Breaking News

Lembaga Pendidikan: Menginisiasi atau Mengedukasi?

Pendidikan adalah perawatan untuk bayi, pendisiplinan untuk anak-anak dan pengajaran untuk orang dewasa.

Editor: Benny Dasman
KOMPAS.com/Mohamad Syahri Romdhon
Aulia Mesiya Setiawati, mengerjakan soal Ujian Nasional sambil menggendong bayinya, Fairuz Dirgantara, yang baru lahir 7 hari lalu. Meski sambil menggendong, Aulia masih semangat mengikuti Ujian Nasional Pendidikan Khusus?, di SDN Pelandakan, Kecamatan Kesambi, Kota Cirebon, Senin-Kamis, 13-16 April 2015. 

Oleh Marianus Kleden
Dekan FISIP Unwira

ISTILAH 'inisiasi' dan 'edukasi' dengan sengaja saya perhadapkan secara diametral untuk melihat dua filosofi sekaligus dua kubu yang berbeda berkaitan dengan pendidikan. Inisiasi (dari kata in = ke dalam; ire = pergi) merupakan sebuah istilah antropologi yang menunjuk pada sebuah ritus mengintroduksikan seorang manusia muda ke dalam suatu tahapan kehidupan baru dengan tuntutan-tuntutan baru dan hak serta kewajiban baru. Dengan demikian, sifon misalnya, ritus sunat pada masyarakat Timor, merupakan sebuah upacara inisiasi karena melalui ritus ini seorang pemuda beralih dari masa remaja dan masuk ke dalam masa dewasa.

Di dalam masa dewasa ini dia menjadi tahu tentang seluk beluk kehidupan seks dan tentang kewajiban-kewajiban sebagai suami. Dia tidak lagi anak-anak, dan harus hidup sebagai seorang dewasa. Hal yang sama juga dapat dikatakan secara analog tentang pembaptisan dalam agama Kristen. Pembaptisan merupakan sebuah ritus inisiasi karena seorang bayi atau kadang-kadang seorang dewasa berpindah dari status berdosa ke dalam sebuah status yang suci murni bebas dari dosa - dan dalam status baru ini yang bersangkutan dituntut untuk hidup menurut prinsip-prinsip kesucian, setidak-tidaknya tidak lagi jatuh ke dalam dosa yang sama seorang dewasa.

Dalam kaitan dengan pendidikan, OPSPEK (Orientasi Program Studi dan Pengenalan Kampus) yang sebentar lagi akan diikuti oleh lulusan SMA 2015 dapat dipandang sebagai upacara inisiasi. Selama seminggu mereka akan 'dikerjain' oleh senior-senior bukan untuk menyiksa melainkan memperkenalkan pendatang baru dengan tatanan baru melalui semacam 'rite-de-passage' karena dia sekarang meninggalkan etos pelajar yang lebih banyak dituntun oleh guru dan mentor lalu masuk ke dalam etos mahasiswa yang lebih menuntut kemandirian. Sebagaimana ritus inisiasi tribal itu menyakitkan, demikian pula ritus 'inisiasi akademik' juga menyakitkan.

Berbeda dari inisiasi, edukasi (ex = keluar; ducere = mengantar) adalah tindakan dan kegiatan mengantar seseorang atau beberapa orang ke luar dari sesuatu yang mengungkung dirinya. Dengan demikian edukasi yang kita terjemahkan dengan pendidikan adalah tindakan membebaskan manusia dari kebodohan, ketidaktahuan, kesempitan wawasan, ketidaklogisan, tahyul dan, yang sering dilupakan, establishment (kemapanan) yang mengungkung.

Pertanyaan kita adalah, lembaga pendidikan sekarang lebih menekankan apa: inisiasi atau edukasi. Pertanyaan ini mengemuka apabila dicermati bahwa lembaga-lembaga pendidikan amat keras menuntut dipenuhinya persyaratan-persyaratan, sikap-sikap formal dan gestur untuk memasuki suatu lembaga (begitu kerasnya sampai menimbulkan kematian seperti yang terjadi di IPDN beberapa tahun lalu), dan tidak waspada bahwa dengan cara ini dia memenjarakan seseorang dalam sebuah establishment yang mengungkung.

