Corporate Social Responsibility (Bagian Kedua)
Nah, inilah pertanyaan yang saya tunggu. Tulisan saya yang pertama tidak bilang bahwa
Oleh Theodorus Widodo
Wakil Ketua Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) NTT
POS KUPANG.COM - Seorang sohib dari jauh kirim Whatsapp dengan nada protes sesudah baca artikel CSR saya yang pertama. "Kau omong gampang teman. Contohmu itu, korporasi-korporasi besar yang duitnya banyak. Bagaimana dengan kitorang pedagang toko yang modalnya kecil begini?"
Nah, inilah pertanyaan yang saya tunggu. Tulisan saya yang pertama tidak bilang bahwa kegiatan amal itu bukan CSR. Kegiatan amal juga bagian dari CSR asalkan amal itu juga mendatangkan manfaat bagi perusahaan.
Konkretnya Begini
Sebagai pemilik toko, Anda pasti sering didatangi orang untuk minta bantuan. Soal jadi beri atau tidak, itu perkara lain. Soal Anda pelit atau tidak. Itu urusan lain. Tapi yang pasti, Anda sering didatangi, kan? Yang jadi pertanyaan, apakah manfaat yang Anda harapkan ketika Anda memberi?
Kalau harapannya hanya semoga Tuhan mencatat pemberian Anda supaya Anda masuk surga dan toko Anda tidak perlu mendapatkan manfaat dari pemberian itu, maka pemberian itu bukan CSR. Pemberian itu adalah derma, kolekte, infaq atau shadaqah. Hanya Tuhan, Anda dan si penerima bantuan yang perlu tahu. Orang lain, farek. Tapi ketika Anda memberi dan berharap ada manfaat bagi perusahaan, sekecil apa pun manfaat itu, maka pemberian itu adalah bagian dari CSR.
Pertanyaan berikut. Apa manfaat yang diharapkan dari pemberian itu? Dengan memberi sesuatu kepada suatu komunitas tertentu, toko Anda akan terkesan baik bagi komunitas itu. Maka anggota komunitas akan lebih suka belanja di toko Anda ketimbang di toko lain. Anda mendapatkan keuntungan dari pemberian itu. Salahkah pemberian dengan harapan seperti ini? Tidak. Perusahaan termasuk toko adalah badan usaha yang mesti cari untung. Bahasa kerennya ini adalah badan usaha yang butuh profit.
Contoh lain. Kerja gotong royong membersihkan lingkungan di kelurahan. Kerja gotong royong ini akan memberi kesan bahwa Anda peduli pada lingkungan di mana Anda berada. Dengan berada bersama saudara-saudara sekelurahan membersihkan lingkungan, Anda menjadi bagian dari mereka.
Maka Anda dan warga kelurahan akan lebih akrab dan otomatis mereka lebih suka belanja di tempat Anda ketimbang di tempat lain. Dengan mengharapkan manfaat seperti ini, maka kerja gotong royong adalah bagian dari CSR. Tapi ketika Anda mengirim amplop untuk turut membiayai kegiatan bersih-bersih lingkungan, apalagi dengan pesan kepada pak lurah untuk tidak mengumumkan sumbangan Anda, maka ini bukan CSR.
Ini adalah derma, kolekte, infaq atau shadaqah. Anda boleh berharap masuk surga dengan pemberian itu, tapi jangan berharap ada keuntungan buat perusahaan atau toko Anda.
CSR harus berbasis tiga P. People atau masyarakat termasuk karyawan perusahaan sendiri; Profit atau keuntungan bagi perusahaan; dan Planet atau bumi yang berarti lingkungan. Kegagalan pada salah satu P akan berimplikasi kerugian pada perusahaan yang bisa fatal.
Contoh. Kegagalan perusahaan pembuat sepatu Nike Inc pada P pertama CSR atau People yang dalam hal ini karyawannya sendiri di tahun 1997. Salah satu kontraktornya di Indonesia bersikap semena-mena terhadap karyawannya. Nike yang sudah jadi gaya hidup di masa itu adalah produsen sepatu berkelas dunia yang dipakai kelompok masyarakat papan atas termasuk para selebriti dunia dengan harga per pasang tidak kurang dari 100 dollar US.
Perusahaan ini bersedia membayar Michael Jordan 20 juta dollar dan Andre Agassi 100 juta dollar untuk kontrak iklan selama 10 tahun. Begitu pula gaji dan bonus bos Nike Inc, Philip H. Knight yang luar biasa besar, 864.583 dollar dan 787.500 dollar pada tahun 1995. Ironisnya, kepada karyawan pabrik kontraktor Nike di Indonesia yang mampu memproduksi 100 pasang sepatu sehari, mereka hanya dibayar 2.46 dollar US per hari.
Ini ditambah perlakuan buruk yang dialami karyawannya yang menyimpang dari aturan hubungan industrial seperti mempekerjakan anak di bawah umur, lembur dibayar tidak semestinya dan sebagainya.
Kondisi ini tercium oleh wartawan dan diberitakan. Akibatnya protes datang dari seantero dunia, terutama oleh masyarakat di Beaverton, "Nike Town" dekat Portland, kantor pusat Nike di negara bagian Oregon Amerika Serikat. Protes yang masif terjadi bukan saja di Portland, tapi juga di San Fransisco, Manhattan, Tallahese dan kota besar lain di Amerika Serikat.
Gerakan boikot Nike ini benar-benar menjatuhkan pamor Nike. Sanggahan oleh management Nike tetap saja tidak bisa diterima. Akibatnya orang tidak mau membeli sepatu Nike yang mengakibatkan kerugian luar biasa besar pada perusahaan. Dibutuhkan waktu selama bertahun-tahun untuk memulihkan kembali citra Nike (Baca: Ekonomi dan Bisnis edisi 39/02-28/Nop/97).
Inilah salah satu contoh kesalahan perusahaan terhadap salah satu P dari CSR. Sekali lagi jangan pandang enteng CSR. Kalau salah urus, biaya sosial yang ditimbulkan jauh lebih besar daripada biaya lainnya. Kerugian akibat salah hitung atau harga barang yang anjlok hanya berlangsung sesaat dan mudah diatasi tapi mengembalikan branding atau citra perusahaan butuh waktu bertahun-tahun bahkan bisa sampai membangkrutkan perusahaan. Salah satu karaoke besar di Kota Kupang menderita kerugian yang luar biasa besar baru-baru ini karena mengabaikan P pertama dari CSR yaitu masyarakat lingkungan di mana karaoke ini berada.