspresinya, bahkan di internal Islam sendiri. Menurut Kautsar Azhari Noer (2008), "isi lebih toleran ketimbang kulit".

Baginya, tasawuf adalah pengajaran isi atau inti agama yang tidak tersekat kaku oleh ruang hitam-putih atau halal-haram. Ajaran yang tanpa sekat inilah yang diyakini akan menjadi tali perajut bagi toleransi dan perdamaian dunia.

Pada 2007, The WAHID Institute bahkan pernah melakukan penelitian yang berkesimpulan bahwa "tasawuf adalah tenda besar kedamaian". Itu sebabnya, perspektif tasawuf menjadi penting untuk merawat toleransi. Pertanyaannya, tasawuf seperti apa yang akan menghantarkan pada toleransi dan perdamaian sesungguhnya?

Secara umum, ajaran dan tipe tasawuf mengajarkan penghargaan pada makhluk Allah Swt, entah apa latar belakang agama, status sosial, suku dan sebagainya. Secara khusus, biasanya ajaran tasawuf dengan dosis tinggi (yang tidak lagi akhlaqi, melainkan falsafi) yang lebih menggiring pada toleransi dan perdamaian.

Humanisme Universal
Habib Luthfi bin Yahya, Rais 'Aam Jamiyyah Ahluthariqah Al Mu'tabarah Al Nahdliyyah (sebuah perkumpulan Ahli Traiqah dan Pengamal Tasawuf dalam Organisasi Nahdlatul Ulama/NU), pernah menyatakan bahwa "Jika sulit mencari alasan untuk menghormati pemeluk agama lain, maka alasan bahwa dia ciptaan Allah SWT saja sudah cukup".

Pernyataan tersebut juga erat kaitannya dengan toleransi antar umat beragama dari perspektif Islam, di mana sebenarnya Islam menyediakan banyak ruang bagaimana cara merawat toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Ruang-ruang itu, sepenuhnya bersumber dari Al Qur'an dan Al Sunnah, yang diekspresikan dalam nalar dan sikap sekaligus.

Dalam keyakinan dan nalar Islam, Allah SWT adalah Pencipta Segala Sesuatu. Alam semesta dan seisinya berasal dari Allah Yang Satu, dan itu bermakna bahwa manusia adalah satu. Humanisme Islam kemudian menjadi bersifat universal. Itulah nalar Islami yang paling utama, kaitannya dengan toleransi.

Manusia diciptakan dan dihidupkan dalam satu kesatuan penciptaan, namun tidak lagi dalam satu kelompok tunggal dalam manifestasinya. Manusia tidak lagi menjadi umat yang satu, melainkan menjadi banyak umat/kelompok masyarakat. Meski demikian, harus dinyatakan bahwa manusia tetaplah ciptaan Allah SWT.

Allah SWT berfirman, "...Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah kamu sekalian dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu" (Surat Al Maidah:48)

Secara lebih tegas, Allah SWT menyatakan, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved