Kasus MBR Alor
PH Ronny Anggrek Bantah Dakwaan JPU
Penasehat Hukum (PH) terdakwa Ronny Anggrek, membantah semua dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KeJaksaan Tinggi (Kejati) NTT.
Penulis: Oby Lewanmeru | Editor: Alfred Dama
Laporan Wartawan Pos Kupang, Oby Lewanmeru
POS KUPANG.COM, KUPANG -- Penasehat Hukum (PH) terdakwa Ronny Anggrek, membantah semua dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KeJaksaan Tinggi (Kejati) NTT.
Bantahan tersebut terutama soal pelaksanaan proyek MBR /rumah khusus tahun 2012 di Kabupaten Alor.
Hal ini terungkap dalam sidang lanjutan kasus MBR Alor di Pengadilan Tipikor Kupang, Senin (15/6/2015) malam.
Sidang ini dipimpin, majelis hakim ketua, Ida Bagus Dwiyantara, S.H,M.Hum dengan anggota, Jult M Lumban Gaol, Ak dan Ansyori Syaefudin, S.H dibantu Panitera Pengganti Ande Benu, S.H.
Pembacaan pledoi dibacakan oleh Yanti Siubelan, S.H dan John Rihi, S.H secara bergantian. Hadir JPU Kejati NTT, Kundrat Mantolas,S.H.
Menurut PH Ronny Anggrek, dalam dakwaan JPU menyebutkan bahwa pekerjaan MBR di Desa Wolimbang ,Kecamatan Kabola, Kabupaten Alor dengan nilai kontrak Rp 2,1 miliar dan pada akhir masa kontrak, terdakwa tidak selesaikan rumah.
Bahkan ada juga penyetoran ke kas negara Rp 1 Miliar lebih
"Dalil JPU diatas, kami selaku PH terdakwa membantah keras," kata Yanti Siubelan.
Menurut PH, terdakwa adalah orang yang bukan mengerjakan atau mengendalikan proyek itu, tetapi dikerjakan oleh saksi Enny Anggrek.
"Ronny Anggrek hanya sebatas proses adminitrasi, penandatanganan kontrak dan juga soal pencairan uang muka sebesar Rp 998.320.000," kata Yanti.
Yanti dalam pembelaan PH juga mengatakan, dana uang muka itu ditransfer ke saksi Enny Anggrek.
Dan saksi Enny Anggrek pernah mengajak tim dari Kemenpera untuk melihat gudangnya.
PH juga menjelaskan, saksi Hermanto Jahamouw yang adalah mantan Anggota DPRD Alor, pernah turun ke lokasi proyek dan bertemu dengan saksi Demris Fallo.
"Dan menanyakan siapa yang kerja dan Demris katakan bahwa Enny Anggrek. Namun, jaksa selaku penyidik tidak mampu menetapkan Enny Anggrek sebagai tersangka," kata Yanti.
Dijkatakan, dalam pencairan uang muka 20 persen adalah kewajiban dari terdakwa dan bukan untuk memperkaya atau menguntungkan diri terdakwa.
Dan bahwa dalam pembayaran 100 persen pada tanggal 27/12/2012 itu, PH menegaskan, bahwa PT Timor Pembangunan tidak menggunakan uang itu. Dan dana 100 persen itu sempat diblokir Rp 1,5 miliar lebih.
"Dengan demikian uang itu dicairkan oleh Satker Kemenpera RI. Dan terdakwa tidak pernah melihat dan menggunakan dana pencairan 100 persen untuk mengerjakan proyek di Alor," ujarnya.
PH juga menegaskan dalam pledoi bahwa yang melaksanakan adalah saksi Enny Anggrek, walapun secara formal terdakwa yang tandatangan kontrak tapi secara materil dilakukan oleh saksi Enny Anggrek.
PH Ronny Angreek juga menyoroti soal kendala juga adalah alat cetak.
Sementara pembelaan yang dibacakan John Rohi, S.H mengatakan, sangat naif, jika JPU ada kelebihan pembayaran sekitar Rp 800 juta lebih. Karena itu, unsur mengutungkan diri sendiri, orang lain dan suatu koorporasi tidak terbukti.
Begitu juga dengan penyalahgunaan kewenangan juga tidak terbukti.*