Sekolah, dengan demikian, tidak lagi menjadi lembaga yang memerdekakan ('edukatif') tetapi sebuah lembaga yang memenjarakan ('initiatif). Istilah-istilah ini dipakai secara arbitrer belaka (bukan konvensional) hanya untuk membetot kesadaran kita akan dialektika yang berlangsung di sekolah dan kampus: ketika guru atau dosen menyampaikan sebuah informasi ilmiah, seorang siswa atau mahasiswa dituntut untuk berpikir menurut alur ilmiah yang disampaikan, padahal dengan tuntutan ini seorang peserta didik dikungkung dalam wawasan yang sempit. Misalnya, dalam kuliah teologi atau mata pelajaran agama seorang peserta didik dipaksa untuk berpikir monoteistik padahal dalam praktik, mindset keagamaannya dualistik atau panteistik. Dalam bidang ketatanegaraan diajarkan 'NKRI harga mati' padahal dalam sejarah, pengalaman negara Jerman, India, Uni Soviet serta Yugoslavia jelas sekali memperlihatkan bahwa negara-negara itu mula-mula meliputi sebuah kawasan yang sangat besar lalu pecah menjadi negara-negara yang lebih kecil; negara-negara kecil itu ada yang bertahan, ada yang menyatu kembali. Dalam bidang antropologi diajarkan bahwa semangat gotong royong merupakan sebuah kebudayaan yang luhur, tetapi dalam praktik gotong royong sering menjadi excuse untuk menyembunyikan tanggung jawab.

Inilah sebabnya mengapa Ivan Illich menulis buku Deschooling Society dan Paulo Freire, Pedagogy of the Opressed. Deschooling Society, kalau mau diterjemahkan bebas, berarti mengadvokasi agar anak-anak, alih-alih dimasukkan ke dalam sekolah, lebih baik dikeluarkan dari sekolah, karena sekolah menjebak peserta didik ke dalam kemapanan berpikir. Karena itu, Ivan Illich mengusulkan, antara lain, disiapkannya sebanyak mungkin direkteori ilmu dan direktori pakar agar peserta didik boleh seoptimal mungkin berusaha sendiri mencari tahu apa ini, apa itu, dan apa yang berguna bagi dirinya. Sekolah konvesional tidak mungkin menciptakan kondisi bagi pengembangan bakat secara optimal.

Dalam pada itu Paulo Freire yang mencermati pendidikan yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Portugis bagi masyarakat Brasil menengarai bahwa hubungan pendidik dan peserta didik tidak beda dengan hubungan penjajah dan terjajah. Dalam relasi seperti ini pendidik memperlakukan peserta didik seperti celengan atau rekening kosong yang setiap kali diisi dengan tabungan baru. Bagi Freire ini merupakan proses dehumanisasi yang harus dilawan dengan proses konsientisasi: peserta didik mesti sadar akan dirinya sebagai manusia yang otentik, menyadari kelebihan dan kekurangan dalam dirinya, dan membangun dialog dengan pendidik untuk pengembangan bakat secara otentik. Singkatnya, seorang manusia harus berkembang menjadi dirinya, bukan menjadi keluaran yang diprogram.

Suasana ini tidak jauh berbeda ketika Ki Hadjar Dewantara kembali dari Belanda dan melihat pendidikan yang dikembangkan di Hindia Belanda. Dalam pandangannya sekolah-sekolah hanya mendidik orang untuk menjadi juru tulis Belanda. Dengan kata lain, lembaga pendidikan tidak mendidik manusia di daerah terjajah demi pengembangan bakat secara optimal, melainkan memprogram anak didik menjadi amtenar yang handal. Preferensi terhadap anak-anak kaum bangsawan setempat membuat kaum terdidik terkooptasi menjadi alat kaum penjajah yang pada gilirannya mengadopsi kembali sikap penjajah yang represif dan otoriter.

Itulah sebabnya Ki Hadjar melalui Pendidikan Taman Siswa mengembangkan filsafat pendidikan yang kita praktikkan hingga kini yakni: di depan memberi teladan, di tengah memberi motivasi dan dari belakang memberi dorongan. Dengan filsafat ini seorang peserta didik tidak diprogram menjadi keluaran yang dikehendaki pendidik, melainkan diberi kondisi agar berkembang menjadi manusia otentik, yakni dirinya sendiri. Apa yang dikembangkan Ki Hadjar tidak berbeda dari filsafat pendidikan yang diadvokasi oleh Illich maupun Freire karena wise men think the same, orang bijak berpikir sama, seperti kata pepatah.

Lalu bagaimana dengan kubu yang mengadvokasi 'inisiasi'. Orang yang sangat tegas dan jelas membela kubu ini alah filsuf besar Jerman Immanuel Kant. Melalui tulisannya berjudul Ueber Paedagogik Kant mulai dengan bebera tesis yang amat jelas menunjukkan sikapnya. Manusia merupakan satu-satunya makhluk yang membutuhkan pendidikan. Pendidikan adalah perawatan untuk bayi, pendisiplinan untuk anak-anak dan pengajaran untuk orang dewasa. Hewan tidak membutuhkan perawatan karena dia memiliki mekanisme alamiah untuk melindungi dirinya.

Pendisiplinan dibutuhkan agar manusia tidak berkembang menjadi binatang mengikuti kecenderungan naluriahnya. Selanjutnya, tentang disiplin dikatakan, harus dilakukan sejak dini agar anak mengikuti aturan melalui pendidikan formal di sekolah. Pendidikan di sekolah pertama-tama bukan bertujuan mecari ilmu melainkan supaya terbentuk perilaku yang dikontrol oleh aturan. Tentang kebebasan Kant mengatakan, setiap manusia membutuhkan kebebasan, tetapi bila setiap orang dibiarkan bertindak menurut kebebasan yang ada pada dirinya, maka dia akan mengorbankan segala sesuatu demi kebebasannya.

Filsafat Kant tentang pendidikan ini bisa dikatakan lahir dari budaya Jerman keras-tegas tetapi kemudian mempengaruhi budaya Jerman yang sangat menekankan disiplin dan ketertiban. Sahabat saya Dr. Norbert Jegalus yang malang melintang di Jerman bercerita bahwa di Jerman profesor itu dihormati seperti 'tuhan allah'. Kalau dia mengajar tidak boleh ada mahasiswa yang batuk, bertanya atau menjatuhkan pena. Bila ada hal yang tidak jelas, harap dicatat dan ditanyakan di akhir semester, dalam sebuah kuliah khusus untuk menjawab pertanyaan mahasiswa. Ini hanya ilustrasi yang mau menunjukkan bahwa di dunia ada negara yang amat menekankan disiplin seperti Jerman dan Jepang, tetapi ada pula negara yang amat menekankan kebebasan berekspresi seperti Amerika atau Prancis.

Di Indonesia sekolah-sekolah praktis terbagi dalam dua kubu berbeda. Sekolah yang secara tradisional menekankan 'inisiasi' adalah Akademi Militer, Akademi Kepolisian, Sekolah Pelayaran, seminari, pesantren, SMA Nusantara, SMA Kanisius untuk menyebut beberapa yang ikonik. Sedangkan sekolah yang lebih menekankan 'edukasi' adalah SMA De Brito di Yogya yang membiarkan siswa bebas berekspresi, atau Universitas Negeri Makassar yang menyelenggarakan pendidikan kewirausahaan, di mana lembaga menyiapkan modal usaha tetapi mahasiswa harus mengajukan proposal yang khas dan unik.

Bagaimana guru dan dosen mendidik siswa dan mahasiswanya? Terserah Anda, yang penting disiplin dan kebebasan berekspresi merupakan dua sisi yang harus diperhatikan. *

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved