Krisis Listrik di NTT: Borok Kronis yang Sengaja Dipelihara?

Sejak saat itu kerusakan mesin-mesin pembangkit listrik di Kupang dan sistem Timor maupun Flores menjadi

Editor: Dion DB Putra
istimewa
Kapal listrik Karadeniz Powership Zeynep Sultan yang didatangkan Manajemen PT PLN dari Turki. 

Oleh Fary Dj Francis
Anggota DPR RI

POS KUPANG.COM - Jengkel, gemas, dan kecewa bercampur aduk ketika mengetahui turbin PLTU 2 Bolok terbakar lagi. Penyebabnya, menurut pihak PLN, begitu sederhana, karena hujan. Ini mengingatkan kita pada kejadian-kejadian sebelumnya sejak tahun 2012 yang lalu.

Sejak saat itu kerusakan mesin-mesin pembangkit listrik di Kupang dan sistem Timor maupun Flores menjadi lumrah bagi para pelanggan PLN di NTT. Meski gusar pelanggan harus sabar karena PLN hanya punya resep minta maaf mesin rusak. Mau bilang apa lagi?

Ketika saya mengunjungi PLTU 2 NTT dan bertemu dengan manajemen PLN wilayah NTT terungkap setidaknya tiga alasan mendasar pemadaman rutin di NTT. Alasan-alasan tersebut adalah administrasi, kebijakan, dan teknis. Dari aspek administrasi PLN menghadapi kendala rekomendasi dan perizinan, terutama pemanfaatan kawasan konservasi seperti halnya di Nonohoni di Timor; jalur Bajawa-Ropa dan Ruteng-Labuan Bajo di Flores. Kendala administrasi lainnya adalah munculnya tuntutan kabupaten atas royalty dari pihak PLN. Hal mana dapat dijembatani dengan mengintensifkan koordinasi dengan pemerintah daerah sehingga sama-sama dapat tiba pada sebuah pemahaman yang komprehensif dan holistik. Tentu, dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini.

Dari sisi kebijakan PLN mengeluhkan dukungan anggaran dari APBN yang menunjukkan trend menurun dari tahun ke tahun sejak 2011. Sebagai contoh, pada tahun 2011 PLN NTT mendapat pagu anggaran dari APBN sebesar Rp 198.546.251.000 yang kemudian menurun menjadi Rp 129.996.830.000 pada tahun 2013 dan mengalami dukungan paling rendah sebesar Rp 96.554.067.000 pada tahun 2014.

Dilihat dari logika 'usaha' hal ini wajar karena pada tahap awal memang dibutuhkan dana yang besar untuk investasi, dengan asumsi bahwa tahun-tahun berikutnya lebih untuk menutup defisit dana operasional, yang seharusnya sudah dipenuhi sendiri oleh PLN. Kenyataannya tidak demikian, permintaan dukungan dana dari APBN justru melonjak terus dari tahun ke tahun.

Sedangkan mengenai kendala teknis, PLN seringkali mengeluhkan sulitnya mendapat dukungan masyarakat yang lahan atau propertinya dilewati oleh sarana-prasarana instalasi listrik. Hal itu mengakibatkan tersendatnya pekerjaan dan mengganggu jaringan distribusi termasuk Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 70Kv seperti yang ditemukan di Kabupaten TTS.

Saya yakin, daftar keluhan PLN NTT bisa jadi lebih panjang daripada yang dapat mereka ungkapkan dalam pertemuan yang singkat pada 2 Desember 2015 itu. Sayangnya, kami harus lekas-lekas bubar karena ada insiden kebakaran turbin seperti yang saya singgung pada awal curhat saya ini. Ternyata tidak hanya kita pelanggan yang mengeluh.

Akhirnya semua mengeluh, kesal, jengkel, marah, bahkan sampai demo ke PLN. Pemerintah daerah menuntut PLN tingkatkan kinerjanya, DPRD menekan PLN untuk memberikan pelayanan publik terbaik, sementara pelanggan yang pada awal-awalnya lekas menghujat dan memaki-maki karena sudah bosan, akhirnya 'nrimo' dan saat ini mulai membiasakan diri untuk menikmati kegelapan. Apakah tidak ironis?

Mari berandai-andai dengan mengajukan tesis berikut. "Jika semua keluhan tadi teratasi, maka kinerja PLN menjadi lebih baik dan tidak ada lagi pemadaman atau setidak-tidaknya pemadaman tidak lagi serutin saat ini." Siapa yang berani memberikan jaminan dan kepastian? PLN, Pemerintah Pusat dan Daerah, ataukah pelanggan?

Saya ingin mengajak kita semua untuk memandang kasus Krisis Listrik di NTT ini secara lebih obyektif dan holistik. Seumpama penyakit, maka krisis ini sudah seperti wabah, borok yang sangat mengganggu dan membahayakan kehidupan semua orang dan komponen masyarakat. Krisis listrik di NTT boleh disebut Kejadian Luar Biasa (KLB) oleh karena skala intensitas maupun dampaknya yang sangat masif dibandingkan di daerah lain di Indonesia. Setidaknya sudah hampir 5 tahun terakhir ini 'penyakit' tersebut berulang dan terus berulang secara berkepanjangan.

Kita semua ingin sembuh, dan untuk itu tentu kita tidak cukup hanya menghujat dokternya terus-terusan. Demikian pula dokternya, tidak hanya mengeluh dan mengeluh. Dibutuhkan kerja sama antara dokter dan pasien untuk mempermudah dan mempercepat penemuan 'resep' yang tepat dan pas. Tepat bagi dokter dan pas untuk si pasien. Dalam semangat inilah saya meluangkan waktu menemui General Manager PLN Wilayah NTT dan jajarannya beberapa waktu lalu.

Alasan dan motivasinya sederhana saja. Saya warga Kota Kupang yang juga mengalami krisis listrik, sama seperti warga lain di kota ini. Suatu ketika saya mendengar kabar bahwa PLN berencana meningkatkan kapasitas dan mengoperasikan PLTU 2 NTT (2 X 16,5 MW), tetapi mengalami kendala dan menjadi berlarut-larut karena PLN belummendapatkan persetujuan prinsip pemasangan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP) yang ditetapkan oleh Direktur Kenavigasian Dirjen Perhubungan Laut di Kementerian Perhubungan RI.

Setelah meminta penjelasan GM PLN NTT terungkap bahwa Dirjen Hubla meminta 5 unit SBNP, sementara hasil verifikasi lapangan hanya dibutuhkan 3 unit SBNP. Sekian lamanya, pihak PLN NTT hanya menanti dan terus menanti revisi surat persetujuan prinsip yang tak kunjung datang tersebut. Saya sangat beruntung bisa mengetahui kendala ini, sehingga bisa segera mengurai kebuntuan tersebut dengan menelusuri jejaknya ke Kementerian Perhubungan.

Beberapa hari kemudian, izin prinsip itu pun saya terima dari Kemenhub RI dan langsung diserahkan kepada Direktur PLN Wilayah Sulawesi dan Nusa Tenggara pada 2 Desember 2015, di Kupang. Mengapa di Kupang dan melibatkan Direktur PLN Wilayah Sulawesi dan Nusa Tenggara?

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved